Friday, August 31, 2012

Book Review: SIN: THE EARLY HISTORY OF AN IDEA

SIN: THE EARLY HISTORY OF AN IDEA
by Paula Fredriksen
(Princeton University Press, 2012)

Dosa, menurut penulis sebuah buku yang baru, tak mungkin dipahami seperti yang sebelum-sebelumnya. Para pembaca yang memakai bingkai dogmatika, kredo Gereja Am atau denominasional, bisa jadi terprovokasi untuk menilik ulang pahamnya. Sin, demikian kata sang penulis, suits its time. Konteks menentukan konten. Kultur dan filosofi menentukan teologi.

Sebagai seorang sejarawati kawakan terhadap studi Kekristenan kuno selama lebih dari 30 tahun di sebuah universitas beken di Amerika Serikat (Universitas Boston), Paula Fredriksen telah bergulat dengan perkembangan dan kompleksitas dimensi mengenai dosa. Buku ini sendiri dipicu oleh sebuah undangan dari Universitas Princeton, alma mater Fredriksen, untuk menyajikan sebuah paparan perkembangan mengenai dosa kepada khalayak yang lebih luas—kepada kalangan non-akademis. Ia sendiri mengaku bahwa undangan ini membuatnya panik. Sebuah proyek yang muskil dikerjakan!


Dalam penggaliannya, Fredriksen menemukan bahwa di dalam Alkitab ide-ide mengenai Allah berubah-ubah dengan intens, demikian juga tentang dosa. Pertanyaanya, apakah Alkitab tidak menyajikan sumber penggalian yang koheren tentang Allah? Jawaban Fredriksen mengejutkan: Ya, dan Tidak.


Yesus dan Paulus tidak membaca Alkitab yang “sama”: Yesus dalam tradisi Ibrani dan Aramik, Paulus dalam Gerika (Yunani). Hal senada pernah disampaikan oleh Amy Jill-Levine dari Universitas Vanderbilt—Alkitab Yunani dan Ibrani tidak mengatakan hal yang sama. Fredriksen memberikan contoh, bahwa allah bangsa-bangsa, yang dikutip oleh Paulus dari Mazmur 95 adalah daimones, yang dalam paham pemeluk agama kafir, allah yang demikian adalah allah yang lebih rendah—kendati begitu tetap Allah. Allah Israel menjadi lebih banyak lawan-lawannya ketika Alkitab dibaca dalam bahasa Yunani.


Para teolog yang terkemudian memikirkan dosa dalam ranah filosofi. Bagi mereka, Allah yang tertinggi tidaklah berubah, transenden-radikal, mutlak dan melampaui apa pun dengan manusia, dan bergerak melalui waktu dan ruang. Allah dalam Kejadian, berlawanan dengan itu, adalah Allah yang terus-menerus mengerjakan banyak hal: membingkai semesta; menciptakan kehidupan di dalamnya; menampakkan diri kepada Abraham, berbicara kepada Musa dan para nabi.


Siapa Allah itu, kalau demikian? Allah orang Yahudi adalah Allah yang esa; namun Allah yang rendah, yang mengikatkan diri dengan sejarah tampaknya bukan Bapa dari Kristus. Bapa-Nya haruslah satu Allah yang melampaui allah Alkitab. Tidak! Jawab seorang Kristen yang melawan pandangan itu. Allah yang agung dalam filsafat sesungguhnya adalah Bapa dari Kristus. Maka, Allah yang menunjukkan diri di dalam Kitab Suci Yahudi haruslah Allah, sebelum inkarnasi. Dalam ranah ini, para pahlawan PL “menjadi” para penyembah Sang Anak pada masa pra-inkarnasinya: Abraham, Ishak, Yakub, Daud sudah dapat dikatakan Kristen—demikian teolog yang ini mengklaim.


Namun yang sangat kontras sesungguhnya muncul dalam karya dua teolog terkemudian: Origenes dari Aleksandria dan Agustinus dari Hipo. Keduanya membaca Alkitab yang sama (PL dan PB); keduanya sama-sama patuh kepada ortodoksi. Namun bagi Origenes, semua manusia—semua makhluk Allah—akan diselamatkan; menurut Agustinus, kebanyakan orang akan dibinasakan. Menurut Origenes, sebab Allah itu adil, Ia memberi manusia kehendak bebas sehingga manusia dapat memilih mau berdosa atau tidak. Menurut Agustinus, sebab Allah itu adil, Ia menghukum semua makhluk-Nya, bahkan Iblis. Akhirnya, di akhir zaman, bahkan Iblis pun akan bertobat, dan yang terakhir diselamatkan. Agustinus percaya bahwa Allah menjatuhkan murka-Nya ke atas manusia oleh sebab dosa Adam. Ia dengan murah hati menebus sebagian orang (kendati mereka tidak layak menerima penebusan) untuk menunjukkan kekayaan rahmat-Nya. Namun Ia menghukum kebanyakan manusia—termasuk bayi-bayi, jika tidak dibaptiskan. Semua ini hendak menunjukkan keadilan-Nya.


Agustinus mati seorang diri, kata Fredriksen, sambil membaca mazmur-mazmur ratapan, meratapi dosa-dosanya, dan berjalan ke arah Allah yang murka yang ia ciptakan sendiri. Sementara itu, pemikiran-pemikiran tentang dosa—juga mengenai umat manusia, dunia dan Allah—tidak bertahan sama selama enam belas abad antara zamannya dan zaman kita. Begitu beragam rekonstruksi dosa tak kurang banyak seperti pada era-era awal.


Implikasi: Kendati “tidak ada yang baru di bawah matahari,” namun telaah Fredriksen bisa jadi mendesak bahkan memaksa para teolog dan pendeta untuk memikirkan ulang apakah ada ajaran mengenai dosa yang diyakini oleh Gereja Am. Telaah kesejarahan seperti ini mendorong para pemikir Kristen yang serius untuk tidak berhenti pada makna leksikal sebuah kata (misalnya: hamartia), tetapi juga kajian semantik. Jika benar konten ajaran “dosa” ini terikat konteks suatu zaman, bagaimana kita memandang karya Yesus Kristus selanjutnya.

Thursday, August 23, 2012

Stefanus Sang Martir: Benih Gereja


STEFANUS SANG MARTIR: BENIH GEREJA
(Kisah Para Rasul 6:1-7; 7:34–8:1a)


Stefanus: Murid yang Mengikut Kristus

Semua gereja dicirikan oleh salib.  Salib dipajang di spot yang menjadi pusat pandangan jemaat.  Salib dikidungkan.  Gereja pun mengangkat salib sebagai pusat pemberitaannya.  Salib sebagai substitusi—pengganti orang berdosa.  Salib sebagai propisiasi—peredam murka Allah Bapa.  Salib sebagai ekspiasi—menebus kaum yang cemar.  Salib sebagai rekonsiliasi—pendamaian Allah dan manusia.  Semua berita salib ini benar adanya.

Namun, di awal sejarah gereja, di masa sekitar hidup Yesus, pemahaman salib sangat berbeda.  Salib adalah simbol penindasan (oppression)—yang kuat berkuasa atas nyawa yang lemah.  Salib adalah kehinaan (shame)— tersalib berarti dipermalukan dengan hebat.  Salib adalah ketersisihan (marginality)—tersalib berarti tidak masuk hitungan.  Salib adalah kematian yang tidak dikenal (infamous death)—yang disalib pasti bukan orang yang berkedudukan.  Inilah salib yang ditanggung oleh Yesus, dan Ia mengundang murid-Nya untuk mengikuti jejak-Nya (Luk. 9:23-24).

Stefanus, satu dari 7 diaken, mengikuti teladan Yesus.  Cobalah perhatikan hidupnya, berparalel dengan hidup Yesus: penuh roh, berdebat dengan orang Yahudi, dituduh menghujat Allah, diajukan ke Mahkamah Agama, dihukum sampai mati, berdoa dengan suara nyaring, dan memohonkan pengampunan untuk musuh.

Kematian dan Kemartiran: Sebuah Pembalikan Makna

Bagi dunia, kematiran adalah kehinaan.  Tetapi bagi murid Kristus, kematian sebagai saksi Kristus berarti perubahan makna—dari penindasan menuju kemerdekaan, dari kehinaan menuju kemuliaan, dari yang terpinggir menjadi pusat, dari yang tidak dikenal menjadi terkenal.  Bapa Gereja Tertulianus berkata, “Darah para martir adalah benih gereja.”

Kita bisa jadi dipanggil bukan untuk mati syahid seperti Stefanus.  Tetapi milikilah gaya hidup para martir.  Tekun!  Bertekun sampai akhir.  Setia sampai titik darah penghabisan.  Gereja dibangun di atas kesetiaan umat Allah.  Jangan takut dipinggirkan oleh masyarakat dan dunia.  Jangan takut menjadi nomor dua.  Berjalanlah dua mil dengan orang yang menuntut kita berjalan satu mil.  Lakukan kebaikan lebih lagi.   

TERPUJILAH ALLAH!

Thursday, August 16, 2012

Doa Pengakuan Dosa di Ibadah Kemerdekaan RI ke-67

Petugas 1 (Wakil Jemaat Senior)

Bapa, Tuhan Yesus mengajar kami berdoa: “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu." Namun, kami sering tak sadar bahwa kami yang tinggal di bumi ini a
dalah anak-anak-Mu dan seharusnya hidup kami mencerminkan sifat dan dan tindakan-Mu.

Ketika doa itu dilanjutkan, “Datanglah kerajaan-Mu," Kami selalu berpikir bahwa kami akan pergi dari bumi ini, ke sebuah dunia lain nun jauh di sana, padahal kerajaan itu mendekat kepada kami. Sehingga, kami lebih memikirkan diri kami dan keselamatan pribadi, serta lupa akan panggilan kami untuk menjadi saksi-Mu di keluarga, di lingkungan, di masyarakat, dan di negeri Indonesia.

Dan, “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya," Perut kami kerap menjadi tuhan kami, yang menuntut kepuasan, padahal di sekitar kami banyak kelaparan; yang rakus terhadap harta dan kepemilikan, padahal di sekitar kami begitu banyak orang yang membutuhkan.

Kepada-Mu, ya Tuhan, kami berseru. Hanya kepada-Mu saja, kami memohon. Dengarlah doa kami.
Jemaat: Tuhan, kasihanilah kami.

***

Petugas 2 (Wakil Jemaat Muda)

Yesus melanjutkan doa itu, “Ampunilah kami akan dosa kami, sebab kami pun mengampuni setiap orang yang bersalah kepada kami." Betapa sulitnya, ya Bapa, untuk mengampuni. Kendati doa ini jelas mengatakan, hanya dengan mengampuni oranglah, kami diampuni. Tiap Minggu kami memohon pengampuan, sementara setiap hari kami menyimpan dendam dan kemarahan. Di hadapan orang kami berbaik muka, di belakang punggung, kami berharap mereka celaka.

Akhirnya, “Dan janganlah membawa kami ke dalam pencobaan.” Sadarkan kami selalu bahwa pencobaan itu datangnya dari diri kami. Hindarkan kami dari keangkuhan. Pisahkan kami dari kecurangan. Lepaskan kami dari penyelewengan. Bersihkan hati kami dari penyimpangan. Bapa, merdekakan kami dari kuasa si jahat, agar kami tidak jatuh ke dalam pelbagai godaan. Mampukan kami untuk hidup dalam kebenaran dan keadilan, tegak dalam integritas, teguh dalam loyalitas. Agar kami didapati setia, dan mengikut Yesus, Putra-Mu, sepanjang masa.

Kepada-Mu, ya Tuhan, kami berseru. Hanya kepada-Mu saja, kami memohon. Dengarlah doa kami.

Jemaat: Kristus, kasihanilah kami. Amin.

Sunday, August 12, 2012

KONGREGASIONAL SINODAL: DALAM TEOLOGI DAN PRAKTIK


KONGREGASIONAL SINODAL: DALAM TEOLOGI DAN PRAKTIK

GKMI telah lama memilih sistem organisasi kongregasional-sinodal.  Namun, banyak kali sistem ini menimbulkan berbagai pertanyaan dan masalah.  Pada satu masa, muncul tuntutan agar sinode lebih aktif dalam memberikan fatwa dan keputusan tegas terhadap pelbagai isu.  Pada masa lain, gereja-gereja lokal ingin berjalan sekehendak hati tanpa memedulikan sinode.  Ulasan berikut mengetengahkan ekklesiologi-sistematik yang ringkas mengenai pokok kongregasional-sinodal.  

Pertimbangan Biblis-Historis

Setiap komunitas pastilah memiliki tujuan, dan agar tujuan tersebut terlaksana secara efektif maka komunitas tersebut kemudian membentuk sebuah tatanan yang disebut organisasi.  Pengorganisasian ini paling tidak memiliki dua maksud:

1.       Menjabarkan jati diri komunitas yang akan disetujui oleh anggota baru dan mengajak mereka untuk menjadi bagian dalam komunitas itu.

2.       Menyediakan kesempatan-kesempatan bagi setiap anggota untuk menegaskan kembali loyalitas mereka pada visi bersama dan jati diri.

Gereja adalah miniatur dari sebuah komunitas yang istimewa, yaitu komunitas Kerajaan Allah.  Gereja tidak sama dengan Kerajaan Allah, tetapi gereja merupakan maket dari pola cetak biru dari sebuah tatanan yang dicita-citakan oleh Allah.  Sebagai sebuah badan korporat, tujuan gereja adalah untuk membawa kemuliaan bagi Allah Tritunggal dengan memenuhi amanat yang Tuhan serahkan kepadanya.  Secara khusus, gereja sadar bahwa pengorganisasian diri tersebut ditujukan untuk melaksanakan amanat Kristus.  Mendiang teolog Baptis Stanley J. Grenz menyebut tiga amanat yang harus dilakukan oleh gereja yaitu: ibadah, edifikasi dan penjangkauan.[1]

Dalam mengorganisasi diri, gereja menyadari satu prinsip: tidak ada satu persekutuan Kristen di satu konteks tempat dan kurun waktu yang tuntas atau sempurna pada dirinya sendiri.  Berarti, tiap gereja lokal adalah miniatur Gereja Yesus Kristus (tidak berembel-embel “dari Orang-orang Suci Zaman Akhir” yang adalah Gereja Mormon) yang universal.  Itulah sebabnya tiap-tiap persekutuan lokal selalu menjalin hubungan dengan komunitas-komunitas yang lain.  Dengan melakukannya, masing-masing persekutuan lokal menyadari diri sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar.  Bagaimanakah pola bergereja di PB?

1.       Dalam Kisah Para Rasul dan Surat-surat Rasuli, kita menjumpai prinsip bahwa tiap-tiap jemaat lokal memiliki otonomi atau kebebasan untuk mengatur dan menentukan jalannya.  Tiap jemaat dapat mengambil keputusan yang mandiri tanpa intervensi dari sebuah lembaga yang lebih besar.  Sebagai contoh, Kisah 13:1-4 mencatat jemaat di Antiokhia mengutus Paulus dan Barnabas untuk pelayanan misi.  Ketika mereka selesai melaksanakan mandat jemaat, mereka kembali dan melaporkan hasil perjalanan mereka (14:27).  Sidang di Yerusalem (kalau kita hendak katakan sebagai sebuah cikal-bakal sinode) mengambil peran untuk mengirim surat pastoral ke Gereja-gereja non-Yahudi (15:22-29).  Tetapi, tindakan “Sinode” Yerusalem itu dipicu oleh tindakan misi jemaat Antiokhia kepada bangsa-bangsa non-Yahudi, khususnya tentang isu sunat (15:1-2).  Contoh lain adalah jemaat Korintus.  Mereka harus menyelesaikan masalah internal kejemaatan yang berpotensi memecah belah kesatuan mereka, menegakkan disiplin gereja dan menjaga kemurnian kehidupan Kristiani.

2.       Kendati otonom, jemaat mula-mula tetap mempertahankan jejaring kerja sama.  Mereka tidak terpeleset ke dalam individualisme kongregasional.  Mereka tetap menjaga persekutuan antargereja.  Kembali ke kasus Sidang Yerusalem, tiap-tiap wakil jemaat mendapat hak yang sama untuk mengambil keputusan mengenai sebuah isu krusial.  Suara mereka akan didengar dan dihargai.  Rasul Paulus juga menekankan ajaran bahwa jemaat-jemaat wajib menjunjung kesatuan dalam segala hal; secara konkret, ia mengumpulkan dana untuk gereja di Yerusalem sebagai gereja induk—sang rasul berinisiatif agar gereja non-Yahudi terikat erat dalam jalinan persekutuan dengan gereja induknya.

Dari data PB, kita simpulkan bahwa gereja selalu berada dalam tegangan: otonomi dan keterjalinan.  Di satu sisi, jemaat dapat menentukan siapa saja yang menjadi anggota, mengatestasi anggota, menegakkan disiplin.  Gereja dapat mewajibkan anggotanya untuk memenuhi amanat Kristus, mengatur organisasinya dengan jalan memilih orang-orang untuk duduk di kemajelisan, dan menahbiskan pelayan jemaat.

Di sisi lain, sebuah jemaat menjadi partner pelayanan bagi jemaat lain.  Hal ini merupakan cerminan bahwa satu jemaat tidak pernah sempurna dalam dirinya sendiri.  Semua jemaat memiliki peran yang penting bagi kehidupan dan pelayanan tiap-tiap jemaat lokal, dan sebaliknya juga bahwa tiap jemaat lokal memiliki peran dan nilai krusial bagi kehidupan dan pelayanan seluruh umat Allah bagi kesaksian serta keagungan nama Kristus.

Agar tujuan tersebut terwujud, maka masing-masing jemaat perlu mengambil peran aktif di dalam, serta bertanggung jawab, dalam jejaring kerja yang lebih luas.  Bersama gereja-gereja saudari (sister churches), gereja lokal membentuk sebuah jaringan kerja, demi menjadi sarana bagi gereja untuk bersama-sama mencari, menggali, memandang secara bening dan tajam, kehendak Tuhan Gereja.  Melalui jalinan seperti ini, gereja-gereja lokal mampu menggabungkan sumber daya sehingga dapat berperan aktif untuk memenuhi mandat Kristus bagi segenap jemaat-Nya.

Pada awal perkembangannya, sistem pemerintahan Kongregasional ditujukan sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan manusia yang mengklaim sebagai suara ilahi.  Di zaman ketika raja dan persidangan gereja memutuskan manakah kehendak Allah, para pelopor gerakan ini mengajukan gagasan bahwa gereja terbentuk dari tindakan suka rela dan sadar dari tiap individu untuk mengikatkan diri sebagai suatu perserikatan di bawah bimbingan para pemimpin dari antara jemaat untuk mengenali kehendak Kristus.  Memang terjadi silang pendapat mengenai bagaimana hubungan para  pemimpin dengan jemaat secara keseluruhan.  Sebagian memilih pola semi-Presbiterian, yaitu bahwa para penatua mengambil keputusan akhir untuk sidang jemaat.  Sebagian lagi memilih sistem kongregasional-demokratis, yang memegang prinsip bahwa persekutuanlah yang memiliki otoritas dalam mengambil keputusan.  Pada bagian berikut, kita akan mengeksplorasi tema ini lebih lanjut.

Pertimbangan Teologis-Praktis-Spiritual

Yang menarik, dokumen Dewan Gereja se-Dunia (DGD), Baptism, Eucharist, and Ministry (BEM) mencatat kelimat demikian, “Strong emphasis should be placed in the active participation of all members in the life and decision-making of the community.”[2]  Dari kutipan kalimat ini kita melihat bahwa DGD menggarisbawahi pentingnya entitas jemaat lokal, yang dicirikan oleh pengambilan keputusan di dalam dan bagi jemaat.  Pertanyaanya ialah, siapa yang harus mengambil keputusan?  Dokumen BEM di atas menjawab, partisipasi aktif dari semua anggota jemaat.

Hal ini selaras ide perjuangan dari reformasi yang dilancarkan oleh Martin Luther.  Kehendak Luther untuk melaksanakan reformasi pertama-tama bukan ditujukan bagi penanaman doktrin alkitabiah, melainkan pembaruan (atau pemurnian) ekklesiologi dan liturgi.  Karena itu, ia menyuarakan “imamat am orang percaya” (priesthood of all believers).[3]  Jika tiap-tiap warga jemaat memiliki jalan masuk yang sama kepada anugerah Allah, maka tiap-tiap warga jemaat juga memiliki hak, kewajiban, tanggung jawab yang sama pula untuk melayani Allah.  Ini berarti, gereja lokal merupakan konteks yang paling konkret untuk menjadi wahana perwujudan imamat am orang percaya, sebab tiap-tiap anggota memiliki tempat yang sama untuk berpartisipasi dalam pemenuhan mandat gereja untuk menyembah Allah, mengajar dan meneguhkan jemaat, serta menjangkau jiwa.

Dalam tataran lebih praktis, imamat am orang percaya mewujud dalam proses pengambilan keputusan jemaat.  Seluruh warga jemaat wajib dan bertanggung jawab untuk mencari, menggali, menemukan dan mengenali dengan jernih kehendak Kristus bagi sidang jemaat-Nya.  Tugas ini bukan privilese sebagian kecil kelompok orang yang disebut klerus dan Majelis Jemaat, sekalipun mereka ditahbiskan di dalam kebaktian jemaat.  Dengan perkataan lain, persidangan jemaat merupakan cerminan dari otoritas Kristus bagi sidang jemaat-Nya, di mana tiap-tiap warga jemaat memiliki tanggung jawab yang sama untuk mencermati kehendak Kristus bagi kehidupan gereja dalam persidangan jemaat.

Apakah tiap-tiap hal harus diputuskan melalui persidangan jemaat, seperti kerumahtanggaan, renovasi rumah pastori pendeta?  Tentu tidak.  Persidangan jemaat merupakan titik tolak yang meretas gambar gerak-langkah gereja.  Persidangan jemaat menetapkan visi dan misi gereja, rencana strategis, program-program gereja dan peranti-peranti aturan yang harus ditetapkan sebagai sarana terselenggaranya keputusan persidangan jemaat.[4]  Untuk melaksanakan keputusan, maka dibentuklah organ kepemimpinan jemaat yang dinamakan Majelis Jemaat, untuk melaksanakan keputusan persidangan jemaat, dan mempertanggungjawabkan tugasnya kepada persidangan jemaat.[5]

Mengangkat pokok imamat am orang percaya dalam konteks yang lebih luas, maka jemaat-jemaat lokal menjalin hubungan dan persekutuan dalam sebuah wadah yang disebut sinode.  Karena “sinode” merupakan bentukan dari kata Yunani syn dan hodos, maka arti sinode adalah kesepakatan untuk berjalan bersama, atau komitmen untuk menempuh jalan yang sama.  Berarti, sinode bukan super-church.  Sinode dijiwai oleh semangat kesadaran dan kesukarelaan anggota.  Setiap gereja anggota mengutus wakil untuk mengikuti sidang, untuk mencari, menggali, menemukan dan mengenali dengan jernih kehendak Kristus bagi persekutuan gereja-gereja.[6]  Hasil persidangan, sebagai buah komitmen bersama, mengikat tiap gereja lokal.  Bila ada keputusan yang perlu ditinjau ulang, maka dapat diadakan rembug bersama dalam persidangan bersama.

Dari sisi spiritualitas, maka persidangan jemaat dan keterjalinan dalam jaringan persekutuan yang lebih luas merupakan pengalaman rohani atau sebuah laku waskithakomunal (an act of communal discernment).  Umat Allah belajar untuk memiliki ketajaman dalam menangkap kehendak Allah.  Di dalam persidangan jemaat, umat Allah berkumpul untuk peka terhadap pimpinan Roh Kudus bagi jemaat (lokal maupun sinodal), mengenali amanat Yesus Kristus bagi gereja-Nya, agar Allah Bapa dipermuliakan.  Di samping itu, jemaat yang duduk bersama, bergumul dalam firman, doa dan dialog, merupakan refleksi konkret dari Trinitas Kudus seperti yang dalam lukisan Andrei Rublev “Trinitas Perjanjian Lama.”[7]

Kongregasional dalam Pelayanan Remaja

 Remaja adalah kelompok umur yang paling tepat untuk menanamkan ekklesiologi dan kecakapan berorganisasi.  Komisi Remaja Metanoia (KRM) GKMI Kudus kami mewarisi visi yang digagas oleh Pdt. Rudiyanto, yaitu “Militan, Injili dan Moderat.”  Juga, semboyan yang selalu bergema dan menjadi motivasi adalah “Generasi Pelopor, Bukan Pengekor.”  KRM ingin menjadi pelopor dalam hal ibadah, formasi spiritualitas dan organisasi.

KRM memiliki 4 tata ibadah A, B, C, D yang membentuk sebuah liturgi bulanan yang utuh.  Liturgi A (Doksologi) berfokus pada Integritas Ciptaan, B (Pengakuan) pada Pertobatan, C (Segala Bangsa) pada Keadilan, dan D (Taizé) pada Perdamaian.  Tentang formasi spiritualitas, kami memiliki ibadah-ibadah liturgis, meditatif, kontemporer; juga ditetapkan peringatan tiap bulan mempunyai peringatannya masing-masing (kami juga mengikuti kesepakatan sinodal yaitu Bulan Misi, Keluarga, Perdamaian, tetapi menambahkan sembilan tema di bulan-bulan lain), dan menyusun program berdasarkan peringatan tersebut.

Tentang sistem kerja, Komisi kami yang memiliki anggota aktif sekitar 100 orang ini menata diri dalam angkatan-angkatan berdasarkan tahun masuknya mereka ke KR dari Komisi Anak pada awal bulan Juli.  Mereka akan segera diminta untuk memilih wakil angkatan yang bertindak sebagai pemimpin kelompok.

Pada akhir masa sebuah kepengurusan, maka diadakan Sidang Anggota Pertama KRM yang diadakan pada hari Minggu setelah ibadah remaja, yaitu untuk menetapkan Panitia Formatur yang dipilih dari antara wakil-wakil angkatan serta Tata Pemilihan Pengurus.  Panitia Formatur terdiri dari ketua, wakil, sekretaris dan dua anggota.  Setelah terbentuk, Panitia Formatur mendengar presentasi pertanggungjawaban kerja Pengurus lama, dan jika anggota menyetujui dan menerimanya, maka Panitia Formatur menyatakan demisionarisasi pengurus dan kepemimpinan KRM diambil alih oleh Panitia Formatur hingga terbentuknya program kerja KRM (sementara tugas harian tetap dilaksanakan oleh Seksi-seksi Pengurus demisioner).

Kemudian diadakanlah Rapat Pertama KRM untuk memilih calon-calon ketua, serta meminta masukan program kerja kepada semua anggota untuk dijalankan oleh pengurus yang baru.  Setelah mendapatkan nama-nama bakal calon ketua, dan bakal-bakal calon diminta untuk presentasi mengenai visi dan misi mereka untuk KRM, dan setelah itu mereka dipilih oleh anggota dalam Rapat Kedua KRM.  Setelah itu, calon ketua terpilih bersama Panitia Formatur dan Pembina menyusun Pengurus baru dari anggota-anggota yang sudah mengikuti pembinaan Youth Leadership Camp(YLC) yang diadakan pada liburan semester genap.

Setelah formasi kepengurusan terbentuk, maka hasilnya diumumkan kepada anggota dan bila semua anggota telah dapat menerimanya, akan diadakan pelantikan Pengurus untuk periode dua tahun, dalam Rapat Ketiga KRM seusai ibadah remaja (berbeda dengan Pelantikan Pengurus di hadapan Jemaat).

Pengurus yang dilantik segera mengadakan rapat kerja untuk menyusun program tahunan.  Pembina berfungsi sebagai fasilitator dan pengarah, bukan penentu atau pengambil keputusan.  Hasil diskusi dirangkum oleh sekretaris.  Setelah program kerja tersusun, pengurus mengundang Panitia Formatur dalam rapat bersama untuk mempresentasikan rancangan program.  Jika Panitia Formatur telah memahaminya, maka diambil kesepakatan untuk mengadakan Sidang Anggota Kedua KRM.

Sidang Anggota Kedua KRM diselenggarakan seusai kebaktian Minggu, dengan agenda untuk mengesahkan Program Kerja KRM, memberikan mandat kepada Pengurus untuk melaksanakannya, menetapkan perubahan liturgi (jika ada), dan rencana-rencana strategis lain.  Pada tahun berikutnya, diadakan kembali satu Sidang Anggota untuk menerima pertanggung-jawaban Pengurus dan penetapan Program baru.

Pdm. Nindyo Sasongko (GKMI Kudus)
Dipresentasikan dalam Penggalian Alkitab di Sidang MPL III, GKMI Bahtera Hayat, 27-29 Juli 2012


[1]Stanley J. Grenz, Theology for the Community of God (Grand Rapids: Eerdmans; Vancouver: Regent College, 2000) 542.  Tulisan ini banyak didasarkan pada pemikiran Grenz dalam buku ini.
[2]Baptism, Eucharist, and Ministry, Faith and Order #111 (Geneva: World Council of Churches, 1982), 26.
[3]Luther bukan menciptakan ide ini, ia mengaku menemukan ide ini berdasarkan kesaksian Kitab Suci, khususnya PB, mis. 1 Petrus 2:5; Why. 1:6; 5:10; 20:6); semua dapat menghampiri tahta anugerah melalui Kristus (Ibr. 4:15-16; 10:19-20).  Jemaat memiliki hak istimewa serta tanggung jawab untuk berbagian dalam fungsi keimaman, seperti mempersembahkan kurban rohani bagi Allah (Rm. 12: 1; Ibr. 13:15; 1Ptr. 2:9).
[4]Tata Laksana pasal 15.2.a. tentang Persidangan Jemaat.
[5]Tata Laksana pasal 14.2.a. tentang Majelis Jemaat (MJ).
[6]Bagi GKMI, kepemimpinan tertinggi terletak pada Persidangan Raya, sebagai sarana rembug visi-misi, tata nilai dan program, serta pengambilan keputusan atas masalah-masalah yang dihadapi GKMI (Bdk. Tata Laksana pasal 15.3.a. tentang Persidangan Raya)
[7]Miroslav Volf, dalam disertasi Habilitasi di Universitas Tuebingen mengangkat tema gereja kongregasional sebagai cerminan Trinitas; di sini ia berdialog dengan Joseph Kardinal Ratzinger dari sisi Katolik Roma dan John D. Zizioulas dari Ortodoks Timur, lihat Miroslav Volf, After Our Likeness: The Church in the Image of the Trinity (Grand Rapids: Eerdmans, 1998).

Saturday, August 11, 2012

Obrolan tentang "Ciptaan Baru"

Tadi malam bercakap-cakap dengan seorang pendeta senior dari gereja lain di kantorku.  Beliau menanggapi paper yang kupresentasikan di konvensi pendeta di Lampung berdasarkan rapat para pendeta di suatu regional, khususnya mengenai masalah _kaine ktisis_ ("ciptaan baru").

"Apakah Anda tidak percaya bahwa 2 Korintus 5:17 itu pengalaman rohani Paulus?  Bagaimana dengan 'tidak menilai dengan ukuran manusia?'"

"Saya percaya 2Kor 5:17 itu tata ciptaan baru, Paulus menempatkan pengalamannya dalam bingkai yang lebih luas, karena di situ sebuah aklamasi, 'barangsiapa di dalam Kristus--ciptaan baru!'  Ciptaan baru adalah realitas ketika Yerusalem baru turun dari langit, berpadu dengan bumi yang sekarang ini kita diami, demikian menurut pemahaman saya atas kitab Wahyu 21."

"Tetapi Yerusalem baru itu apa?  Bukankah itu realitas spiritual, sama seperti tubuh Yesus yang bangkit adalah tubuh spiritual, yang bisa menembus tembok dan tidak diikat ruang dan waktu."

"Tetapi tubuh Yesus yang bangkit tetap adalah tubuh badan, yang bisa diraba dan membutuhkan makanan.  Hanya saja tidak lagi dibatasi oleh epistemologi dan ontologi ciptaan lama.  Jadi, tata ciptaan baru yang akan datang pun bersifat materi, tetapi bukan lagi seperti yang kita ketahui sekarang ini."

"Apakah binatang termasuk di dalamnya, ada juga di dalam surga?," tanyanya lagi.

"Saya tidak memegang tata ciptaan baru--langit dan bumi baru--sebagai surga.  Tata ciptaan baru _kaine ktisis_ adalah tata ciptaan yang sekarang ini, tempat hidup kita, yang diperbarui.  Bukan realitas yang berbeda dengan yang kita hidupi, tetapi realitas yang dipulihkan.  Jadi, Allah tidak menciptakan sesuatu yang baru, yang berbeda."

"Jadi, adakah hewan di dalam tata ciptaan itu?"

"Maksud Bapak?  Bagi saya tata dunia baru itu selaras dengan visi dunia di PL.  Singa berdamai dengan domba, dsb."

"Jadi, Anda memahaminya sebagai harfiah?  Saya tidak.  Itu adalah lambang perdamaian di antara manusia, terjadi di dunia, dengan simbolnya singa dan domba berdampingan.  Tapi bukan realitas yang akan terjadi karena itu adalah hewan-hewan."

"Menarik.  Mohon dijelaskan lagi, Pak."

"Iya, hewan itu kan makhluk yang tidak mempunyai roh; ia hanya mempunyai napas.  Ketika ia mati, selesailah hidupnya.  Berbeda dengan manusia, yang adalah makhluk rohani.  Tetapi saya percaya bahwa nanti di dunia baru itu ada ciptaan.  Hewan tidak dapat memuji Tuhan.  Manusia yang bisa memuji Tuhan."

"O begitu.  Lalu bagaimana dengan kalimat di Mazmur 150, 'Biarlah semua yang bernapas memuji Tuhan'?"

"Nah, itu harus dilihat dalam konteks yang lebih luas.  Bandingannya Markus 16:15, istilah 'makhluk' di sana harus dilihat dalam konteks ayat 16, 'Barangsiapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan.  Jadi, yang bernapas dan yang bisa memuji Tuhan di Mazmur itu ya manusia--tapi ini pemahaman saya pribadi."

"Saya melihat inkonsisten bila Mazmur 150 dipersempit hanya kepada manusia.  Selaras dengan visi besar Mazmur, berkali-kali Mazmur menyanyikan tentang keagungan Allah dalam alam, dalam semua makhluk yang ia ciptakan.  Mazmur 19 dan 104 sebagai contoh.  Bagaimana dapat disimpulkan bahwa kelak yang ada di tata dunia baru itu hanya manusia dan tumbuhan, tetapi tidak ada hewan yang di dalamnya.  Saya percaya justru Mazmur di 150 ini merupakan klimaks dari keutuhan ciptaan."

Akhir kata, dialog kami berhenti dengan kesimpulan yang saya tarik: Kami berbeda pemahaman mengenai "tata ciptaan baru."  Sementara beliau memahami sebagai surga, realitas yang berbeda dengan tempat tinggal kita sekarang ini.  Sebaliknya, saya meyakininya sebagai realitas yang akan terjadi, manakala surga dan bumi akan berpadu, dan itu terjadi di bumi yang sekarang ini kita diami.  Di sinilah pemulihan itu akan terjadi.

CINTA YANG MURNI BAGI YANG TERTINDAS (Keluaran 22:21-27)



Dewasa ini kita mengenal istilah Corporate Social Responsibility (CSR), yaitu bakti sosial yang wajib dilakukan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat.  Bahwa perusahaan tidak boleh sekadar mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tetapi bersedia pula untuk melakukan upaya-upaya perbaikan kehidupan masyarakat.  Itulah sebabnya, banyak perusahaan besar kini tidak saja mengiklankan produk-produk mereka di media massa, tetapi juga sumbangsih kepada masyarakat, seperti: pemberian beasiswa, dukungan kepada insitusi pendidikan, penghijauan, pemberdayaan masyarakat.  Singkatnya, karena perusahaan telah mendapatkan hasil melimpah dari masyarakat, mereka juga wajib mengabdi kepada masyarakat.

Konsep CSR sebenarnya telah dikenal pada zaman PL.  Israel sebagai bangsa juga dipanggil untuk memberi diri dan menolong kaum yang lemah.  Mereka harus celik mata bahwa mereka hidup dalam konteks ketimpangan.  Kemiskinan ada di sekitar mereka.  Kaum yang tersisih dan terbuang ada di tengah-tengah mereka.  “Orang asing” adalah para pendatang dari daerah lain, yang tidak memiliki harta milik di antara komunitas; hidup mereka terkatung-katung; masa depan mereka tidak jelas dan hanya menggantungkan belas kasihan dari orang-orang sekitar.  Janda dan yatim piatu adalah kaum yang ringkih sebab mereka tidak memiliki pelindung, di zaman itu laki-laki dewasa, di dalam konteks keluarga inti.  “Orang yang miskin di antaramu” biasanya seorang petani gurem yang tidak dapat memberi nafkah kepada keluarganya sampai masa panen berikutnya, sehingga mereka butuh pinjaman.

Mengapa Allah menghendaki Israel untuk peduli dengan mereka?   Pertama, Bukan karena Israel telah menerima keuntungan dari bangsa-bangsa lain, tetapi karena sebuah memoir, pengingat, bahwa mereka dahulu bukan siapa-siapa, “Kamu pun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir” (ay. 21).  Mereka diingatkan akan identitas mereka dahulu sebagai budak, yang dientaskan oleh Yahweh dari tempat perbudakan (bdk. 20:1).  Israel harus mengingat betapa sengsaranya hidup mereka di masa lampau, dan betapa mereka sebenarnya bukan apa-apa!  Mereka tidak terpandang!  Mereka tidak berharga!  Apa yang dapat mereka banggakan?

Memoir akan siapa bangsa Israel di masa lampau menolong Israel untuk tidak pongah dan gegabah dalam bertindak.  Mereka telah merasakan sulitnya hidup di masa lampau, sebab itu mereka seharusnya tidak memperlakukan orang lain seperti masa lalu itu.  Makrifat tradisional bergema bagi era modern ini, “Eling,” atau “Ingat.”  Ingatlah, seperti Israel mengingat bahwa mereka dahulu budak.  Ingatlah bahwa dahulu setiap manusia adalah cemar dan kotor.  Ingatlah bahwa tidak ada yang baik di dalam kita yang sanggup membuat Allah berbelaskasihan kepada kita.  Ingatlah kemiskinan kita dahulu (secara rohani dan materi).  Ingatlah betapa sengsaranya kita.  Ingatlah bahwa hidup itu adalah anugerah.

Kedua, respons Allah terhadap kondisi ini.  Allah bersabda, “Aku akan mendengarkan seruan mereka,” “Murka-Ku akan bangkit . . . Aku akan membunuh kamu” jika Israel sewenang-wenang terhadap kaum ringkih.  Allah menyapa kaum lemah sebagai “umat-Ku.”  Bahkan Ia mendeklarasikan Diri sebagai “Aku ini pengasih.”  Allah serius.  Ia menentang kaum kuat yang lalim.  Ia adalah pelindung kaum tertindas.  Ia menetapkan diri-Nya untuk berpihak kepada kaum yang dipinggirkan.  Sebab itu, Allah pun berpihak kepada Israel ketika mereka menjadi kaum budak di tanah asing.  Jika Israel bebas, dan kini menjadi bangsa yang besar, bukan karena kehebatan dan ada yang baik di dalam mereka, tetapi oleh karena kasih dan sayang Yahweh.

Zaman kita hidup mirip di zaman Israel.  Kita pun hidup dalam konteks ketimpangan dan ketidakadilan.   Yesus berkata, “Orang-orang miskin selalu ada padamu.”  Adalah panggilan bagi GKMI sebagai gereja yang berhaluan Anabaptis-Mennonit, untuk semakin giat mewujudkan cinta yang murni bagi mereka yang tertindas.  Adalah panggilan bagi Saudara dan saya selaku pribadi untuk menggemakan sifat ilahi yang welas asih, penuh sayang dan panjang sabar.  Adalah tugas kita bersama untuk mewujudkan sebuah gaya hidup yang berbeda.  Sama seperti Bapa mengutus Yesus bagi Israel, Yesus Kristus pun mengutus kita untuk melayani sesama.

Adakah nama seseorang yang terlintas di benak Anda saat ini, dan ia butuh dibantu?  Doakan, mintalah Tuhan menolong Anda, dan kerjakan segera.  Tuhan menyertai Anda.  Amin.