Friday, March 30, 2007

Berdoa Bersama Yohanes Calvin


BERDOA BERSAMA YOHANES CALVIN

Panduan Doa Taizé


Jumat, 30 Maret 2007

PENGENALAN AKAN ALLAH, KESALEHAN YANG SEJATI

Pengantar
Yohanes Calvin dilahirkan pada tahun 1509 di Noyon [baca: No:ayong], di provinsi Picardy, Prancis Utara. Ia belajar di Universitas Paris, Orléans [baca: O:léong] dan Bourges [baca: Bu:sh]. Pada tahun 1533, ia dicurigai terlibat dalam pembuatan pidato ilmiah rektor baru Universitas Paris, Nicholas Cop [baca: Ko:], yang terkesan sangat Protestan dan menyerang ajaran Katolik Roma. Calvin cepat-cepat melarikan diri. Ia kemudian menetap di Basel, Swiss, untuk belajar dan menulis.

Pada tahun 1536 ia sedang dalam perjalanan ke kota Strassburg, namun perang lokal memaksanya memutar haluan melintasi kota Jenewa. Calvin hanya berniat tinggal satu malam di kota itu, tetapi William Farel, pemimpin Reformasi di kota itu, mendesaknya untuk tinggal. Akhirnya ia tinggal di sana sampai tahun 1538. Karena kekurangmatangannya, ia bertikai dengan Dewan kota, dan akhirnya diasingkan keluar dari Jenewa dan pindah ke Basel untuk melanjutkan studi teologi.

Namun, Martin Bucer, pemimpin Reformasi di Strassburg segera mengundangnya ke Strassburg untuk melayani jemaat kecil, para pengungsi Prancis yang telah menjadi Protestan. Sementara berada di Strassburg, kondisi Jenewa makin memprihatinkan. Pada tahun 1540, pejabat pemerintah di kota itu memintanya kembali. Calvin sekonyong-konyong terkejut, dan dalam kesaksiannya ia mengatakan, “Lebih baik saya mati seratus kali daripada disalibkan di kayu salib di kota itu dan mati seribu kali setiap hari.” Namun akhirnya, “dengan serius dan penuh tanggung jawab aku sadar akan tugasku dan aku setuju untuk kembali kepada kawanan dombaku, yang dulu aku dipaksa untuk meninggalkannya. Bagaimana sedihnya, penuh air mata, kekhawatiran dan kecemasan aku lakukan itu, hanya Tuhan yang tahu.”

Calvin kembali ke Jenewa tahun 1541. Di kota ini, ia tidak langsung mendapat kedudukan yang menyenangkan; ia harus berjuang dalam tempo yang sangat panjang, tak kurang dari 20 tahun! Pada tahun 1559 ia menulis, “Tidak ada orang yang begitu banyak diserang, disengat dan disobek-sobek oleh fitnah” seperti dia.

Namun toh perjuangan panjang itu berhasil mengubah wajah Jenewa. Reformator Skotlandia, John Knox, menyatakan Jenewa sebagai “sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di atas dunia sejak zaman para rasul. Di tempat-tempat lain, saya akui, memang Kristus diberitakan. Tetapi tata krama dan agama yang begitu direformasikan dengan tulus ikhlas belum pernah saya lihat di tempat lain.”

Calvin meninggal tahun 1564, namun tak seorang pun mengetahui di mana tubuh Calvin diistirahatkan. Seorang reformator besar, yang mempengaruhi kebudayaan hampir-hampir di semua belahan dunia, membiarkan tubuhnya tak diketahui di mana keberadaannya. Akan tetapi, doanya yang sederhana namun kuat itu tetap menggema di sepanjang abad sejarah gereja, “Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, dengan siap sedia dan tulus.”

H e n i n g

Denting keheningan (lektor):

“Seluruh hikmat manusia, artinya yang patut disebut sebagai hikmat yang benar dan kokoh, boleh dikatakan terdiri dari dua bagian: Apabila kita mengenal Allah, kita masing-masing mengenal diri ita sendiri pula. Akan tetapi, walaupun kedua bagian itu terjalin satu dengan yang lain, namun menentukan mana yang mendahului dan menghasilkan yang satu lagi, tidaklah gampang.

Sebab pertama-tama, tiada seorang pun dapat mengamati dirinya sendiri tanpa segera menjuruskan pikirannya kepada Allah, yang di dalam-Nya ia ‘hidup dan bergerak’” (Kis. 17.28).

Kidung (461):
Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya
Pujilah Tuhan, sumber kehidupan

H e n i n g

DOA (dpo. lektor)
Ya Tuhan, Dikaulah sumber segala hikmat dan pengetahuan, dan hanya Dikau saja yang mampu menuntun kami ke dalam kejujuran dan hidup yang kudus, maka, kiranya kini Kau karuniai pikiran yang diterangi. Sebab bila tiada pencerahan-Mu, pekerjaan-pekerjaan kami tak lebih merupakan kesia-siaan. Kendalikanlah hati kami, sehingga kami sedia tiap saat, dan berkenanlah mengaruniakan Roh-Mu kepada kami—yakni Roh pengertian, kebenaran, kebajikan—agar kami kian mengenal Dikau dan belajar hidup dalam kesalehan. AMIN.

Kidung (495):
Tuhan dengarlah doaku ini, hadirlah di sini,
Tuhan dengarlah doaku ini, dengarkanlah aku.

H e n i n g

(I) Bila tidak ada pengenalan tentang diri kita sendiri, tidak mungkin ada pengenalan akan Allah

“Betapa jelas bahwa karunia-karunia yang merupakan kemuliaan kita, sekali-kali bukanlah dari kita; bahkan kita hanya ada karena kita berada di dalam Allah saja. Lalu oleh kebaikan-kebaikan yang menetes ke atas diri kita itu, kita seakan-akan oleh batang-batang air dibimbing ke sumbernya.

Bahkan: dari kemiskinan kita ini lebih jelas lagi terlihat betapa tak terhingganya kebaikan-kebaikan yang terdapat pada Allah. Secara khusus, keruntuhan celaka yang telah kita alami karena nenek moyang pertama kita yang memberontak, memaksa kita untuk menengadah. Tidak hanya supaya kita, yang hampa dan lapar, mengharapkan dari sana segala sesuatu yang tidak kita punyai. Tetapi juga supaya kita tergugah oleh rasa takut dan dengan demikian belajar berendah hati.

Sebab, dari kita dilucuti semua hiasan surgawi, ketelanjangan kita dengan aib besar menampilkan onggokan kehinaan sedemikian tingginya, hingga kita semua menjadi bimbang. Oleh karena itu, hati kita perlu tersayat-sayat oleh kesadaran akan kemalangan kita, supaya kita sekurang-kurangnya lebih dekat sedikit pada pengenalan akan Allah.”

Kidung (461):
Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya
Pujilah Tuhan, sumber kehidupan

H e n i n g

“Setelah merasakan kebodohan kita, kesia-siaan, kemiskinan, kelemahan kita, akhirnya kebejatan dan kerusakan kita, kita sampai pada pengetahuan bahwa tiada lain kecuali pada Allahlah benar-benar terdapat hikmat terang, kebaikan kukuh, kelimpahan sempurna, segala kebajikan, keadilan yang murni.

Secara singkat, tergeraklah hati kita oleh kesengsaraan kita, sehingga ditelitinya kebaikan-kebaikan Allah. Dan kita baru dapat mendambakan Dia dengan sungguh-sungguh, kalau kita sudah mulai benar-benar tidak senang akan diri kita sendiri. Karena tentu saja, setiap orang akan merasa senang dan puas akan dirinya sendiri, dan setiap orang memang merasa puas akan dirinya selama ia tidak mengenal dirinya: yaitu selama ia membanggakan kepandaian-kepandaiannya dan tidak mengenal kemalangannya, atau telah melupakannya. Dengan demikian, pengenalan kita akan diri sendiri tidak hanya mendorong kita masing-masing mengenal Allah, tetapi juga kita seakan-akan dibimbing oleh pengetahuan itu untuk menemukannya.”

Kidung (461):
Pujilah Tuhan, pujilah nama-Nya
Pujilah Tuhan, sumber kehidupan

H e n i n g

(II) Apabila tiada pengenalan akan Allah, tak mungkin ada pengenalan akan diri kita sendiri

“Sudah barang tentu, manusia tak bakal mencapai pengetahuan yang jelas akan dirinya sendiri selama ia belum mengamati wajah Allah, dan dari pengamatan itu kembali memandangi dirinya sendiri.

Sebab, rasa angkuh yang telah mengakar di dalam hati kita semua, sehingga kita akan selalu menganggap diri kita benar dan utuh, bijaksana dan suci, sampai kita diyakinkan oleh bukti-bukti yang nyata bahwa kita tidak benar, telah kena noda, sembrono dan beraib. Tetapi kita tidak akan pernah yakin selama mata kita tidak hanya memandangi diri kita sendiri dan tidak pula memandangi Tuhan, satu-satunya ukuran yang menjadi pedoman penilaian kita.

Sebab, kita semuanya pada dasarnya cenderung bersikap munafik, sehingga kita sudah teramat puas dengan yang tampaknya saja kebenaran, betapa pun tipisnya, sebagai ganti kebenaran yang sebenarnya. Di dalam atau di sekitar kita, tidak ada yang tidak dinajiskan oleh bermacam-macam kecemaran. Oleh sebab itu, sepanjang hidup dan pengamatan kita, kita batasi pada kotoran-kotoran dunia ini. Sehingga, yang cemar kita pandang sebagai yang sangat suci.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini 499)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

“Pancaindera kita sesungguhnya dapat melihat dengan lebih teliti lagi betapa kita sesat dalam menanggapi kekuatan dan kemampuan jiwa. Sebab, apabila kita memandang ke bawah, waktu sedang terang-benderang, atau apabila kita memandangi hal-hal di sekeliling kita, maka kita mengira bahwa kita dikaruniai penglihatan yang paling kuat dan tajam; tetapi apabila kita langsung menengadahkan mata kita untuk menatap matahari, maka kita yang begitu awasnya di bumi itu dengan seketika disilaukan atau dikaburkan oleh cahaya yang secerah itu. Sehingga kita terpaksa mengaku bahwa ketajaman mata kita untuk mengamati hal-hal di bumi ini hanyalah keburaman, apabila soalnya mengenai matahari yang cerah.

Demikian pulalah terjadi, bila kita periksa harta rohani kita. Sebab, selama pandangan kita tidak meninggalkan bumi, kita puas dengan kebenaran kita, dengan kebijaksanaan dan kebajikan kita, kita merasa senang, kita membujuk diri dengan khayalan, dan hampir-hampir kita menganggap diri kita setengah dewa.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini 499)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

“Namun, jika kita mulai mengangkat pikiran kita kepada Allah dan mempertimbangkan benar-benar bagaimana Ia, dan betapa eloknya kesempurnaan kebenaran-Nya, kebijaksanaan dan kebajikan-Nya yang harus menjadi teladan yang dengannya kita menyesuaikan diri, maka yang tadinya amat menyenangkan hati kita di bawah selimut kebenaran yang palsu, terasa oleh kita berbau sangat tidak benar; yang menakjubkan kita sebagai kebijaksanaan, akan terasa oleh kita sebagai kegilaan belaka; dan yang tadinya berlagak sebagai kekuatan, akan ternyata sebagai kelemahan semata-mata.

Karena hal dalam diri kita yang tampak sebagai yang paling sempurna pun, sama sekali tidaklah sebanding dengan kemurnian ilahi.”

Kidung: (Sanctum Nomen Domini 499)
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku me- mulia-kan-Nya
Kuduslah nama Tuhan,
jiwaku memulia-kan-Nya

H e n i n g

(III) Kesalehan adalah syarat untuk mengenal Allah

“Inilah pengenalan akan Allah itu: kita tak hanya memahami bahwa ada suatu Allah, tetapi juga mengerti apa yang perlu kita ketahui mengenai Dia, apa yang bermanfaat demi kemuliaan-Nya, dan akhirnya apa yang berguna bagi kita.

Kami tidak akan berkata bahwa Allah dapat dikenal dengan benar, bila tiada perasaan keber-iman-an atau perasaan kesalehan. Sesungguhnya manusia telah binasa dan telah terkutuk dalam dirinya sendiri, dan bagaimanakah ia dapat menerima Allah sebagai Penebusnya di dalam Kristus yang telah menjadi Pengantara bagi kita?

Pertama-tama, Allah dikenal sebagai Pencipta. Ia dikenal demikian baik melalui karya-Nya, yaitu dunia, maupun melalui ajaran umum Kitab Suci. Kemudian, Allah tampil sebagai Penebus di dalam wajah Yesus Kristus; dari situ lahirlah pengetahuan ganda tentang Dia.

Sebab itulah Ia patut dipuja dan disembah oleh semua orang. Dia adalah sumber segala kebaikan. Maka, yang disebut sebagai kesalehan adalah: rasa hormat-takzim kepada Allah, perasaan yang dibangkitkan oleh kesadaran akan kebaikan-kebaikan-Nya terhadap kita.”

Kidung (492):
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.

H e n i n g

“Pengenalan kita akan Dia pertama-tama harus tertanam dalam hati kita, terwujud dalam rasa segan dan hormat terhadap Dia, lalu mengajar dan membimbing kita untuk meminta segala kebaikan-Nya kepada-Nya dan untuk mengakui Dia sebagai sumber kehidupan.

Dan sesungguhnya, bagaimana pikiran akan Allah timbul dalam hati kita, mengingatkan kita bahwa kita ini adalah hasil perbuatan tangan-Nya. Bahwa sebagai hak cipta-Nya, kita harus tunduk dan menghambakan diri kepada kekuasaan-Nya, bagwa kita hidup berkat Dia, bahwa dalam segala sesuatu yang kita jalankan dan yang kita usahakan, kita harus memperhitungkan Dia.

Inilah perasaan keagamaan yang benar dan yang murni: beriman dan sekaligus sungguh-sungguh takut akan Allah, sedemikian rupa sehingga keseganan itu mengandung rasa hormat yang sukarela, dan membawa serta ibadah sebagaimana yang selayaknya dan yang sesuai dengan perintah Allah sendiri di dalam Hukum-Nya.

Hendaklah kita perhatikan, semua orang mungkin menghormati Allah, akan tetapi hanya sedikit yang menyembah Dia. Karena di mana-mana dalam upacara-upacara keagamaan orang banyak berlagak, tetapi jarang terdapat kesungguhan hati.”

Kidung (492):
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.
Pujilah semua bangsa, puji Tuhan kita.

H e n i n g

DOA (lektor)
“Hatiku kupersembahkan kepada-Mu, ya Tuhan, dengan siap sedia dan tulus.”

Kidung (485):
Jiwaku tenang dalam Tuhan,
Dia Penyelamatku.

No comments:

Post a Comment