Friday, October 26, 2007

NILAI-NILAI KELUARGA MENNONIT DALAM KISARAN BADAI ZAMAN (PENGANTAR)


PENGANTAR BUNGA RAMPAI

Bunga rampai ini ditulis oleh para rohaniwan Mennonit, dari GKMI. Kebanyakan dari mereka adalah gembala jemaat. Ada yang telah purna tugas, ada yang masih aktif. Sebagian merupakan pengajar dan pimpinan lembaga mitra-gereja. Semuanya pernah menempuh jenjang studi di atas strata satu. Namun, semuanya adalah para praktisi gereja dan terlibat dalam pelayanan berjemaat.

Dapat segera diselisik (bukan “telisik”!), buku ini merupakan kumpulan tulisan praktika mengenai kehidupan real berjemaat. Lebih khusus lagi, mereka sedang mengetengahkan nilai-nilai keluarga Mennonit di tengah-tengah perubahan zaman. Pertanyaan yang segera muncul dari pernyataan ini adalah, apa perbedaan keluarga Mennonit dari segmen-segmen masyarakat lainnya, dalam masalah hubungan keluarga? Adakah sesuatu yang istimewa, yang membedakan keluarga Mennonit dengan keluarga dari tradisi atau denominasi lain? Apa bedanya keluarga Mennonit dengan Lutheran? Atau Katolik? Atau Reformed? Atau Metodis?

Pertanyaan ini tidak dapat dijawab dengan mudah. Seratus tahun lalu, masih mungkin bila pertanyaan tadi dilontarkan kepada orang-orang Mennonit di Amerika Utara. Jumlah populasi masyarakat belum berlipat ganda seperti saat ini. Permasalahan kehidupan belum kompleks. Kehidupan jemaat masih berkisar pada kehidupan rural (pedesaan) yang berorientasi pada pertanian dan peternakan. Pendidikan cukup diberikan dalam keluarga, dan tidak perlu pendidikan tinggi, karena toh berujung pada pekerjaan bertani dan beternak. Kota belum menjadi daya tarik yang menggiurkan.

Semua kondisi di atas sudah beruah. Ada empat perubahan yang diamati oleh para sosiolog: urbanisasi, turunnya pamor sistem keluarga patriakhal, terjadinya revolusi seksual di kalangan anak muda dan bertumbuhnya gerakan persamaan hak perempuan. Kecuali pola kehidupan keluarga dalam komunitas Hutterit, Amish Kuno, Mennonit Kuno, dan Mennonit Koloni Kuno yang masih mempertahankan kehidupan keluarga yang ketat, kebanyakan keluarga Mennonit sudah melebur sama dengan keluarga-keluarga yang lain.

Para ahli mengamati, pola hidup akulturasi (pertemuan dua budaya yang saling mempengaruhi), dan asimilasi (penyesuaian [peleburan] sifat asli dengan lingkungan di sekitarnya) tidak selalu buruk. Dengan perbaikan sistem pengobatan, laju kematian ibu dan bayi dapat ditekan. Kemakmuran dapat dicapai dengan meningkatnya pendapatkan keluarga dan tingkat kehidupan. Keluarga menjadi lebih demokratis dengan cara keputusan-keputusan dapat dirembug oleh semua keluarga, dan kian terbukanya komunikasi antara suami dan istri, sehingga suami bukan lagi mengambil peran sebagai penentu semua kebijakan dalam keluarga.

Jadi, kembali ke pertanyaan, di mana perbedaan yang mendasar, sehingga bunga rampai ini merupakan penjabaran nilai-nilai keluarga Mennonit? Pertama, pengajaran mengenai keluarga, Mennonit dekat dengan pemahaman yang natural dari Kitab Suci. Pola berteologi Mennonit lebih biblisis, dengan pembacaan dan penerapan langsung ke kehidupan sehari-hari. Apa yang dibaca, direnungkan dari kehidupan, itulah yang menjadi penerapan. Pembacaan seperti ini menampilkan dinamika Kitab Suci sebagai otoritas bagi kehidupan kini dan di sini.

Kedua, bagi kaum Mennonit, teologi merupakan phronesis, bukan theoria. Maaf, istilah teknis! Phronesis adalah hikmat, kebijaksanaan, keutamaan bagi hidup sehari-hari. Teologi dipandang bukan sebagai theoria, suatu bangunan logika ortodoksi ketat dan tidak berkontradiksi. Jadi, bila kaum Mennonit berbicara mengenai teologi, mereka berbicara mengenai nilai-nilai kehidupan. Teologi adalah virtue, keutamaan. Teologi mengenai keluarga berarti bagaimana keluarga Mennonit menampilkan keutamaan-keutamaannya di tengah-tengah perubahan zaman yang kian cepat.

Apakah para penulis yang mengguratkan buah pemikiran mereka sedang melakukan akulturasi? Atau asimilasi? Pembaca sendiri yang dapat menilainya. Paling tidak ada tema yang selalu muncul, yang menjadi pengikatnya: cinta-kasih.

Esai pertama ditulis oleh Pdt. Daniel K. Listijabudi, mengetengahkan tempat Alkitab dalam pembangunan karakter keluarga Kristen. Pembangunan karakter (character building) adalah wacana yang mencuat dalam dekade terakhir ini. Mendulang dari surat rasul Paulus yang kedua kepada anak didiknya, Timotius, penulis mengelaborasi peran vital Kitab Suci dalam pembangunan karakter keluarga, khususnya generasi muda.

Menyusul kemudian esai dari Pdt. Em. Charles Christano, yang mendulang mutiara rohani dari Surat 1 Korintus, khususnya pasal 13. Dalam tajuk “Melestarikan Cinta Kasih Keluarga,” penulis berusaha mengungkapkan relevansi deretan jabaran mengenai cinta kasih untuk kehidupan masa kini, khususnya dalam keluarga Kristen.

Belajar dari keutamaan komunitas L’Arche bentukan Jean Vanier, mantan guru besar filosofi, yang di dalamnya menjadi rumah yang mengayomi anak-anak terbelakang mental, Pdt. Mikha Joedhiswara membangun sebuah wacana “teologi bela rasa” yang perlu dikembangkan dalam keluarga. Di tengah-tengah surutnya bela rasa, dan krisis kasih sayang, rumah seharusnya menjadi tempat curahan cinta kasih.

Esai dari Pdt. Aristarchus Sukarto mengajak keluarga berlaku bijak dan bajik dalam mengelola keuangan. Keluarga Kristen tak perlu lagi bersikap “mendua” dengan uang, di satu sisi menganggap uang sebagai jahat, tetapi di sisi lain tetap membutuhkan uang. Keluarga perlu cermat dengan pengelolaan uang, bukan hanya untuk masa kini, tetapi juga perencanaan jangka panjang. Seperti bendahara yang cerdik, yang mampu mengembangkan sumber dana yang dimilikinya, yang mendapat pujian dari Tuhan Yesus, demikianlah seharusnya orang-orang Kristen pada masa kini. Penulis mengajak pembaca untuk melihat sisi positif dari uang, dan bagaimana keluarga Kristen menggunakannya dengan bertanggung jawab,demi kebahagiaan keluarga.

Problem real yang pasti dihadapi oleh keluarga adalah konflik. Dinamika pernikahan tidak lepas dari konflik. Dalam terang keutamaan cinta-kasih, pengurbanan, pengampunan dan pengharapan seperti yang nampak dalam kebangkitan Tuhan Yesus, Pdt. Mesach Krisetya menulis esai bertajuk “Mengelola Konflik Keluarga dalam Perspektif Kebangkitan Tuhan.”
Dua esai yang menyusul, berorientasi pada keluarga sebagai kesaksian bagi masyarakat. Keduanya ditulis oleh praktisi penginjilan. Esai dari Ev. Andreas Christanday, menunjukkan bahwa keluarga merupakan ujung tombak kesaksian gereja. Gereja dengan kata lain, berutang kepada keluarga.

Terakhir, esai berjudul “Tata Nilai Keluarga Sebagai Ekspresi Kabar Baik,” tulisan Pdt. Yesaya Abdi, mengungkapkan pentingnya unconditional love, kasih yang tak bersyarat, dalam kehidupan keluarga. Karena itu, perlunya bertumbuh nilai-nilai kesetaraan, penerimaan, perdamaian dan kemurahan hati dalam keluarga Kristen.

Kerinduan terutama dari para penulis bunga rampai ini bukan berkibarnya bendera denominasi yang dulu disebut sebagai anak tiri Reformasi. Sekali lagi, bunga rampai ini bukan theoria, tetapi phronesis, hikmat untuk hidup sehari-hari. Kiranya pembaca yang budiman pun tidak menimbang-nimbang isi buku ini dari sisi koherensi teologis-dogmatis, tetapi dengan satu pertanyaan, “Apakah yang dikatakan oleh para penulis merupakan bagian dari kenyataan kehidupan keluarga saya?” Doa kami, dari mana pun Anda berasal, semoga dapat mendulang butir-butir mutiara kerohanian dari kumpulan tulisan ini. Selamat bermenung!

Tulisan ini merupakan pengantar untuk bunga rampai Nilai-nilai Keluarga Mennonit dalam Kisaran Badai Zaman, ed. N. Sasongko (Semarang: Pustaka Muria, akan datang)

2 comments:

  1. Mas, selamat ya... Nulis (di) buku juga akhirnya.

    eben

    ReplyDelete
  2. Hahaha, jadi tukang ngedit n' sekalian disuruh nulis pendahuluan n' penutup, Bang.

    ReplyDelete