Sunday, April 29, 2007

Stres





STRES

“Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyejukkan jiwaku.”

Mazmur 23.2

Stres mungkin bukan sesuatu yang khusus untuk zaman kita, tetapi yang jelas stres sudah merajalela dan semakin ganas menyerang kita sekarang ini. Zaman kita adalah zaman perubahan sosial yang cepat, sebagai hasil dari lajunya pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Zaman kita adalah zaman perombakan institusi, entah itu di bidang perbankan, pendidikan, pemerintahan maupun agama, yang membiarkan kita hidup tanpa struktur yang pasti. Zaman kita adalah zaman penuh dengan masalah-masalah yang tidak dapat diatasi, baik dalam bidang politik internasional maupun penyakit fisik.

Zaman kita adalah zaman kurangnya penghasilan di mana kita harus bekerja lebih keras dan lebih giat hanya agar dapat bertahan hidup.

Sebaliknya, stres akut yang biasanya terjadi dalam hidup kita setiap sepuluh tahun, sekarang terjadi setiap dua tahun. Stres akut semacam itu bukan saja merupakan akibat dari trauma-trauma kehidupan utama, tetapi juga penambahan dari apa yang oleh para peneliti disebut “percekcokan-percekcokan sehari-hari.” Suami istri tidak kooperatif, berjuang melawan kemacetan, asap rokok teman kerja, atau tetangga yang ribut. Semuanya itu ikut menambah stres kita.

Zaman kita juga merupakan zaman kesadaran akan kesehatan, dan kita telah disadarkan akan pengaruh stres terhadap kesehatan fisik kita. Stres yang berlebihan berkaitan dengan gangguan-gangguan yang berikut: penyakit jantung, tekanan darah tinggi, penyakit gula, sakit kepala, kegemukan, borok, sakit punggung, asma, radang sendi, depresi, kegelisahan, kecanduan alkohol, tidak bisa tidur, diare, susah buang air, radang usus besar, demam berdarah, gagal seks, masalah-masalah menstruasi, dan kanker. Hans Selye juga telah menunjukkan bahwa stres mempercepat usia tua. Sesudah melewati kebugaran kita hampir sama seperti semula, kendatipun tidak sempurna seperti semula. Perbedaan ini menambah kepada kita apa yang kita sebut menjadi tua.

Sama seperti kita tidak dapat menghindari menjadi tua dalam hidup kita, demikian pula kita tidak dapat menghindari stres. Stres adalah bagian dari hidup dalam setiap jenjang usia. Dalam setiap jenjang usia penyakit, kematian dan bahaya bisa saja menyerang kita. Dalam suatu zaman di mana tingkat pertumbuhan penduduk dan perubahan jauh lebih rendah, penulis Mazmur 23 pasti sudah mengenal stres berat sehingga memberikan nilai sedemikian penting terhadap pemulihan jiwa.

Apa yang mungkin menjadi sumber stres bagi penulis Mazmur 23 barangkali bukan merupakan sumber stres bagimu dan bagiku. Dan malahan dalam zaman kita sendiri, kekacauan akibat perubahan menimbulkan stres bagi beberapa orang, tetapi mungkin tidak bagi orang-orang lain. Apa yang dilihat oleh sebagian orang sebagai suatu ancaman, mungkin dilihat sebagai suatu tantangan oleh orang lain. Maka, stres bukan saja mempunyai hubungan dengan dpa yang sedang terjadi di luar diri kita (penyebab stres dari luar), tetapi juga berhubungan dengan apa yang sedang terjadi di dalam diri kita (bagaimana kita memahami stres).

Sejak semula, penting bagi kita untuk memahami stres sebagai sesuatu yang tidak dapat dan tidak boleh dihilangkan dari hidup kita. Tugas kita adalah mengatasi stres dan belajar dari stres.

Stres dalam istilah biologis merupakan suatu keadaan siaga. Tatkala sesuatu dirasa sebagai penyebab stres, otak mengirim perintah-perintah siaga yang mempersiapkan tubuh untuk melawan dan menyelamatkan diri. Jika kita dikejutkan oleh seorang pengacau, kita mungkin memilih untuk mengadakan perlawanan atau melarikan diri. Reaksi tubuh pun akan sama, misalnya, otot-otot menjadi kencang, kepekaan indera bertambah, detak jantung dan kecepatan pernapasan bertambah. Keadaan siaga seperti itu berguna untuk keselamatan kita. Hal itu akan menjadi suatu masalah hanya jika kita berada dalam keadaan siaga untuk jangka waktu yang cukup lama oleh karena penyebab stres yang terus-menerus di sekitar kita, atau oleh karena persepsi khusus kita terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar kita yang kita interpretasikan sebagai ancaman.

Dalam pengertian rohaniah, kita mungkin melihat stres sebagai suatu panggilan untuk berjaga-jaga: untuk melihat cara-cara kita menjalankan hidup ini secara lebih jeli; untuk melihat batin kita dengan lebih teliti; untuk melihat kesehatan rohani kita dengan lebih cermat.

Barangkali apabila kita sedang mengalami stres, hal itu mengisyaratkan bahwa kita sedang dipanggil untuk bangun dan sadar, karne kita sudah tersesat terlalu jauh dari “air yang tenang,” atau karena kita telah menolak tuntunan Allah yang akan memulihkan jiwa kita. Mistikus abad XII, Hidelgard dari Bingen, berbicara mengenai keselamatan sebagai “kesejukan” yang membawa kehidupan yang penuh daya kepada jiwa dan tentang Roh Kudus sebagai pembawa “embun belas kasih” ke dalam hati manusia untuk mengatasi kegersangan.

Dalam saat-saat stres ada bahaya bahwa kita akan mengalami “kekeringan” dan kita akan menderita secara fisik, mental dan spiritual. Dengan mengakui bahwa kita tidak akan pernah dapat menghilangkan semua stres dalam hidup kita, maka tugas selanjutnya ialah mempertahankan “kesejukan” itu agar tetap hidup bahkan ketika panas terik menerpa hidup kita.

Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus


Kompas, Kamis 5 April 2007 : Bentara hal. 43

Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus

IOANES RAKHMAT

Temuan makam keluarga Yesus di Talpiot menuntut sebuah kacamata baru memahami teks injil sehubungan dengan fakta historis tentang Yesus.

Makam keluarga Yesus di Talpiot, sebelah selatan Kota Lama Jerusalem, digali dalam kurun 1-11 April 1980 oleh arkeolog Amos Kloner, Yosef Gath, Eliot Braun, dan Shimon Gibson di bawah pengawasan Otoritas Kepurbakalaan Israel (OKI) . Di dalamnya ditemukan 10 osuarium (peti tulang terbuat dari batu gamping) berusia tua dari kurun waktu pra-tahun 70 Masehi, akhir Perang Yahudi I melawan Roma. Sejak penggalian itu tidak ada penyelidikan lebih lanjut atas makam ini. Di dalam sebuah film dokumenter BBC/CTVC yang berjudul The Body in Question dan ditayangkan di Inggris pada Minggu Paskah 1996, muncul laporan sangat singkat tentang makam ini. Karena terlalu singkat, laporan ini berlalu begitu saja.

James D Tabor melalui bukunya yang terbit 2006, The Jesus Dynasty, mengangkat kembali signifikansi makam Talpiot bagi studi tentang Yesus. Discovery Channel pada 4 Maret 2007 di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Israel, dan Eropa menayangkan sebuah film dokumenter berjudul The Lost Tomb of Jesus dengan produser pelaksana James Cameron. Tesis yang diajukan film ini: makam Talpiot adalah betul makam keluarga Yesus dari Nazareth. Dalam waktu yang hampir bersamaan (Februari 2007) Simcha Jacobovici dan Charles Pellegrino menerbitkan buku The Jesus Family Tomb: The Discovery, the Investigation, and the Evidence That Could Change History. Tak pelak lagi kontroversi sedunia atas temuan makam Talpiot pun bermunculan. Reaksi sangat keras datang terutama dari kalangan Kristen konservatif evangelis. Sebaliknya, sejumlah pakar lain, seperti John Dominic Crossan dan James Charlesworth, mendukung penuh usaha-usaha penelitian terhadap makam Talpiot. Crossan menandaskan temuan makam Talpiot itu adalah "paku terakhir yang ditancapkan pada peti mati literalisme biblis".

Perkembangan sekarang

Pada penggalian 1980 ditemukan 10 osuarium dari makam Talpiot. Namun, sekarang ini, OKI hanya memiliki sembilan osuarium dari makam Talpiot, satu osuarium dinyatakan telah hilang. Dari sembilan osuarium ini, tiga osuarium di antaranya tidak memiliki inskripsi, sedangkan enam lainnya memuat inskripsi: (1) "Yesus anak Yusuf" (bahasa Aram), (2) "Maria" (Aram), (3) "Mariamene e Mara" ("Maria sang Master"=Maria Magdalena) (Yunani), (4) "Yoses" (Aram), (5) "Matius" (Aram), (6) "Yudas anak Yesus" (Aram). Keempat nama yang pertama sudah dikenal sebagai nama-nama yang muncul dalam Alkitab Perjanjian Baru, baik sebagai anggota-anggota keluarga Yesus (Markus 6:3) maupun sebagai seorang yang dekat dengannya (Maria Magdalena). Nama "Matius" muncul dalam "silsilah Yesus" (Matius 1 dan Lukas 3) dan juga dalam Markus 2:14 sebagai "anak dari Alfeus (Klofas)". Alfeus atau Klofas, menurut James Tabor, adalah saudara dari Yusuf, ayah legal Yesus. Jadi, "Matius" termasuk ke dalam kaum keluarga Yesus. Hanya nama "Yudas anak Yesus" yang tidak muncul dalam Perjanjian Baru.

Pada penggalian 1980 tulang-belulang dari dalam semua osuarium sudah diserahkan kepada otoritas Yahudi Ortodoks setempat untuk dikuburkan kembali. Pemeriksaan DNA tetap bisa dilakukan dengan memakai sisa-sisa endapan organik dari human residue yang menempel pada permukaan-permukaan dinding sebelah dalam atau mengendap di dasar osuarium. Pada tahun 2005 Dr Carney Matheson dan timnya dari Laboratorium Paleo-DNA Universitas Lakehead di Ontario telah memeriksa mitokondria DNA terhadap human residue dari "Yesus anak Yusuf" dan "Maria Magdalena". Dari penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan persaudaraan maternal antara "Yesus" dan "Maria Magdalena". Artinya, Maria Magdalena dari makam Talpiot bukan ibu dari Yesus dan juga bukan saudara kandung perempuannya. Bisa jadi, karena ditemukan dalam satu makam keluarga, Maria Magdalena dalam makam Talpiot ini adalah orang luar yang menjadi istri sah Yesus, dan bisa jadi juga "Yudas anak Yesus" adalah anak Maria Magdalena juga.

Pada 21 Oktober 2002 di Washington DC, Hershel Shanks, editor kondang dari Biblical Archaelogy Review, dan Discovery Channel mengumumkan telah ditemukan sebuah osuarium yang berinskripsi Aramaik "Yakobus, anak Yusuf, saudara dari Yesus". Osuarium Yakobus ini, yang dimiliki Oded Golan (pedagang barang antik kelahiran Tel Aviv), segera terkenal ke seluruh dunia. Osuarium ini, ketika sudah kembali ke Israel sehabis dipamerkan antara lain di Royal Ontario Museum disita oleh OKI, dan Oded Golan ditangkap dengan tuduhan telah memalsukan inskripsi "saudara dari Yesus" pada osuarium itu berdasarkan hasil tes isotop yang telah dilakuan Prof Yuval Goren, pakar geologi dari Universitas Tel Aviv. Namun, pada Januari 2007, di ruang sidang pengadilan Israel atas Oded Golan, Prof Goren menyatakan bahwa pada sedikitnya dua huruf dari nama "Yeshua" (Yesus) pada inskripsi Aramaik di osuarium Yakobus ini terdapat lapisan mineral patina yang asli dan berusia tua. Dengan demikian, keseluruhan frase "saudara dari Yesus" pada osuarium Yakobus itu harus dinyatakan asli.

Sementara ini, Tabor dan Jacobovici berpendapat ada kemungkinan bahwa satu osuarium yang telah hilang dari makam Talpiot itu adalah osuarium Yakobus. Shimon Gibson sendiri berpendapat ada kemungkinan bahwa osuarium Yakobus adalah osuarium ke-11 dari makam Talpiot yang telah dicuri dari makam ini sebelum penggalian dilakukan pada 1980. Ketika diukur kembali, didapati ukuran osuarium Yakobus ini sama dengan ukuran osuarium yang telah hilang itu. Penelitian lapisan mineral patina pada osuarium Yakobus yang telah dilakukan, yang dibandingkan dengan patina-patina dari osuarium-osuarium lain dari makam Talpiot dan dari makam-makam lain di sekitarnya yang dipilih secara acak, menunjukkan kesamaan "sidik jari" mineral patina dari osuarium Yakobus dengan "sidik jari" mineral patina dari osuarium-osuarium lainnya dari makam Talpiot. Ini memastikan bahwa osuarium Yakobus berasal dari makam Talpiot. Sisa-sisa tulang-belulang Yakobus masih tersedia. Jika pengujian DNA diizinkan oleh OKI untuk dilakukan pada human residue Yakobus (hingga kini OKI masih belum memberi izin), dan jika terbukti bahwa DNA Yakobus match dengan DNA Yesus (yang sudah diketahui), maka akan tidak terbantahkan lagi bahwa makam keluarga di Talpiot itu adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth, Yesus yang punya saudara satu ayah, yang bernama Yakobus, sebagaimana dicatat baik oleh tradisi Kristen (Galatia 1:19; Markus 6:3) maupun oleh Flavius Yosefus, sejarawan Yahudi.

Beberapa sanggahan

Sejak ekskavasi 1980, nama-nama pada osuarium-osuarium makam Talpiot dipandang oleh sejumlah arkeolog Israel sebagai nama-nama yang umum dipakai di Jerusalem pra-tahun 70. Sifatnya sebagai nama-nama umum inilah yang telah lama dijadikan alasan oleh banyak pakar Kristen menyanggah pendapat bahwa makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth. Namun, Jacobovici, Pellegrino, dan James D. Tabor berpendapat bahwa terkumpulnya nama-nama anggota keluarga Yesus dalam makam Talpiot sebagai satu cluster adalah suatu kejadian yang unik, yang belum pernah ditemukan sebelumnya di dalam suatu situs galian arkeologis yang terlokasi dan terkontrol. Pandangan mereka ini didukung oleh kajian statistik yang memanfaatkan teori probabilitas dan yang juga memperhitungkan baik demografi kota Jerusalem pra-tahun 70 (berpenduduk antara 25.000 dan 75.000) maupun data nama-nama yang telah dicatat yang berasal dari semua makam yang telah ditemukan di kawasan-kawasan perbukitan kota Jerusalem. Menurut pakar statistik dari Universitas Toronto, Prof Andrey Feuerverger, kemunculan cluster atau kumpulan keempat nama saja yang berkaitan dengan Yesus ("Yesus anak Yusuf", "Maria", "Maria Magdalena", dan "Yoses") dalam satu makam, dalam konteks kota Jerusalem pada periode Bait Allah Kedua akhir, adalah suatu kejadian yang unik dengan peluang 1:600. Artinya, dari 600 kasus, hanya akan ada satu kemungkinan kasus seperti kasus makam Talpiot. Jika osuarium Yakobus dimasukkan ke dalam makam Talpiot, maka, menurut Feuerverger, peluangnya berubah menjadi 1:30.000. Artinya, dari 30.000 kasus, hanya akan ada satu peluang kasus yang seperti kasus makam Talpiot.

Sanggahan lainnya adalah tidak mungkin makam Talpiot makam keluarga Yesus sebab di dalam Perjanjian Baru tidak ada satu pun petunjuk yang menyatakan bahwa Yesus mempunyai anak. Ini adalah sebuah argumentum e silentio yang keliru. Perjanjian Baru tidak menyebut, sebagai contoh, nama-nama Philo, Rabbi Hillel, Flavius Yosefus, Hanina ben Dosa, Apollonius dari Tyana. Namun, semua orang ini adalah orang-orang yang nyata hidup dalam dunia ketika kekristenan baru lahir. Selain itu, harus juga dipertimbangkan adanya rujukan-rujukan kepada "murid yang dikasihi" dalam Injil Yohanes yang digambarkan "bersandar pada Yesus di sebelah kanan-Nya" pada waktu perjamuan malam (Yohanes 13:23); dan juga rujukan dalam Injil Markus kepada "seorang muda" yang berlari "dengan telanjang" ketika Yesus ditangkap (Markus 14:51-52)—apakah tidak mungkin, bahwa rujukan-rujukan tersamar ini sebetulnya mengacu kepada anak Yesus, berusia belasan tahun, yang identitas sebenarnya harus dirahasiakan mengingat Roma baru saja menumpas sebuah gerakan messianik dengan menyalibkan sang pemimpinnya, Yesus dari Nazareth, yang mengklaim diri "Raja orang Yahudi"?

Sanggahan berikutnya adalah bahwa karena keluarga Yesus dari Nazareth adalah keluarga miskin yang tinggal di Galilea, maka mustahil mereka bisa memiliki sebuah makam keluarga di kota Jerusalem; kalaupun keluarga Yesus mampu membeli sebuah makam keluarga, makam ini pastilah sederhana dan berlokasi di Nazareth, bukan di Jerusalem.

Dibandingkan dengan makam-makam lain di kawasan dekat Jerusalem, makam Talpiot itu bersahaja dan sempit, dengan ukuran 3 x 3 meter dan dengan tinggi kurang dari 2 meter. Makam semacam ini dapat disediakan oleh para pengikut perdana Yesus. Sepeninggal Yesus, mereka memusatkan pergerakan messianik mereka di Jerusalem dengan dipimpin oleh Yakobus (wafat tahun 62), saudara Yesus, yang semasa Yesus masih hidup telah menetap di Jerusalem. Di Betania, tidak jauh dari Jerusalem, berdiam para pengikut setia Yesus, seperti Maria, Marta, dan Lazarus yang dapat menyediakan sebuah makam keluarga.

Pada situs-situs galian arkeologis di sekitar Bukit Zaitun (dilakukan oleh arkeolog-arkeolog Mancini, Bagatti dan Milik, serta Sukenik dan Avigad) yang tidak jauh dari Kota Lama Jerusalem, khususnya pada situs suci Kristen Dominus Flevit ("Tuhan menangis"), telah ditemukan banyak osuarium yang berinskripsi nama-nama Yahudi-Kristen (Jack Finegan, Archaelogy of the New Testament, 359-374). Nama-nama ini adalah nama-nama para murid perdana Yesus yang tetap melanjutkan gerakan messianik yang dipusatkan di Jerusalem sebelum kota ini dihancurkan pada tahun 70 M oleh Roma.

Dalam Markus 6:29 dikatakan bahwa ketika murid-murid Yohanes Pembaptis mendengar sang guru mereka sudah dibunuh oleh Herodes Antipas, mereka segera datang mengambil mayatnya lalu meletakkannya dalam sebuah kubur. Hal yang serupa terjadi juga pada mayat Yesus. Yusuf orang Arimatea, seorang "yang telah menjadi murid Yesus juga" (Matius 27:57) memberikan sebuah makam miliknya sendiri "yang digali di dalam bukit batu" untuk penguburan sementara mayat Yesus (karena hari Sabat sebentar lagi tiba!) (Markus 15:42-47). Dari kubur ini kaum keluarga Yesus kemudian memindahkan mayat Yesus ke makam yang permanen yang disediakan para pengikut pergerakan messianik Yesus yang kini berpusat di Jerusalem. Telah dipindahkannya mayat Yesus ke kubur lain inilah yang menyebabkan kubur pertama itu kosong. Ketika waktunya telah tiba (satu tahun kemudian), tulang-belulang Yesus dimasukkan ke dalam osuarium.

Sanggahan lainnya bercorak apologetis teologis, bukan historis, datang dari kalangan Kristen evangelis. Bagi kalangan ini, di bumi ini tidak mungkin ada sisa-sisa jasad Yesus sebab Yesus sudah bangkit dengan raganya dan sudah naik ke surga juga dengan keseluruhan raganya (daging, tulang, organ-organ dalam, dan semua lainnya). Teologi mereka pakai untuk menghambat penyelidikan interdisipliner terhadap makam Talpiot dan osuarium-osuarium yang terdapat di dalamnya. Kalangan inilah, dengan literalisme biblis mereka, yang sama sekali tidak mau diperhatikan oleh para pakar peneliti makam Talpiot.

Penutup

Jika sisa-sisa jasad Yesus memang ada di bumi ini, maka kebangkitan dan kenaikan Yesus ke surga tidak bisa lagi dipahami sebagai kejadian-kejadian sejarah obyektif, melainkan sebagai metafora. Para penulis Perjanjian Baru sendiri pasti memahami keduanya sebagai metafora; jika tidak demikian, mereka adalah orang-orang yang sudah tidak lagi memiliki kemampuan membedakan mana realitas dan mana fantasi dan delusi. Dalam metafora sebuah kejadian hanya ada di dalam pengalaman subyektif, bukan dalam realitas obyektif. Yesus bangkit, ya, tetapi bangkit di dalam memori dan pengalaman hidup dihadiri dan dibimbing oleh Rohnya. Yesus telah naik ke surga, ya; dalam arti: ia telah diangkat dalam roh untuk berada di sisi Allah di kawasan rohani surgawi. Kebangkitan dan kenaikan tidak harus membuat jasad Yesus lenyap dari makamnya. Untuk keduanya terjadi, yang dibutuhkan adalah "tubuh rohani", bukan tubuh jasmani protoplasmik.

IOANES RAKHMAT Dosen Kajian Perjanjian Baru di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Jakarta


So, Anda tertarik untuk menanggapi tulisan ini???

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 7: Penutup


PENUTUP


Melalui tulisan ini, saya berharap Anda semua menjadi orang-orang Kristen yang tidak perlu malu memiliki Allah yang Kudus dan Agung.


Akhirnya, bersyukurlah karena memiliki Allah yang luar biasa seperti yang diberitakan di dalam Alkitab. Berilah jawab kepada setiap orang yang bertanya, tetapi sesuai nasihat firman Tuhan, “Tetapi kuduskanlah (sanctify) Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah (always be ready) dalam segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut (gentleness) dan hormat (reverence)” (1 Ptr. 3:15).


Setiap kita yang mengaku Allah akan menunjukkan sifat-sifat utama berikut.


Pertama, ketaatan mutlak. Tidak ada ilah lain yang boleh diberhalakan. Tidak ada satu benda dan hobi serta pekerjaan pun yang terlalu dicintai.


Kedua, memiliki kasih yang sejati, suka bersekutu, memberi diri dan saling melayani.


Ketiga, jujur kepada diri sendiri, kepada orang lain dan terutama kepada Allah. Tampillah apa adanya. Tampilkanlah jati diri sebagai seorang Kristen yang sejati. Saya berdoa, orang Kristen sejati tersebut adalah Anda!

TERPUJILAH ALLAH!

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 6: Sisipan


SISIPAN


Bagaimana berdialog dengan orang yang tidak percaya mengenai Trinitas? Simak dialog berikut ini.


Pdt. David W. Shenk yang pernah menjadi misionaris di negara-negara Islam menuturkan percakapannya dengan seorang mahasiswa muslim Kenya. Sebagai seorang muslim, Ahmad memegang tauhid—beriman kepada satu Allah. Setelah mengucapkan salam a la Kenya, “Hodi!,” Ahmad segera berseru keras-keras, “Kok berani-beraninya Anda mengajarkan tiga allah.”


“Mari masuk,” undang Pak Shenk. “Mari minum teh dan coba, saya mau dengar apa yang menggelisahkan Anda.”


“Tidak! Saya tidak akan duduk atau minum teh dengan Anda hari ini. Tipuan Anda kepada di komunitas ini harus dihentikan. Allah itu satu, bukan tiga.”


“Saya percaya kepada satu Allah,” balas Pak Shenk.


“Trinitas! Itu politeisme. Itu melawan tauhid. Allah itu satu! Mempercayai Allah punya allah di sampingnya itu syirik. Itu dosa terbesar yang dilakukan manusia. Itu dosa yang tidak dapat diampuni.”


“Oh, Trinitas . . . Trinitas berarti bahwa Anda dan saya harus saling mengasihi dan saling menghormati.”


“Apa yang Anda katakan?” Ahmad bertanya, cukup kaget.


“Trinitas berarti bahwa Anda dan saya harus saling mengasihi. Kata ‘Trinitas’ tidak ada di Alkitab. Kata itu baru muncul dalam kamus Kristen sekitar dua ratus tahun setelah Yesus, ketika seorang teolog Afrika Utara, Tertullianus, menyarankan bahwa “Trinitas” bisa jadi merupakan cara yang baik untuk menjelaskan pengalaman Kristen akan Allah. Jadi, jika kita menemukan cara yang lebih baik menerangkan Allah, boleh-boleh saja.”


Kemudian, menimba hikmat dari Augustinus, teolog Afrika Utara pada abad ke-5, Pak Shenk melanjutkan pembicaraan, “Ketika kami para Kristen memperkatakan “Trinitas,” kami berusaha mengungkapkan kasih Allah dengan bahasa manusia yang tidak pernah cukup. Trinitas berarti bahwa di dalam diri Allah terdapat komuni (persekutuan), keterhubungan kasih, dan persatuan. Trinitas berarti Allah itu kasih; ia menjangkau di luar diri-Nya untuk menjumpai kita dalam pelayanan dan undangan kasih.”


“Allah telah menyatakan diri-Nya dan kasih-Nya kepada kami dalam kehidupan dan pelayanan Yesus sang Mesias. Allah mengundang kami untuk mulai berpartisipasi dengan kualitas yang sama dalam kasih yang memberi-diri dan persekutuan yang kami jumpai di dalam Yesus. Melalui Roh Kudus Allah, kami dikuatkan untuk mulai mengasihi satu sama lain seperti cara Yesus mengasihi.”


“Ringkasnya, Trinitas berarti bahwa di dalam Allah, terdapat persekutuan kasih. Allah mengundang kita untuk saling mengasihi seperti Ia mengasihi.”


Ahmad menyimak dengan perhatian penuh. Ia terperanjat. Setelah jeda reflektif beberapa saat, ia berkomentar, “Itu sangat bagus, saling mengasihi seperti Allah mengasihi.”[1]


[1]D. W. Shenk, Journeys of the Muslim Nation and the Christian Church: Exploring the Mission of Two Communities (Scottdale: Herald, 2003), 162–163.

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 5: Ketiganya yang Esa


KETIGANYA YANG ESA

Bahasa tentang “tiga pribadi” selalu kita pikirkan tiga individu, pribadi-pribadi yang terpisah-pisah. Ambil contoh: Irwan Wijaya, Arianto Wijaya dan Shanty Wijaya, ketiganya kakak-adik (meskipun ketiganya berada dalam satu atap dan berpredikat “Wijaya”!). Jika dikenakan kepada Allah akan menjadi tiga Allah. Apa artinya “tiga pribadi”? Gereja mula-mula tidak berpikir seperti yang dipikirkan orang modern. Memang, kata persona yang diterjemahkan “pribadi” diambil dari istilah teater yang menerangkan berbagai macam peran yang dimainkan oleh seorang aktor. Nah, waspadalah! Kita bisa terjerembab ke ajaran sesat (bidat) di abad ke-3 dan ke-4 M yang menekankan Allah yang satu memainkan berbagai peran pada tempo yang berlainan (Sabellianisme). Di masa PL Bapa. Di masa PB Yesus Kristus, dan masa gereja mula-mula dan seterusnya jadi Roh Kudus.


Jika kita berniat menerjemahkan Trinitas ke dalam bahasa yang kita mengerti kita dapat mengatakan sebagai berikut:


“Satu Allah dalam tiga pribadi”:
satu Allah yang berpribadi,
yang hidup dan berkarya
dalam tiga cara yang berbeda
pada tempo yang sama.
3


Artinya, peran-peran yang dilakonkan oleh pribadi-pribadi ini bukan “pura-pura,” bukan pula seperti “aktor A yang memainkan karakter B dan C.” Juga bukan seperti pemain Ludruk yang dalam satu cerita harus memainkan peran yang berbeda-beda. Ketiga ekspresi diri Allah itu punya karakteristik yang berbeda dengan yang lain.


Namun demikian, tindakan-tindakan Allah sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus bersifat simultan, bersama-sama. Bapa tidak pernah berkarya tanpa Sang Putra dan Roh Kudus (bisa melihat perbedaan dengan politeisme?).


Justru di sinilah kita melihat jalinan kasih yang kekal. Allah itu kasih oleh sebab di dalam diri-Nya sudah tercipta relasi kasih. Kasih yang saling memberi. Kasih untuk hidup bagi yang lain. Bapa memberi diri dan kasih-Nya bagi Putra. Putra pun mengasihi Bapa dan menundukkan diri kepada Bapa-Nya. Roh Kudus taat kepada kehendak Bapa dan Putra. Untuk menyatakan diri sebagai Allah yang mengasihi (the loving God), Allah tidak membutuhkan sesuatu di luar diri-Nya. Allah tidak merasa kurang. Allah sudah cukup dalam diri-Nya. Kita malahan bertambah yakin bahwa karya Allah Trinitas simultan dalam diri kita.


“Allah di atas kita,” yaitu Bapa yang memiliki MEGA PLAN buat semesta ciptaan-Nya, dan merencanakan kita menjadi kaum pilihan-Nya.


“Allah bersama kita,” yaitu Tuhan Yesus Kristus—Allah yang menjadi manusia—yang melaksanakan visi agung Allah tersebut.


“Allah di dalam kita,” yaitu Roh Kudus yang memberi kita hidup baru dan menuntun tapak-tapak hidup kaum beriman dalam pengudusan dan ketekunan.


Sekali lagi, berhati-hatilah. Doktrin Trinitas tidak berusaha menguak misteri Allah! Bukan pula berusaha untuk menerangkan misteri Allah dengan memakai otak manusia! Tetapi, doktrin ini berusaha mempertahankan misteri yang tidak dapat diterangkan oleh akal manapun, namun dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai sumber dan standar yang tertinggi, sehingga tidak mungkin kebablasan ke arah-arah yang keliru. Namun demikian, pada akhirnya yang teramat penting bukanlah supaya kita mampu memahami misteri itu, tetapi supaya kita menyaksikan bagaimana doktrin Trinitas berguna dalam cara berpikir kita tentang Allah dan apa yang Allah lakukan dalam kehidupan kita dan di dunia sekitar kita.


3One personal God who lives and works in three different ways at the same time.” (Shirley C. Guthrie, Christian Doctrine [rev. ed; Louisville: Westminster John Knox, 1994], 84).

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 4: Allah itu Esa


ALLAH ITU ESA


Mari sekarang kita melihat dasar tauhid Kristen. Orang Kristen pun mengenal Allah sebagai esa dalam keberadaan. “Dengarlah hai Israel, TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa” (Ul. 6:4). Inilah “Pengakuan Iman” Israel kuno ketika kebanyakan orang menyembah banyak dewa. Para leluhur Kristen mula-mula juga meyakini keesaan Allah. “Tidak ada Allah yang lain daripada Allah yang esa” (1 Kor. 8:4). Hanya ada “satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua” (Ef. 4:6).


Kita harus percaya, iman yang alkitabiah berdiri teguh atau runtuh di atas pengakuan Allah itu esa. Pengakuan Iman Gereja Skotlandia tahun 1560 merangkum iman yang dipercaya oleh kaum Yahudi maupun Kristen, “Kami percaya dan mengaku hanya satu Allah, yang kepada-Nya saja kami harus menyembah, dan di dalam Dia saja kami menaruhkan kepercayaan kami.” Allah itu berpribadi, dan karena itu umat menyembah. Allah itu hidup dan benar, dan karena itu Allah layak disandari. Tak satu pun kondisi yang mengizinkan kita untuk menyejajarkan Allah dengan ilah-ilah yang lain. Keesaan Allah berarti kita memilih Allah yang diberitakan oleh Kitab Suci dan bukan ilah lain.


Mengenal Allah yang esa berarti bahwa kita tidak boleh atau tidak diizinkan untuk didominasi dan dikendalikan oleh ideologi-ideologi modern (dan pascamodern!) dalam bidang politik, sosial, ekonomi atau religus. Sebab, segala hal ini pada hakikatnya memisahkan umat dari Allah dan menempatkan umat melawan sesamanya. Para pemeluk iman Kristen pada abad-abad pertama dinyatakan sebagai kaum ateis sebab mereka menolak ilah-ilah tiran dan merendahkan manusia, yang disembah dan dilayani oleh orang-orang di sekeliling mereka.


Para Kristen kala itu berani menyembah dan melayani Allah yang memiliki klaim eksklusif lagi total atas hidup mereka. Justru, di dalam Allah yang seperti inilah mereka menemukan kemerdekaan, kepuasan, dan komunitas yang sejati.

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 3: Allah dan Mega Plan


ALLAH DAN MEGA PLAN


Kita harus mulai bertanya hidup ini milik siapa. Sebab jawaban atas pertanyaan ini menentukan langkah-langkah hidup selanjutnya. Seorang naturalis yang menolak segala keberadaan adikodrati (tidak dapat diindera) akan menjawab bahwa dunia dan isinya terjadi dalam suatu sistem mekanik besar yang berproses melalui evolusi. Seorang Buddhis yang “ateis” akan menjawab bahwa dunia ini adalah milik manusia secara pribadi, yang harus dijalani dengan penolakan terhadap hidup dan kefanaan.


Bagi Kekristenan, tidak ada jawaban lain bahwa hidup ini adalah milik Allah, sebab Dialah Pencipta kehidupan. Sebab Allah yang menciptakan hidup, maka Ia pun yang menguasainya. Hidup manusia ada di dalam Dia, dan segala pertanyaan manusia mampu dijawab oleh Allah. Singkatnya, hanya Allah yang sanggup memberi makna atas kehidupan manusia.


Sekarang, jika kita telah mengerti bahwa hidup kita pada hakikatnya adalah milik Allah, maka tujuan hidup kita adalah tetap tinggal bersama Dia selama-lamanya. Dalam teologi Reformed, dengan jelas kita menemukan penekanan ini dalam doktrin penciptaan. Pertama, Allah menciptakan dunia ini ex nihilo (dari ketiadaan). Hal ini menegaskan bahwa Allah, ketika menciptakan dunia, tidak perlu bergantung pada apa pun di luar diri-Nya. Dengan demikian kita melihat, penciptaan merupakan suatu karya kedaulatan dan kebebasan Allah, suatu tindakan yang keluar dari kehendak pribadi ilahi. Di sini, doktrin penciptaan Kristen berada dalam suatu kontradiksi dengan hampir setiap kosmologi yang pernah dituturkan oleh sejarah bangsa-bangsa.


Kedua, Allah menciptakan dunia dengan tujuan yang pasti. Penciptaan bukan tindakan Allah secara sembarangan, tetapi memiliki gol yang jelas. Penciptaan layaknya suatu projek, seperti suatu karya seni, sesuatu yang Allah kehendaki demi kebaikannya sendiri dan bukan karena Allah memerlukan dunia. Dunia ini dengan demikian merupakan perwujudan dari kasih Allah, tetapi bukan tuntutan bagi Allah. Ketika selesai menciptakan dunia, Allah berkata, “Very good!”; bukan baik sebagian saja, atau baik nantinya, tetapi baik sebagaimana dunia dirancangkan-Nya.


Ketiga, Allah tetap memandang dunia ini “sungguh amat baik.” Allah sendiri berkenan hadir dan terlibat di dalam ciptaan. Kita mengenal istilah “transendensi Allah,” yaitu bahwa Allah berada melampaui segala yang tercipta. Tetapi transendensi itu bukan merupakan penghalang bagi Allah untuk menjadi “imanen” dalam ciptaan. Cara yang Allah pakai ialah melalui “kedua tangan-Nya.” Allah sendiri, melalui Putra-Nya tetap mencintai serta berhubungan intim dengan dunia. Demikian pula Allah sendiri, melalui Roh-Nya, merupakan “sumber penyempurna” ciptaan. Bapa Gereja Basil dari Kaisarea menyebut Roh Kudus sebagai the perfecting cause. Dari sini kita semakin jelas melihat, dunia ini memiliki “takdir” akhir di dalam rancang bangun Allah.

Keempat, Allah “menebus” ciptaan. Dalam hal ini kita akan selalu diingatkan adanya penghalang bagi rencana Allah. Kejahatan dan dosa selalu menghambat tata ciptaan untuk sampai kepada tujuan yang semula. Kejahatan merupakan musuh yang meneror dan menyerang ciptaan. Kejahatan harus dikalahkan, dan cara untuk menaklukkan musuh yang satu ini adalah melalui pengarahan ulang dari dalam tata ciptaan. Tetapi, tindakan ini hanya dapat dikerjakan oleh sang Pencipta yang masuk ke dalam keterbatasan ciptaan. Kembali kita diperhadapkan pada sentralitas Kristologi dan Pneumatologi (doktrin Roh Kudus). Ia berinkarnasi, mati dan dibangkitkan kembali oleh Roh Pencipta—inilah satu-satunya cara yang melaluinya ciptaan ditebus (istilah lain “dibawa kembali”) dari belenggu kehancuran. Allah bertindak dari dalam tata ciptaan sendiri tanpa menghilangkan keutuhan ciptaan. Penebusan ciptaan akan tergenapi secara sempurna kelak, tetapi pada masa sekarang ini, antisipasi-antisipasi kesempurnaan ciptaan sudah tercapai kapan saja dan di mana saja Kristus diberitakan dan kuasa Roh Kudus berhembus.[1]

Dari uraian di atas, kita dapat menarik beberapa dalil kebenaran berikut:


1. Allah tidak terbatas, ciptaan terbatas.
2. Yang tak terbatas bersifat kekal, yang terbatas sementara.
3. Yang tak terbatas bersifat bebas, yang terbatas butuh penopang.
4. Yang terbatas tak mungkin menampung yang tak terbatas.
5. Yang terbatas bergantung secara penuh kepada yang tak terbatas.


Dengan demikian, bergantung kepada Allah bagi kita sebagai manusia bukan saja penting tetapi mutlak-niscaya. Tidak dapat tidak kita bergantung kepada Allah. Tidak bergantung kepada Allah berarti kita mau mendudukkan diri sebagai Allah, dan dengan demikian menggeser posisi Allah dari yang seharusnya.


[1]Thomas F. Torrance, The Mediation of Christ (Colorado Springs: Helmers & Howard, 1992), 1–23.

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 2: Allah itu Tiga?


ALLAH ITU TIGA?


Setiap gugatan yang dilancarkan terhadap iman Kristen tentang Trinitas sebagai berikut:


(1) Tuduhan politeisme yang beroposisi dengan monoteisme (dalam Islam disebut tauhid);


(2) ketuhanan Yesus Kristus.


Anggapan non-Kristen ialah bahwa pada mulanya kaum Yahudi percaya kepada satu Allah. Kemudian muncullah seorang Yesus dari Nasaret. Yesus memandang dirinya sebagai nabi Allah. Kemudian, oleh orang lain ia dinobatkan menjadi Tuhan, sehingga menyamai Allah yang maha tinggi. Celakanya, penobatan ini terjadi paling pendek dua abad setelah kematiannya, oleh seorang kaisar Roma bernama Konstantinus. Singkatnya, terjadi penyelewengan iman oleh para pengikut Yesus berabad-abad setelah kematiannya.


Bagaimana mengajukan jawaban? Kita harus paham dengan “politeisme” yang dimaksud. Jika pemahaman dalam alam pikir si penanya adalah kehadiran lebih dari satu allah seperti di India, Yunani atau agama-agama kuno lain, kita bisa menjawab: Tidak Sama. Setiap dewa dalam agama-agama tadi biasanya mempunyai keberadaan yang saling berlawanan. Bisa mempunyai kehendak yang bertolak belakang dengan dewa yang lain. Bisa melakukan tindakan-tindakan amoral, baku hantam sendiri, bahkan saling bunuh. Dalam iman Kristen kita tidak punya Allah yang seperti ini. Allah yang kita yakini tidak memiliki kehendak bahkan nafsu yang saling bertentangan.

Allah Tritunggal Terpuji Selamanya 1: Iman dan Rasio


IMAN DAN RASIO


“Tidak bertentangan!” Kita harus dengan tegas mengatakannya. Fungsi penalaran seringkali menjadi tumpul dengan dalih bahwa iman kepada Allah bertentangan dengan rasio. Hati bertentangan dengan isi otak. Patut diwaspadai! Apakah ini cuman alasan orang-orang Kristen yang malas untuk memfungsikan pemberian Tuhan yang disebut sebagai akal budi? Apakah ini sekadar pembenaran sebagian orang yang memang ogah untuk belajar doktrin? Kalau kita mau jujur, berapa sih panjangnya waktu yang kita telah khususkan untuk mengenal Allah lebih dalam lagi?

Alkitab tidak berkata bahwa rasio hanya berada di wilayah periferi (pinggiran) keberadaan manusia, yaitu wilayah kedagingan. Sebaliknya, hati pun tidak selalu mendapat sanjungan. Perhatikan Roma 12:1 dalam diagram kalimat di bawah ini:

Oleh kemurahan Allah
Persembahkan tubuhmu—itulah ibadahmu yang logis (Yunani logiken
latreian
)
Janganlah serupa dengan dunia—berubahlah
oleh pembaruan budimu (Yunani tē anakainôsei noos).

Ibadah kepada Allah adalah ibadah yang logis lho! Akal budi tidak ditinggalkan. Sebaliknya Yeremia 17:9 menghardik “hati” umat Allah, “Betapa liciknya hati, lebih licik daripada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” Maka, yang benar dan seharusnya berlaku adalah, hati yang dipersembahkan kepada Allah akan mempertajam rasio. Itu berarti, setiap orang Kristen yang sungguh beriman akan menuntut diri untuk semakin mengenal Allah dengan menyertakan akal budinya.

Saya justru ingin mengajak Anda berlaku rendah hati dalam olah intelektual kita. Dalam kepatuhan kepada Allah kita mengasah pikiran kita. Seseorang yang rendah hati memiliki ciri-ciri mau menuntut diri untuk belajar dan diajar oleh orang lain. Allah tidak pernah lagi mewahyukan sesuatu yang baru, karena Allah sudah berhenti berbicara ketika kanon Alkitab ditutup. Cara Allah berbicara pada zaman kita adalah menandaskan pokok-pokok iman seperti yang diyakini oleh gereja universal melalui penguraian firman Tuhan oleh kuasa Roh Kudus.


Maka, bila kita ingin mengenal Allah, kita harus beranjak dari apa yang Allah sudah wahyukan atau nyatakan. Wilayah inilah yang Allah izinkan untuk kita selidiki. Wilayah inilah yang Allah nyatakan bagi gereja di sepanjang abad dan segala tempat. Dalam pada itu, masih ada misteri dalam diri Allah yang memang tidak Ia nyatakan. Kesetiaan kepada Alkitab demi mengenal Allah tidak mungkin ditawar-tawar.

Kita bahkan perlu yakin, masalah doktriner yang nampaknya pelik di depan kita sebenarnya sudah diselesaikan oleh para pendahulu iman kita, yaitu mereka yang benar-benar berpikir untuk masalah iman. Sungguh benar, tidak ada yang baru di bawah kolong langit! Dengan demikian, tugas kita kini yakni menerima tradisi suci tersebut dan melestarikannya.


Problemnya adalah, sudahkah kita berusaha menggali wahyu Allah bagi gereja-Nya di sepanjang abad? Bagaimana caranya? Rekan-rekan seiman, mari kita menata hati dan olah pikir dengan rendah hati di bawah terang firman Tuhan.

Wednesday, April 25, 2007

"O Lord, I'm Offering You My Heart"

O LORD, I’M OFFERING YOU MY HEART
© leNin_240407




O Lord, I’m offering You my heart at all cost;
promptly and sincerely I’m lifting it up;
Be it consecrated and Your Spirit to wash,
that I may be your servant all things to give up.

Tuhan, kupersembahkan hati bagi-Mu,
dengan sedia, tulus kunaikkan pada-Mu;
Kuduskan dan Roh-Mu yang b’ri pembasuhan
Hingga ‘ku jadi hamba—setia s’lamanya.

Tuesday, April 17, 2007

Perumpamaan Seorang Penabur


PERUMPAMAAN SEORANG PENABUR
MARKUS 4:1–20


Latar Belakang

Setting narasi perumpamaan ini adalah Danau Galilea. Kehadiran banyak orang di hadapan Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Yesus adalah seorang guru yang popular. Oleh karena banyaknya orang, maka Yesus harus naik perahu yang sedang berlabuh dan mengajar.

Alam pedesaan Palestina menjadi latar belakang narasi perumpamaan ini. Pada zaman itu, sang penabur (Yun. ho speiron, NIV farmer) menaburkan benih secara acak. Benih ditabur pada waktu penabur melangkah. Menabur benih mendahului proses membajak. Karena itu, ada benih-benih yang jatuh di tempat-tempat seperti yang Tuhan Yesus katakan: di pinggir jalan (4), berbatu-batu (5), semak duri (6).

Dalam kesastraan, perumpamaan ini memiliki keunikan. Selain menuturkan perumpamaan, Tuhan Yesus juga memberikan penafsiran atas perumpamaan itu (13–20).


Pengajaran

Inti pengajaran Yesus adalah mengenai Rahasia Kerajaan Allah, dan sebenarnya bukan berbicara tentang respons manusia terhadap firman. William Lane menegaskan, “Kerajaan Allah merekah di dalam dunia sebagai biji yang ditabur ke atas tanah. Terdapat perbedaan respons atas Firman Allah, tetapi bukan ini pokok pentingnya.” Kerajaan Allah menunjuk kepada karya Allah dan tidak ada satu kuasa pun yang dapat menghalangi penahbisan Kerajaan Allah di atas dunia ciptaan Allah.

Pertama, mari perhatikan penjelasan Yesus sendiri. Ternyata Yesus membuat pemisahan dari pendengar-Nya, yaitu mereka yang tidak diberi rahasia Kerajaan itu, dan mereka yang mendapat rahasia (10–12). Hal ini dipertegas dengan perkataan, “Sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, sekalipun mendengar, mereka tidak mengerti, supaya mereka jangan berbalik dan mendapat ampun” (ay. 12). Ada semacam “determinisme” bahwa perumpamaan ini tidak ditujukan bagi semua pendengar.

Kedua, dalam dunia Yudaisme apokaliptik, determinisme berpengaruh besar. Bahkan kuasa dan pekerjaan Iblis juga di bawah kendali Allah. Bukan Allah menghendaki pekerjaan Iblis itu, tetapi tidak satu pun pekerjaan Iblis yang mampu mengungguli Allah. Iblis mampu menghalangi pekerjaan Allah (4:15), tetapi pada akhirnya Allah tetap berjaya menyatakan karya-Nya (4:1–9).

Ketiga, Kerajaan Allah ditahbiskan hanya karena pendengaran firman Allah didengarkan. Pada zaman Yesus, banyak gerakan dalam Yudaisme yang, dalam hemat Yesus, telah jauh dari perintah Allah. Jika orang mengharapkan Kerajaan itu hadir, maka orang harus menanggalkan usaha sendiri dan memilih jalan Allah.


Aplikasi

Pertama, kita harus memahami sungguh-sungguh bahwa Kerajaan Allah adalah milik Allah. Kerajaan Allah tidak dapat diusahakan oleh manusia. Kerajaan itu selamanya tetap milik Allah. Allah berhak penuh atas kehadiran Kerajaan itu. Dalam hal ini, kita seharusnya menginsyafi bahwa Allah sungguh-sungguh, bebas, dan Ia berdaulat penuh dalam karya-Nya.

Kedua, tidak satu pun kuasa yang dapat menghalangi kehadiran Kerajaan Allah. Meskipun banyak penghalang dan banyak rintangan untuk berdirinya Kerajaan itu, pada akhirnya Kerajaan itu muncul dalam segala kejayaan-Nya. Dengan memahami ini, kita akan bertambah yakin di dalam Allah yang memiliki rencana agung. Tidak ada sesuatu atau seseorang pun yang dapat menghalangi karya Allah.

Ketiga, respons kita yang terbaik adalah bersiap sedia tatkala Kerajaan Allah itu diumumkan. Kesiapsediaan itu kita nampakkan manakala kita menanggalkan segala daya dan upaya sendiri dan mempersembahkan hati kita untuk dengar-dengaran pada firman Allah. Berhenti untuk menyelesaikan masalah dari diri sendiri, dan mencondongkan hati kepada Allah yang bersabda.

Sunday, April 8, 2007

Jesus Lives or Christianity Dies


Jesus Lives or Christianity Dies

If Jesus' bodily remains were found, then Christianity as it began and continued was based on a mistake, or (more strongly) a lie.

Christianity is about the creator God defeating the powers that corrupt, deface and overcome the good, wonderful, vibrant creation, not about this God (or some other) colluding with death and agreeing that what matters after all is some disembodied existence.

Christianity is about this creator God launching his project of new creation -- transformed, now, so that death itself and all that contributes to it can no longer touch it -- in and through the resurrection of Jesus, and continuing until the earth (not just heaven! THE EARTH) is filled with the knowledge of the glory of God as the waters cover the sea.

That began at Easter, continues in the life of faith, prayer and sacrament and the mission, in the widest and narrowest senses of the word, of the church, and will be complete when justice and mercy flood the whole creation.

Easter is the hinge on which all this turns, consequent upon the victory accomplished on the cross. Take Easter away, and we are at best like the first-century Jews, still hoping for redemption to happen but with no sign that it has just yet. And at worst we are back with some kind of paganism -- which is where, ultimately, the denial of resurrection will leave you.

Bodily resurrection is what you get at the intersection point between the lines of God as the good and wise creator and God as the judge who will set everything right at last.

Give up either, or both, and what you're left with isn't Christianity.

http://newsweek.washingtonpost.com/onfaith/nicholas_t_wright/2007/04/jesus_lives_or_christianity_di.html

Saturday, April 7, 2007

Kekalahan, Pengakuan dan Kemenangan


KEKALAHAN, PENGAKUAN DAN KEMENANGAN
Yosua 7



Kota Ai. Terletak di atas ketinggian 0,76 km. di atas permukaan laut (bdk. Yerikho hanya 0,25 km. di atas permukaan laut) Kota ini sudah didirikan sebelum zaman Abraham (Kej. 12.8; 13.3). Kebanyakan pakar purbakala Timur Tengah setuju bahwa suatu reruntuhan yang berjarak 12 km sebelah Utara kota Yerusalem dan 2,5 km sebelah Tenggara Betel—atau yang saat ini terletak dekat desa Deir Dibwan—adalah daerah yang dulu disebut Ai. Reruntuhan itu diberi nama et-Tell.

Nama kota ini berarti “puing-puing.” Mengapa demikian? Para arkeolog menemukan sebuah kota yang luasnya kira-kira 0,12 km2, diperkirakan pernah ada pada tahun 3100 s.d. 2400 S.M.; yang kemudian menjadi sebuah desa dengan luas 0,01012 km2 di tahun 1220 s.d. 1050 S.M., tanpa tembok pelindung. Dapat disimpulkan, pada zaman Israel sampai di Kanaan, sebenarnya tidak ada “kota” Ai, dan tidak ada seorang raja pun di sana. Yang ada adalah puing-puing kota kuno yang telah diluluh-lantakkan 1200 tahun sebelumnya. Ai paling banyak dihuni oleh 12 ribu penduduk. Untuk kota seukuran ini, kekuatan militer ditaksir tidak lebih dari 3000 orang pasukan. Sehingga, jika musuh hendak mendudukinya, pasukan sebanyak 3000 orang sudah cukup kuat untuk menggempurnya.

Larangan dan Konsekuensi. Dalam konteks yang lebih luas, Yosua 6-12 mengetengahkan prinsip penting dalam perjalanan umat Allah menuju tanah perjanjian: Allah akan berperang bagi umat-Nya jika (dan hanya jika) mereka patuh kepada ikatan perjanjian. Yerikho jatuh ke tangan Israel karena iman dalam kepanglimaan Allah, dengan berpegang teguh dalam kuasa ilahi, bukan oleh sebab pengalaman gilang-gemilang di masa lampau—kesuksesan mengepung dan menguasai kota Yerikho yang berbenteng teguh. Penghakiman yang Allah telah tetapkan bagi Kanaan, dalam Kejadian 15.16 (“kedurjanaan orang Amori”). Israel berperang melawan bangsa Kanaan, dengan demikian, bukan semata-mata supaya mereka menerima berkat dari Tuhan, atau menantikan kelimpahan di negeri yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinuku. Tetapi lebih dari itu, Israel adalah alat di tangan Tuhan untuk menjalankan penghakiman atas kedurjanaan bangsa-bangsa asing.

Kini, mereka hendak menduduki Ai (ps. 7). Ai relatif lebih gampang untuk ditundukkan ketimbang Yerikho. Namun Israel gagal menduduki Ai. Apa sebabnya?

Pertama, tugas itu tidak boleh di-discount! Allah menghendaki kesetiaan yang mutlak dari Israel, yakni setiap tugas yang diberikan harus dikerjakan dengan sempurna! Ketika tugas itu dipotong sedikit saja, akibatnya . . . kecelakaan besar! Allah murka! Sekali menjadi umat perjanjian, maka larangan dan konsekuensi perjanjian Allah juga harus diikuti. Umat harus tahu batas-batas di mana mereka harus bertindak dan berjalan. Akhan memiliki rasa mélik (“ingin memiliki”) terhadap barang-barang yang menjadi larangan Tuhan untuk dimiliki secara pribadi (7.1). Sehingga, meski mereka berpongah dapat menundukkan Ai hanya dengan beberapa ribu orang saja, akhirnya pasukan Israel dipukul KO! Tiga puluh enam pahlawan Israel gugur, dan hal ini merupakan kekalahan telak. Murka Allah baru dapat diredam ketika barang-barang itu dimusnahkan (ay. 13).

Kedua, umat diajak untuk menyadari: nila setitik rusak susu sebelanga. Artinya, dosa yang dimulai oleh satu orang dapat menjalar kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Oleh karena dosa Akhan, seisi keluarga bahkan harta miliknya pun tercemar, sehingga semuanya ini harus dimusnahkan. Sebuah monumen yang kemudian didirikan di Lembah Akhor, agak selatan Yerusalem ke arah kota Yerikho, menjadi saksi akan kisah ini (ay. 26). Bukankah dosa pun dimulai dari satu orang manusia, dan akhirnya merambah ke seluruh generasi, sampai bayi terakhir yang akan dilahirkan? Allah takkan mungkin akan berperang bersama umat bilamana mereka tiada lagi kedapatan patuh kepada aturan yang Allah tetapkan.

Tanggung Jawab dan Solidaritas dalam Komunitas. Kiranya kita camkan dengan seksama kisah ini. Mengharukan. Dan, mengerikan. Kita tengah diajar kembali tentang makna komunitas—komunitas orang percaya! Setiap anggota memiliki peran dan tanggung jawab. Ke pundak kita semua, tanggung jawab bersama itu Tuhan berikan. Dalam nada yang sama, rasul Paulus memperingatkan gereja Tuhan di Korintus, “Kemegahanmu tidak baik. Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi dapat mengkhamiri seluruh adonan?” (1Kor. 5.6) Privatisme—“Pokoknya yang penting aku puas, kenyang, nikmat . . . tak peduli orang lain—hendaklah dibuang dari komunitas beriman. Ataupun sikap apatis alias cuek—“Mbuh karepmu, bukan urusanku!”—juga harus kita hapuskan. Tidak ada seorang pun di dalam komunitas orang percaya yang diberi peran ndelok—kêndêlé mung alok, tukang protes, banyak kritik dsb.—tetapi tidak bersedia bila diajak terlibat dalam pelayanan.

Di era Yosua Pertama, ketika Israel baru saja menginjakkan kaki di tanah Perjanjian, terdapat noda yang mencelakakan seluruh umat. Tapi syukur kepada Allah! Di era Yosua Kedua (Yesus Sang Mesias), yang mengantar umat-Nya ke “Tanah Perjanjian Kekal,” maka gereja boleh diyakinkan bahwa kemenangan merupakan jaminan bagi setiap murid-Nya.

Bila demikian halnya, kemajuan gereja ini adalah tanggung jawab kita bersama. Kemunduran gereja ini juga merupakan tanggungan kita semua. Bila ada seorang warga jemaat yang sakit, semua kita merasakan kenyerian. Bila ada warga yang jatuh dalam dosa, maka kita pun merasakan akibatnya. Kita harus makin tekun dalam melayani Allah dan memperbaiki mutu pelayanan kita. Tolonglah yang lemah. Bantulah yang berbeban. Angkatlah yang jatuh. Maka kelak, kemenangan itu pun milik kita bersama!

TERPUJILAH ALLAH!

Friday, April 6, 2007

The Word and Liturgical Time


The Word and Liturgical Time

Calvin shared the common Protestant conviction that preaching the word was one of the most critical factors that needed to be re-introduced and maintained as a vital part of public worship. Like other Reformed theologians, Calvin set aside the “selected lectionary” and followed the lectio continua system, working straight through one biblical book after another. On Sundays he preached on the New Testament, on weekdays on the Old, through the psalms were also expounded on Sundays.

Also like other Reformed leaders, Calvin greatly simplified the liturgical calendar, putting central emphasis on Sundays, and eliminating not only all of the saints’ days but also most of other holy times as Advent and Lent. Commonly Zwinglian churches kept Christmas (December 25), Circumcision (Januari 1), Annunciation (March 25), Easter, Ascension, and Pentecost. Calvin dropped Circumcision and Annunciation as well (the latter was popularly remembered as a Marian feast, the Conception), and celebrated the other four holy days on Sundays. Usually on these days Calvin interrupted the regular lectio continua pattern to preach on a text suited to the day, unless the New Testament book he was then expounding lent itself to that particular feast. In addition, during the week before Easter, there was also a break in the lectio continua pattern for a series of sermons on the Passion; Calvin sometimes chose the Gospel of John but especially liked Matthew, which was the favorite Synoptic Gospel in the sixteenth century because it was believed to be the oldest.

Many people have criticized this Reformed revision of the calendar, which was related to the change from a selected lectionary to the lectio continua method of choosing Scripture, without fully understanding the reasons it was done. One purpose was to see that all the Bible was preached, including the Old Testament. A second reason was the re-orientation of religious time as part of the Protestant re-envisioning of the holy. No longer was one time considered more holy than any other, just as no places or persons were intrinsically holy. Sunday was kept as the holy and the only full holiday (free of work). For Calvin, however, the observance of Sunday, although it was critically important, was not a law that had to be kept in order to be saved, but rather an obedient recognition of God’s accomodation to humanity. All of time is holy, all seven days are owed to God, but God requires only one to be set aside for worship and rest, while the other six may be used for work. (Calvinnever thought of changing the day of worship, but he did object to the superstitious idea that Sunday was essentially different from the other days. He would probably have been as diappointed that the later Reformed tradition developed a strong Sabbatarianism as he would have been shocked by how lightly many modern people treat Sunday.)

At least in the sixteenth century, this extreme revision of the liturgical year did not mean there was less concern for salvation history. One has only to look at Calvin’s prayers to see that the death and resurrection of Jesus Christ were themes throughout the year. If no time is sacred but all time belongs to God and has been redeemed by the Passion and resurrection of Christ, then every moment is holy, every moment is a time for worship. The Reformed idea of liturgical time reflects a very strong sense of God’s providence and presence acting in history, a worship conscious of the here and now as lived in God’s sight and offered to God.

This present-focus of liturgical time is most clearly seen in the establishment of the weekly Day of Prayer, which in Geneva was held on Wednesdays. This was a time of repentance for sins, thanksgiving for mercies, and intercession for the afflicted, prompted especially by careful observation of God’s working in the world. The “current events” of the Christian lives—the dangers that served as God’s chastisement and education, acts of deliverance that manifested God’s gracious mercy, and regular awareness of all sisters and brothers who suffered or were in need—these were the focus of the Day of Prayer. Together with the restructuring of the liturgical year to give key prominence to Sunday, this special “holy day” (a partial holiday in Geneva: no work was allowed until after the services) helped to shape Calvinist Reformed liturgical time in a way that orients worship toward taking very seriously the here and now in which worship a strongly ethical and activist bent; remembering and interceding for all brothers and sisters, both those immediately at hand and those far away, meant that one could never forget the obligation to love one’s neighbors.

Taken from
McKee, E. A. “Reformed Worship in the Sixteenth Century.” Pp. 17-19 in Christian Worship in Reformed Churches Past and Present. L. Vischer, ed. Grand Rapids: Eerdmans.

Sekali Buat Selamanya


SEKALI BUAT SELAMANYA
Oratorio Jumat Agung, 6 April 2007

Narator 1

Sabda Kekal telah menjadi manusia,
dan nama-Nya ialah Yesus.
Allah yang Perkasa telah menjadi manusia, sama seperti kita,
bahkan mengambil rupa seorang hamba,
hingga detik-detik terakhir-Nya di dunia yang sarat dengan noda dosa.

Di dalam Dialah, kita menemukan kemerdekaan, kebenaran dan kasih.


Narator 2

Pada malam sebelum Ia diserahkan,
Ia rindu merayakan Paskah bersama para murid-Nya. Sambil mengangkat roti, Ia berkata, “Ambillah, makanlah . . . inilah tubuh-Ku.”
Kemudian diambil-Nyalah cawan, diangkatnya cawan itu serta berkata,
“Minumlah dari cawan ini . . . inilah darah-Ku, darah perjanjian baru.”

Yesus memberitakan kematian-Nya.
Kematian sebagai Pengantara perjanjian Allah.
Sebab, perjanjian itu telah dihancurkan oleh kelicikan hati manusia,
dan Allah kini menuntut kepada tiap-tiap manusia
atas dosa dan pelanggarannya.


Narator 1

Dua hari sebelum peristiwa itu, Ia berkunjung ke rumah Simon,
yang pernah Ia sembuhkan dari kusta.
Tiba-tiba . . . gelak tawa dan kehangatan persekutuan itu berubah menjadi sunyi . . . senyap . . . Semua mata tertuju ke sudut ruang!
muncullah seorang perempuan dari balik tirai,
membawa sebuah buli-buli pualam.
Sebotol minyak narwastu, tak ternilai harganya!!

Sejenak kemudian, ruangan menjadi harum!
Minyak itu . . . ya, minyak mahal itu mengalir di kepala Yesus.
“Aah . . . pemborosan!” demikian keluh para murid.

Yesus memandangi mereka, dan berkata dengan lembut,
“Biarkan dia. Perempuan ini telah mengurapi aku sebagai persiapan penguburan-Ku.”


Narator 2

Tubuh-Nya akan terpecah-pecah.
Daging-Nya akan tercabik-cabik.
Darah-Nya akan tercurah.
Dengan kematian, Ia mengalahkan maut.
Dengan kematian, Ia mendamaikan manusia.
Dengan kematian, Ia menunjukkan ketaatan total kepada Bapa-Nya.

Buli-buli yang dipecah, dan minyak harum yang tercurah,
Mengukuhkan Yesus sebagai Mesias bagi kaum pilihan Allah.

Paduan Suara: PECAH DAN TERCURAH


Narator 1

Allah itu adil, Allah itu benar.
Allah tidak mungkin mengasihi ketidakbenaran di dalam kita.

Namun betapa indahnya!
Dia pula yang menggenapkan karya keselamatan bagi kita.

Sungguh, oleh anugerah itulah kita diselamatkan melalui iman,
itu bukan hasil usaha kita, tetapi pemberian Allah;
itu bukan hasil pekerjaan kita, sehingga tiada tempat bagi kita untuk bermegah!


Narator 2

Kematian Kristus bukanlah kematian yang biasa.
Ia layak mengurbankan diri-Nya
sebab Ia saja yang tiada noda dan cela.
Ia adalah Anak Domba yang sempurna,
Yang telah dipilih sebelum permulaan dunia.

Sebab mautlah upah dosa,
dan maut hanya dapat dihapus dengan darah yang mahal.
Yakni darah Anak Domba yang tiada bernoda.

Yesus Kristus telah membayarnya . . . LUNAS!
Satu kali untuk selamanya.

Paduan Suara: SEKALI BUAT SELAMANYA


Narator 1

Dan memuncaklah derita itu . . .
tatkala Yesus harus menanggung di atas pundak-Nya,
sebilah kayu salib yang kasar . . .
Beban berat menindih pundak yang telah robek-robek
oleh lecutan cambuk bergigi duri.

Tak cukup sampai di situ.
Ia harus maju ke tempat penghukuman,
Bukit Tengkorak yang menjadi kengerian
bagi para penjahat dan pemberontak!

Wajah-wajah nan haus darah berdiri di kanan-kiri
mengiring perjalanan Yesus ke Bukit Tengkorak.
Cemoohan, hujatan, teriakan, “Salibkan Dia!”
bertaut-bersambung.


Narator 2

Via Dolorosa tak mungkin dihindari.
Jalan Sengsara adalah satu-satunya pilihan.
Itulah jalan yang Bapa tetapkan:
Jalan penderitaan adalah jalan pendamaian
Jalan sengsara adalah jalan penebusan
Jalan derita adalah jalan pembenaran
Jalan kematian adalah jalan kehidupan.


Narator 1

Demikianlah digenapi sabda sang Bapa lewat nabi Yesaya:
Sesungguhnya penyakit kitalah yang ditanggung-Nya,
dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya.
Dia tertikam oleh pemberontakan kita ,
Dia diremukkan oleh kejahatan kita.
Dia dianiaya, tetapi Dia membiarkan diri ditindas
dan tidak membuka mulut-Nya
seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian.

Paduan Suara: Via Dolorosa


Narator 2

Ajaib . . .
Sungguh agung karya-Nya!
Sungguh menakjubkan perbuatan tangan-Nya!

Ia yang tidak berdosa telah dibuat menjadi dosa karena kita
Ia yang kekal, menjadi manusia dan mendiami kesementaraan,
rela mati karena kita.
Ia yang empunya semesta raya kini tergantung di antara langit dan bumi!


Narator 1

Siapa yang membela-Nya?
Siapa yang menjadi penghibur-Nya?
Yang berteriak “Hosana!” kini berbalik dan memekikkan “Salibkan Dia!”
Yang bersama Dia dan mengenal Dia, menukar-Nya demi 30 keping perak, dan memeluk-Nya dengan “ciuman Yudas”!
Yang berkata, “Aku akan bersama Engkau sampai matiku,” menyangkal Dia, 3 kali banyaknya.
Yang menyaksikan puluhan bahkan ratusan mukjizat, tergopoh-gopoh berhamburan meninggalkan Dia.

Yesus sendirian.

Bahkan Bapa di surga yang mengasihi-Nya,
kini memalingkan muka-Nya dari Sang Putra,
Sebab maut akibat dosa umat manusia,
kini merenggut Sang Putra yang dikasihi-Nya.


Narator 2

Tapi dengarlah . . . dari atas salib itu,
sayup-sayup terdengar suara . . . Lirih . . .
“Tetelestai!”
Sudah selesai!
Sudah genap!
Harga penebusan terlunasi!
Misi Allah berjalan sempurna!

Yesus tidak terjebak dalam perangkap sang kala!
Yesus tidak dipaksa oleh tangan-tangan manusia!
Yesus menjalankan misi Sang Bapa!


Narator 1


Maka sekarang:
Hiburkanlah, hiburkanlah umat-Ku, demikianlah firman Allahmu,
tenangkanlah hati Yerusalem dan serukanlah kepadanya,
bahwa perhambaannya sudah berakhir,
bahwa kesalahannya telah diampuni.

Paduan Suara: SION BERSORAK


Narator 2

Tuhan telah menunjukkan tangan-Nya yang kudus
di depan mata semua bangsa;
maka segala ujung bumi melihat keselamatan yang dari Allah kita!

Bergembiralah, bersorak-sorailah bersama-sama,
hai reruntuhan Yerusalem!
Sebab Tuhan telah menghibur umat-Nya,
telah menebus Yerusalem.

Rencana agung keselamatan itu tidak berhenti di kubur milik Yusuf Arimatea!
Maut tak dapat merenggut Sang Putra Allah lebih lama lagi!
Pada hari yang ketiga, Ia bangkit dari antara orang mati!
Tepat seperti yang Ia katakan kepada para murid.

Ya, benar, Ia sungguh bangkit!
Karena ketaatan-Nya kepada rencana Allah,
maka Allah membela Dia,
dan membangkitkan Dia dari antara orang mati.
Allah meninggikan Kristus,
dan menobatkan-Nya sebagai Mesias Raja!

Yesus Kritus telah mengalahkan maut!

Maka,
Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa dan kekayaan dan hikmat dan kekuatan dan hormat dan kemuliaan dan puji-pujian sampai selama-lamanya!

Dia hidup selama-lamanya!

HALELUYA!


Lanjutan Lagu SION BERSORAK

Sunday, April 1, 2007

Hidup: Kesempatan atau Rutinitas?


HIDUP: KESEMPATAN ATAU RUTINITAS?


PENDAHULUAN

Coba perhatikan kehidupan Anda. Dari pagi sampai malam. Dari Senin sampai Minggu. Kalau Anda seorang karyawan yang memang dibatasi dalam aturan dan job description, yang Anda lakukan dari hari ke hari ya urusan itu-itu saja. Kalau Anda seorang pelajar atau mahasiswa, waktu Anda pun dibatasi oleh perkuliahan dan tugas-tugas kejar deadline. Apa yang Anda alami dan rasakan? Anda melakukan kegiatan yang nyaris sama, berulang-ulang. Seperti itu terus. Nampaknya tak banyak variasi, bukan? Akibatnya, hidup terasa membosankan.

Dalam khasanah falsafah hidup Yunani, dikenal dua kata yang menerangkan “waktu,” yaitu kairos dan khronos. Yang pertama disebut “peluang” atau “kesempatan,” yakni suatu peristiwa yang jarang terjadi, hanya sekali-kali saja, dan tak mungkin dapat dijadwalkan. Kata kedua menunjuk kepada “rangkaian waktu yang berurutan,” “berulang-ulang,” atau yang kita sebut sebagai rutinitas. Tanpa berpanjang kata, saya segera hendak mengajak Anda merenungkan, bagaimana keduanya berjalan bergandengan tangan, harmonis, tanpa harus dipertentangkan. Dengan perkataan lain, bagaimana kita menarik sebuah sintesis—yakni bagaimana khronos menjadi kairos, yang rutin menjadi kesempatan?

RITME SEBAGAI TAPAL BATAS

Ketika Allah menjadikan langit dan bumi, Allah juga menciptakan sebuah ritme atau irama kehidupan. Irama inilah yang menjadi tapal batas kehidupan manusia. Pertama, pagi dan petang. Saat terang dan saat gelap. Siang dan malam. Kedua, enam hari kerja dan satu hari perhentian. Apa maknanya? Kehidupan merupakan sebuah ritme, dan ritme itu adalah ritme kerja dan istirahat.

Kitab Suci tidak pernah membuat pembedaan dualistis antara rutinitas dan kesempatan. Sebab pada kenyataannya, manusia dibatasi oleh ritme kerja dan istirahat. Jadi bukan masalah apakah manusia mempunyai kesempatan di luar rutinitas, tetapi bagaimana manusia menemukan kesempatan di dalam rutinitas.

Ritme ini harus tetap seimbang. Bila terjadi ketidaksetimbangan, manusia akan menjadi tidak nyaman hidupnya. Di satu sisi, dalam sejarah peradaban manusia pernah terjadi, pada tahun 1792 ketika pecah Revolusi Prancis, ketika monarkhi runtuh diganti oleh republik, orang mau mengubah ritme ini. Hari kerja menjadi 10 hari, dan 1 hari kerja. Tetapi Napoleon Bonaparte—mungkin inilah sedikit kebaikan yang ia lakukan—mengembalikan lagi ritme penciptaan. Selain itu, pada waktu pecah Revolusi Rusia, di mana kaum soviet, kaum buruh, berkuasa di Rusia, oleh Vladimir Lenin, hari Minggu pun dijadikan sebagai hari kerja. Karena kerja keras serta produktivitas tinggi merupakan kata penting untuk Uni Soviet. Tapi jelas, manusia tidak sanggup mengikutinya. Joseph Stahlin—meski seorang diktator otoriter—akhirnya mengembalikan ritme penciptaan.

Namun di sisi lain, ini jelas makin sukar kita kerjakan! Kita hidup dalam zaman ketika manusia gampang sekali bosan. Kebudayaan kita dicirikan oleh TV be-remote control. Kita dapat memilih apa yang kita sukai dengan sekali klik! Kebudayaan mengalami fluktuasi yang hebat karena orang makin susah berkonsentrasi pada satu hal. Pada akhirnya, seleralah yang mengendalikan segala naluri kerja manusia. Orang menjadi cepat sekali bosan.

Beberapa ahli menyebut zaman kita ini blitz culture. Bagai lampu blitz kamera, jepret sana, jepret sini. Byar sekilas-sekilas. Andaikan byar yang satu tidak ada kaitannya dengan byar yang lain, tidak jadi masalah. Contoh konkretnya adalah MTV! Iklan yang ditampilkan cepat berubah, dan banyak kali iklan promosi MTV non-sense. Tapi, oleh karena perubahan yang sedemikian cepat, orang menjadi tidak bosan. Orang yang cepat bosan segera mendapat variasi yang lain.

Blitz culture juga menyusup ke dalam gereja. Banyak kali kita menemukan, jemaat makin tidak tahan dengan khotbah-khotbah yang berisi pengajaran. Khotbah makin pendek, dan tuntutannya makin banyak variasi, serta perlu ada imbuhan multimedia yang ditata dengan apik dan menyenangkan mata. Jika para reformator lima abad yang lalu sampai melakukan "ikonoklasme" (penghancuran ikon-ikon) karena mereka khawatir akan terjadinya "ikono-latri" (penyembahan kepada ikon), dan iman itu datang hanya oleh pendengaran dan pendengaran akan firman Tuhan, sekarang berbeda. Firman jangan sampai kepanjangan, dan yang penting ada pernak-pernik tambahan tiap minggunya: pengkhotbah tamu—dan kalau bisa impor dari luar negeri—dan artis-artis rohani dari ibu kota.

MENEMUKAN TITIK SPIRITUALITAS RUTINITAS

Salah satu hal penting yang dapat membantu kita untuk menemukan spiritualitas rutinitas adalah ketika kita click! dengan hal-hal yang biasa. Dalam perjalanan ke Semarang dari Kudus, saya biasanya naik sepeda motor. Suatu kali, saya pernah kehujanan, dan terpaksa mencari tempat berteduh di pinggir jalan. Hujan itu biasa, tetapi tiba-tiba click! dalam pikiran saya, terdengar tetes-tetes hujan itu membentuk suatu irama musikal. Atau kali lain, ketika saya berbaring miring, telinga saya tempelken ke bantal, sehingga terdengar suara detak jantung. Bukan hal yang istimewa, tetapi ketika saya coba dengarkan lagi, ternyata ada sesuatu yang asyik, bahwa detik jantung saya pun membentuk suatu irama.

Hal yang biasa, yang rutin, telah teramat sering kita kembali pikirkan adanya sesuatu yang indah di baliknya. Saya pikir, ketika kita berkehendak untuk menemukan titik spiritualitas hal-hal rutin, tiada lain adalah mengambil waktu untuk memikirkan hal-hal yang biasa tadi. Bagaimana caranya?

Pertama, Gereja purba mengenal istilah laborare est orare, bekerja adalah berdoa. Perhatikan, ketika kita sedang bekerja itu berarti kita sedang berdoa. Bukan setelah bekerja kita berdoa. Kerja pun merupakan doa kita. Gereja sama sekali tidak memiliki pandangan yang dikotomis. Betapa indah, bila ternyata di dalam karya tangan kita, kita tengah bersekutu dengan Allah yang hidup dan benar! Apakah yang kita inginkan lagi, bila demikian? Allah Bapa bekerja, Kristus Sang Putra bekerja, kita pun bekerja!

Kedua, St. Augustinus mengajak kita merenungkan bahwa hidup itu terdiri dari “hidup kontemplatif” (vita contemplativa) dan “hidup aktif” (vita activa). Letak kekuatan kita terdapat pada kecakapan kita untuk mengembangkan daya hidup kontemplatif. Sebab hidup kontemplatif adalah motor penggerak yang luar biasa dari hidup aktif. Apa artinya berkontemplasi? Intinya adalah mengingat Tuhan. Dalam budaya Jawa dikenal istilah wirid. Dalam wirid, orang diajak untuk menghayati satu hal yang sangat penting, yaitu eling atau mengingat. Tak lain adalah mengingat Yang Mahakuasa, atau mengingat Tuhan. Jadi dalam kehidupan sehari-hari, seseorang hendaknya tetap mengingat Allah kapan saja dan di mana saja. Sebab di dalam eling tadi, seseorang menjadi mawas dan waspada.

Ketiga, mendiang Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1984 menulis Ensiklik Laborem Exercens, “Kerja Manusia.” Inilah salah satu tulisan yang menjabarkan teologi kerja dengan sangat baik. Dalam pendahuluannya, ia menulis

From the beginning therefore he is called to work. Work is one of the characteristics that distinguish man from the rest of creatures, whose activity for sustaining their lives cannot be called work. Only man is capable of work, and only man works, at the same time by work occupying his existence on earth. Thus work bears a particular mark of man and of humanity, the mark of a person operating within a community of persons. And this mark decides its interior characteristics; in a sense it constitutes its very nature.

Panggilan manusia sejak pertamanya adalah untuk bekerja. Dan, bekerja merupakan pembeda antara manusia dari ciptaan yang lain. Hanya manusia yang mampu bekerja. Karena itu, tak heran bila kemudian Paus menyatakan bahwa kerja adalah: (1) tugas khusus gereja, (2) berbagian dengan karya Sang Khalik, (3) meneladani Kristus, Sang Manusia Pekerja, (4) berkat Allah sejak penciptaan, yang kemudian disempurnakan dalam terang kematian dan kebangkitan Kristus.

Oh, betapa luar biasanya kebenaran yang kita temukan dalam kerutinan yang kita geluti sehari-hari. Tiada yang dapat kita katakan dan Aminkan kecuali bahwa kesempatan itu kita jumpai dalam rutinitas yang kita bila kita menemukan click! yang vital, yaitu memahami “makna” di balik segala sesuatu yang kita kerjakan, yang nampaknya biasa-biasa. Hal-hal yang kita kerjakan tidaklah sia-sia. Rutinitas akan membuahkan pengharapan, Saudaraku!

TERPUJILAH ALLAH! (010407)