Friday, August 31, 2012

Book Review: SIN: THE EARLY HISTORY OF AN IDEA

SIN: THE EARLY HISTORY OF AN IDEA
by Paula Fredriksen
(Princeton University Press, 2012)

Dosa, menurut penulis sebuah buku yang baru, tak mungkin dipahami seperti yang sebelum-sebelumnya. Para pembaca yang memakai bingkai dogmatika, kredo Gereja Am atau denominasional, bisa jadi terprovokasi untuk menilik ulang pahamnya. Sin, demikian kata sang penulis, suits its time. Konteks menentukan konten. Kultur dan filosofi menentukan teologi.

Sebagai seorang sejarawati kawakan terhadap studi Kekristenan kuno selama lebih dari 30 tahun di sebuah universitas beken di Amerika Serikat (Universitas Boston), Paula Fredriksen telah bergulat dengan perkembangan dan kompleksitas dimensi mengenai dosa. Buku ini sendiri dipicu oleh sebuah undangan dari Universitas Princeton, alma mater Fredriksen, untuk menyajikan sebuah paparan perkembangan mengenai dosa kepada khalayak yang lebih luas—kepada kalangan non-akademis. Ia sendiri mengaku bahwa undangan ini membuatnya panik. Sebuah proyek yang muskil dikerjakan!


Dalam penggaliannya, Fredriksen menemukan bahwa di dalam Alkitab ide-ide mengenai Allah berubah-ubah dengan intens, demikian juga tentang dosa. Pertanyaanya, apakah Alkitab tidak menyajikan sumber penggalian yang koheren tentang Allah? Jawaban Fredriksen mengejutkan: Ya, dan Tidak.


Yesus dan Paulus tidak membaca Alkitab yang “sama”: Yesus dalam tradisi Ibrani dan Aramik, Paulus dalam Gerika (Yunani). Hal senada pernah disampaikan oleh Amy Jill-Levine dari Universitas Vanderbilt—Alkitab Yunani dan Ibrani tidak mengatakan hal yang sama. Fredriksen memberikan contoh, bahwa allah bangsa-bangsa, yang dikutip oleh Paulus dari Mazmur 95 adalah daimones, yang dalam paham pemeluk agama kafir, allah yang demikian adalah allah yang lebih rendah—kendati begitu tetap Allah. Allah Israel menjadi lebih banyak lawan-lawannya ketika Alkitab dibaca dalam bahasa Yunani.


Para teolog yang terkemudian memikirkan dosa dalam ranah filosofi. Bagi mereka, Allah yang tertinggi tidaklah berubah, transenden-radikal, mutlak dan melampaui apa pun dengan manusia, dan bergerak melalui waktu dan ruang. Allah dalam Kejadian, berlawanan dengan itu, adalah Allah yang terus-menerus mengerjakan banyak hal: membingkai semesta; menciptakan kehidupan di dalamnya; menampakkan diri kepada Abraham, berbicara kepada Musa dan para nabi.


Siapa Allah itu, kalau demikian? Allah orang Yahudi adalah Allah yang esa; namun Allah yang rendah, yang mengikatkan diri dengan sejarah tampaknya bukan Bapa dari Kristus. Bapa-Nya haruslah satu Allah yang melampaui allah Alkitab. Tidak! Jawab seorang Kristen yang melawan pandangan itu. Allah yang agung dalam filsafat sesungguhnya adalah Bapa dari Kristus. Maka, Allah yang menunjukkan diri di dalam Kitab Suci Yahudi haruslah Allah, sebelum inkarnasi. Dalam ranah ini, para pahlawan PL “menjadi” para penyembah Sang Anak pada masa pra-inkarnasinya: Abraham, Ishak, Yakub, Daud sudah dapat dikatakan Kristen—demikian teolog yang ini mengklaim.


Namun yang sangat kontras sesungguhnya muncul dalam karya dua teolog terkemudian: Origenes dari Aleksandria dan Agustinus dari Hipo. Keduanya membaca Alkitab yang sama (PL dan PB); keduanya sama-sama patuh kepada ortodoksi. Namun bagi Origenes, semua manusia—semua makhluk Allah—akan diselamatkan; menurut Agustinus, kebanyakan orang akan dibinasakan. Menurut Origenes, sebab Allah itu adil, Ia memberi manusia kehendak bebas sehingga manusia dapat memilih mau berdosa atau tidak. Menurut Agustinus, sebab Allah itu adil, Ia menghukum semua makhluk-Nya, bahkan Iblis. Akhirnya, di akhir zaman, bahkan Iblis pun akan bertobat, dan yang terakhir diselamatkan. Agustinus percaya bahwa Allah menjatuhkan murka-Nya ke atas manusia oleh sebab dosa Adam. Ia dengan murah hati menebus sebagian orang (kendati mereka tidak layak menerima penebusan) untuk menunjukkan kekayaan rahmat-Nya. Namun Ia menghukum kebanyakan manusia—termasuk bayi-bayi, jika tidak dibaptiskan. Semua ini hendak menunjukkan keadilan-Nya.


Agustinus mati seorang diri, kata Fredriksen, sambil membaca mazmur-mazmur ratapan, meratapi dosa-dosanya, dan berjalan ke arah Allah yang murka yang ia ciptakan sendiri. Sementara itu, pemikiran-pemikiran tentang dosa—juga mengenai umat manusia, dunia dan Allah—tidak bertahan sama selama enam belas abad antara zamannya dan zaman kita. Begitu beragam rekonstruksi dosa tak kurang banyak seperti pada era-era awal.


Implikasi: Kendati “tidak ada yang baru di bawah matahari,” namun telaah Fredriksen bisa jadi mendesak bahkan memaksa para teolog dan pendeta untuk memikirkan ulang apakah ada ajaran mengenai dosa yang diyakini oleh Gereja Am. Telaah kesejarahan seperti ini mendorong para pemikir Kristen yang serius untuk tidak berhenti pada makna leksikal sebuah kata (misalnya: hamartia), tetapi juga kajian semantik. Jika benar konten ajaran “dosa” ini terikat konteks suatu zaman, bagaimana kita memandang karya Yesus Kristus selanjutnya.

No comments:

Post a Comment