Wednesday, October 24, 2007

Mari Mengenal Allah 9: Periode Perjanjian Lama


A. Periode Perjanjian Lama

Dari masa ke masa, dalam Perjanjian Lama, para nabi juga menuliskan kata-kata, dan tulisan mereka dimasukkan ke dalam suatu dokumen. Yosua, sebagai contoh, menuliskan ketetapan bagi Israel utnuk menjaga dalam menuliskannya di dalam Kitab Hukum Allah (Yos. 24.25-26). Para nabi pertama-tama menulis, kemudian para pembaca dapat menguji apakah prediksi mereka benar, dan dengan demikian mereka dipastikan nabi yang benar atau palsu (Ul. 18.22). Mereka juga menuliskan kata-kata untuk dipelihara oleh keturunan di masa yang akan datang, dan nampaknya cara pewarisan komunikasi secara tertulis ini kemudian lebih disukai.

Pada periode Perjanjian Lama, umat Allah memuji Firman Allah. Mazmur 19.7 mengatakan, “Aku akan bersyukur kepada-Mu dengan hati jujur, apabila aku belajar hukum-hukum-Mu yang adil.” Apa yang dimaksud dengan hukum? Sesungguhnya adalah Hukum Taurat Musa yang tertulis. Perhatikan pasal terpanjang di seluruh Alkitab, yaitu Mazmur 119, Anda akan menjumpai di hampir tiap ayat hukum, ketetapan, kesaksian perkataan serta keputusan Allah dipuji. Di sini jelas sekali yang menjadi penekanan pemazmur adalah hukum Allah yang tertulis, bukan kata-kata lisan atau suara Allah secara langsung.

B. Periode Kehidupan Kristus

Orang Yahudi mengakui bahwa apa yang kita sebut sebagai Perjanjian Lama (bagi mereka “Alkitab Ibrani”) adalah Firman Allah, yaitu perjanjian kudus antara Allah dan umat-Nya. Tuhan Yesus dan para rasul-Nya pun mengakui otoritasnya. Mereka mengutip PL dengan segala perhatian dan hormat, dan secara tak langsung mengakui supremasi otoritasnya: “firman Allah” (Rm. 3.2; oracles of God), “Kitab Suci” (2Tim. 3.15), “hukum utama” (Yak. 2.8). Sewaktu melawan Iblis, Tuhan Yesus selalu mengatakan, “Ada tertulis” (Mat. 4.4, 7, 10; bdk. Luk. 4.4, 8, 10). Teolog B. B. Warfield pernah mengatakan bahwa frase sederhana, “Alkitab berkata” atau “Ada tertulis” merupakan kutipan yang dipakai dengan pengakuan akan otoritas Kitab Suci. Sehingga, “Alkitab berkata” berarti sama dengan “Allah berkata.” Kitab Suci adalah kata-kata dari Roh Kudus yang diberikan melalui para penulis manusia (Kis. 1.16).

Lebih jauh lagi, Yesus dan Perjanjian Baru mengajarkan otoritas Alkitab Ibrani. Yesus mengatakan di dalam Matius 5.17-19 bahwa Ia datang untuk menggenapi, bukan membatalkan, hukum Taurat dan kitab para nabi. Siapa pun yang mengajar orang lain untuk tidak menaati satu dari yang terkecil dari segala perintah tersebut, akan menjadi yang paling rendah dalam Kerajaan Surga. Ia mengatakan kepada orang-orang Yahudi bahwa Alkitab bersaksi tentang Dia (Yoh. 5.45), dan Alkitab tidak dapat dibatalkan (Yoh. 10.33-36).

C. Periode Perjanjian Baru

Rasul Paulus mengatakan bahwa Alkitab diberikan untuk “menjadi pelajaran bagi kita, supaya kita teguh berpegang pada pengharapan oleh ketekunan dan penghiburan dari Kitab Suci” (Rm. 15.4). Coba renungkan kata-kata tersebut. Kitab-kitab yang ditulis ratusan tahun sebelum periode rasul Paulus ditujukan untuk meneguhkan orang-orang percaya pada zaman Rasul Paulus. Kitab-kitab tersebut dimaksudkan oleh Sang Pengarang—Allah sendiri—untuk menjadi valid dan membantu pada segala waktu. Karena itu, Alkitab unik! Tidak ada kitab lain yang dimaksudkan oleh sang penulis untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang jaraknya ratusan tahun di masa depan.

Dua perikop di Perjanjian Baru sangat penting untuk menerangkan natur otoritas Alkitab. Pertama, 2 Timotius 3.15-17,

"Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus. Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik."

Dalam keseluruhan kitab ini, rasul Paulus mencurahkan perhatian mengenai ajaran yang keliru yang akan menyusup ke dalam gereja setelah kematiannya. Bagaimana gereja dapat membedakan yang benar dari yang salah? Paulus memberi tahu Timotius pertama-tama untuk mengikuti kehidupan dan ajaran Paulus sendiri (ay. 10-14). Akan datang masanya muncul satu generasi yang tidak mengenal Paulus secara pribadi. Kepada mereka dan kepada Timotius juga, Paulus menasihati agar mereka kembali kepada Kitab Suci Ibrani yang sudah dikenal dan dipelajari oleh Timotius. Sebab Kitab Suci “diembuskan oleh Allah” atau dapat diterjemahkan “diinspirasikan” atau “diilhamkan.” Artinya bukanlah Allah mengembuskan sesuatu ke dalam Alkitab, tetapi bahwa Allah mengembuskan keluar.

Sederhananya, sama seperti pada saat kita berbicara, ada udara dari paru-paru yang kita dorong keluar melalui rongga mulut. Demikianlah Allah mengembuskan kata-kata. Allah mengatakannya. Allah mengucapkannya! Jadi, Alkitab yang tertulis adalah ucapan dari Allah secara pribadi. Jelas bukan lebih rendah posisi tulisan dibandingkan suara ilahi. Inilah yang menjadi kriteria utama untuk membedakan ajaran yang palsu dari ajaran yang benar.

Kedua, yaitu 2 Petrus 1.19-21,

"Dengan demikian, kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu. Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah."

Konteks perikop ini tak jauh berbeda dengan yang di atas. Sang rasul yang sudah sepuh, memandang jauh ke depan tatkala ia tak lagi mampu menjadi penasihat bagi gereja. Maka, ia pun mengantisipasi akan datangnya masa sukar yang ditandai oleh kekacauan pengajaran dan rusaknya kehidupan moral. Maka, di ayat 16-18, ia mengingatkan para pembacanya untuk mengingat pengalaman pribadi dan kesaksian secara langsung. Tetapi, ia pun segera menunjuk kepada sesuatu yang lebih pasti: para nabi di Perjanjian Lama. Ia mengatakan bahwa nubuat-nubuat tidak datang dari seseorang yang duduk dan mencoba mereka-mereka peristiwa-peristiwa dengan hikmatnya sendiri. Para nabi mengucapkan kata-kata, tetapi kehendak mereka tidaklah menjadi sumber kata-kata mereka.

Kata-kata itu berasal dari Allah. Yaitu tatkala Roh Kudus membawa para nabi, ke mana Ia kehendaki mereka berada. Maka, Perjanjian Lama merupakan tanda perjanjian Allah bagi umat-Nya: kata-kata Allah sendiri, yang di dalamnya terkandung otoritas ketuhanan-Nya.

Bagaimana dengan Perjanjian Baru? Memang, Anda tidak akan menjumpai satu ayat yang menunjuk kepada semua kitab di PB sebagai Firman Allah. Pada zaman itu, PB belum menjadi kitab yang utuh. PB masih dalam proses penulisan.

Tetapi marilah kita ingat selalu: agama dalam Perjanjian Baru pada hakikatnya sama dengan Perjanjian Lama. Yaitu berpusat kepada Firman Allah. Sebagian orang sering berpikir bahwa PL berpusatkan pada kata-kata (atau “huruf-huruf mati”), sedangkan PB berpusatkan pada kerohanian yang melampaui kata-kata, tetapi kekuatan Roh! Namun hal ini tidak benar sama sekali. Ingatlah akan kata-kata Petrus mengenai pentingnya perkataan Tuhan Yesus, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh. 6.68). Ingat pula kata-kata para rasul kepada umat yang menasihati bahwa perkataan para rasul adalah perintah Allah (1Kor. 14.37).

Jadi, PB pun berpusatkan firman, tepat sama seperti Perjanjian Lama. Apabila kita hendak mencari hidup yang kekal, carilah dalam perkataan Yesus dan perkataan para rasul yang tercantum dalam Perjanjian Baru. Allah menyediakan satu bentuk tulisan untuk mewahyukan Perjanjian Lama. Mungkinkah kita mengharapkan Ia melakukan sesuatu yang lebih rendah untuk mewahyukan Perjanjian Baru, sebagai kegenapan Perjanjian Lama?

Perhatikan pula bahwa pewahyuan Perjanjian Baru, sama seperti Perjanjian Lama, adalah suatu pewahyuan yang permanen, yang diwariskan ke segala bangsa dan keturunan. Inilah yang dimaksud sebagai “tradisi” yang diterima para rasul, yaitu Firman yang sekali untuk selamanya, seperti yang tercatat dalam 1 Korintus 15.2-3; 2 Tesalonika 2.15 dan 3.16; 1 Timotius 6.20; 2 Timotius 2.2; 2 Petrus 2.21 dan Yudas 3.Para rasul membakukan (formalize) tradisi ini dengan menuliskannya dalam surat-surat, Injil-injil, dan kitab apokaliptik Wahyu. Seperti traktat perjanjian yang dibacakan keras-keras di depan sidang pertemuan, Paulus juga meminta supaya surat-suratnya dibacakan bagi orang-orang percaya (Kol. 4.16; 1Tes. 5.27). Ia pun menjadikan suratnya sebagai dasar untuk melakukan disiplin gereja (2Tes. 3.14) dan menjadi batu penguji bagi orang-orang yang mengklaim sebagai nabi atau mempunyai Roh Kudus (1Kor. 14.37). Lebih jauh lagi, Paulus mengutip Injil Lukas sebagai perkataan Allah yang otoritatif (1Tim. 5.18), dan Petrus berbicara betapa bodohnya dan kacaunya orang-orang yang tidak teguh iman memutarbalikkan surat-surat Paulus “sama seperti yang mereka juga buat dengan tulisan-tulisan yang lain [kitab-kitab lain]” (2Ptr. 3.16). Bukankah ini berarti bahwa surat-surat rasul Paulus adalah Kitab Suci, sama seperti kitab-kitab Musa?

No comments:

Post a Comment