Monday, October 15, 2012

TRAUMA YANG MEMBEKAS



TRAUMA YANG MEMBEKAS

TEKS:
Kejadian 50:15-26


Pengantar

Pengampunan adalah langkah penting demi terwujudnya keadilan.  Keadilan tidak didapatkan dengan memberikan ganjaran setimpal kepada pelaku kejahatan.  Namun, beberapa hal perlu kita catat:

1.       Pengampunan bukanlah melupakan.  Korban kejahatan merasakan bekas penganiayaan secara permanen.  Penyembuhan datang dari mengingat kejahatan yang menimpa.
2.       Pengampunan tidak berarti menerima kejahatan.  Membiarkan pelecehan tetap terjadi demi terjadinya kasih bukanlah pengampunan!
3.       Pengampunan tidak terjadi secara otomatis.  Kecenderungan manusia adalah membalas kejahatan dengan kejahatan.  Pengampunan merupakan komitmen yang harus dilakukan, bukan ditunggu seraya berjalannya waktu.
4.       Pengampunan tidak terjadi cepat.  Pengampunan bukan sekali tindakan, selesai.  Banyak orang menyadari bahwa pengampunan adalah proses.
5.       Pengampunan tidak berarti rekonsiliasi.  Pengampunan berarti korban membiarkan pergi rasa kepedihan dan dendam.  Tidak berarti terjalinnya hubungan yang telah retak.

Adalah baik sekali jika pengampunan dapat mewujud dalam rekonsiliasi.  Tidak selalu, tetapi tidak mustahil.  Kisah Yusuf adalah salah satu contoh konkret.  Yusuf telah memboyong keluarga besar Yakub ke Mesir.  Namun, kita akan melihat bahwa setelah rekonsiliasi terjadi, ternyata ada trauma yang masih belum tuntas, trauma yang dipendam oleh pelaku kejahatan, kakak-kakak Yusuf!  Mereka takut kalau-kalau Yusuf akan membalas mereka.

Pelajaran ini mengajak remaja untuk memahami bahwa rekonsiliasi tetap menyisakan trauma kepada pihak pelaku kejahatan.  Mereka merasa inferior.  Mereka tetap was-was jika pihak korban membalaskan dendam mereka.

Pendalaman Teks

Yakub telah tiada.  Israel telah wafat.  Kecemasan mulai menggelayuti kakak-kakak Yusuf.  Jika dahulu, Yakub merupakan lambang pemersatu keluarga.  Kini, tanpa kehadiran Yakub, apakah yang akan terjadi antara kakak-beradik itu?  Bukan masalah harta warisan yang mereka khawatirkan.  Tetapi bilakah Yusuf akan membalas kejahatan yang dahulu pernah saudara-saudaranya lakukan terhadap dia.

Trauma ternyata masih terjadi pascarekonsiliasi.  Pertama, saudara-saudaranya merasa inferior terhadap Yusuf.   Mereka sekarang berada di Mesir, dan saudaranya itu adalah seorang yang berpengaruh di negeri nan makmur itu.  Dia memiliki kuasa, dan dapat meminta bantuan militer.  Bukankan Yusuf bisa kapan pun membalaskan kejahatan itu dan membinasakan mereka di tanah asing?

Kedua, mereka meminta perantara untuk menyampaikan pesan kepada Yusuf.  Berbeda dengan Yusuf, yang berani secara langsung berbicara muka dengan muka, kakak-kakak Yusuf merasa nyaman meminta seseorang untuk menyampaikan pesan.  Hal ini biasa terjadi di dunia Timur Tengah.  Karena budaya yang mengutamakan penghargaan-kehinaan (honor-shame), maka kehadiran mediator untuk menyelesaikan konflik niscaya diperlukan.

Ketiga, isi berita itu tidak asertif, tetapi kecurigaan: Jangan-jangan, Yusuf belum mengampuni mereka.  Penyampai kabar itu berkata, “Ampunilah kiranya saudara-saudaramu dan dosa mereka.”  Padahal mereka sudah berada di Mesir, tinggal bertahun-tahun bersama dengan Yusuf.  Bukankah mereka was-was?  Mengapa mereka tidak sampaikan, “Kami punya perasaan khawatir, bila Yusuf masih memiliki dendam kepada kami.”

Keempat, saudara-saudaranya bersujud di depannya, “Kami datang untuk menjadi budakmu” (ay. 18).  Akibat ketidakterbukaan hati, mereka proaktif menyatakan diri untuk menjadi budak Yusuf.  Tindakan ini diupayakan karena kecemasan, kecurigaan bila Yusuf masih menyimpan dendam, serta mengingat posisi Yusuf sebagai orang penting di Mesir.  Dari tindakan ini, kakak-kakak Yusuf berharap bahwa adiknya itu mau mengampuninya.

Reaksi Yusuf menunjukkan betapa kaget dia.  Ia menangis, dan meyakinkan mereka dan memberikan jaminan kepada mereka dengan dua kali “Jangan takut,” menghibur mereka dan menenangkan hati mereka.  Dengan tindakan ini, Yusuf tidak pernah menganggap bahwa dirinya lebih tinggi daripada kakak-kakaknya.  Ia tetap Yusuf, saudara mereka.

Kita pun melihat sekali lagi kualitas rohani Yusuf.  Ia lagi-lagi menempatkan peristiwa masa lampau itu dalam bingkai karya Allah.  Allah “mereka-rekakan,” artinya Allah mengatur sedemikian rupa sehingga melampaui kejahatan manusia, kehendak Allah terwujud.  Pada waktu kakak-kakaknya melakukan kejahatan, tindakan mereka benar-benar jahat.  Mereka berdosa.  Mereka tidak tahu menahu apakah Allah menghendaki mereka melakukannya (dan sama sekali tidak!).  Yusuf sebagai korban juga tidak tahu.

Tetapi toh di kemudian hari, setelah semuanya berlalu, tangan Tuhan ternyata bekerja atas semua kejahatan itu.  Kehendak-Nya yang jadi.  Ia memakai kejahatan mereka untuk mewujudkan karya agung-Nya.  Dan segala sesuatu indah pada akhirnya.

Selanjutnya, Yusuf menyatakan bahwa tindakan itu melaksanakan sebuah tujuan: “memelihara hidup suatu bangsa yang besar.”  Kita melihat inti pengajaran mengenai “perjanjian Allah” tersirat di sini, yaitu perjanjian yang Allah ikatkan dengan Abraham, “Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar” (Kej. 12:2); “[E]ngkau akan Kubuat menjadi bangsa-bangsa, dan daripadamu akan berasal raja-raja” (Kej. 15:7).  Jika Allah tidak “mengutus” Yusuf ke Mesir, maka keluarganya tidak akan tinggal di Mesir, sementara itu mereka akan dilanda kekeringan dan kelaparan yang mahahebat, sehingga bisa jadi sejumlah besar keturunan Abraham dari Ishak akan lenyap, atau tercerai-berai.

Terkadang, kita tidak tahu maksud Allah ketika kejahatan menimpa, tetapi di ujung perjalanan, barulah dapat dikenal maksud hati Allah.  Yusuf memilih untuk melihat dari cara pandang Allah.  Oleh sebab itulah, ia tidak pernah menyimpan dendam kepada kakak-kakaknya yang jahat kepadanya.

Penerapan

Remaja belajar untuk bertanya, “Siapa yang sakit ketika konflik terjadi?”  Ternyata, dampak dari konflik yang terjadi ternyata bukan hanya berimbas kepada korban, tetapi juga si pelaku.  Kendati rekonsiliasi telah tercapai, remaja perlu tetap mengingat kemungkinan bahwa para pelaku kejahatan tetap menyimpan trauma masa lampau.

Saya pernah berjumpa dengan seseorang yang pada tahun 1965 turut melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh sebagai antek-antek Partai Komunis Indonesia.  Ia menyembelih sesamanya.  Ia membunuh dengan cara-cara sadis para korbannya.  Ternyata, perbuatannya ini membuatnya tidak tenang.  Selama 20 tahun lebih, ia tidak dapat tidur dengan nyenyak.  Jeritan dan darah orang yang dibantai itu selalu menghantuinya.  Ia telah berusaha memohon ampun kepada Tuhan, tetapi tidak juga kedamaian hati didapatinya.

Dua puluh tahun kemudian, ia mencoba langkah baru.  Ia berani bercerita kepada orang lain.  Ketika menceritakan itu, ia tidak berbangga diri.  Ia selalu mengakhiri kisahnya dengan: “Saya menyesal.  Saya ingin meminta maaf kepada orang-orang yang telah menjadi korban itu.”  Langkah ini lebih membuatnya tenang.  Ia sekali-sekali tidak lagi mau menjadi penjagal manusia, seperti dahulu itu.  Ia mendekatkan diri kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.

(Pembina dapat menceritakan kejadian-kejadian serupa kepada para remaja, mengenai dampak kejahatan dari sisi sang pelaku).

Dalam pelajaran yang lalu, remaja telah belajar untuk menghayati sisi korban.  Kini, mereka belajar menempatkan diri dalam sisi pelaku kejahatan.

No comments:

Post a Comment