Thursday, September 24, 2009

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (5): JATI DIRI

Pada waktu orientasi peserta IVEP/SALT/YAMEN! di Akron, salah satu pertanyaan yang diajukan oleh staf orientator adalah, “Siapakah aku?” Pertanyaan ini sangat penting untuk direnungkan. Pengalaman hidup lintas budaya, akan membuat para peserta pertukaran pemuda tidak sama seperti yang sudah-sudah. Jati diri akan terus dibentuk dan diasah. Segala yang ada pada diri seseorang pasti berubah dalam konteks yang berbeda.

Jati diri yang berubah kadang menjadi ketakutan banyak individu Kristen dan gereja. Terkadang, memposisikan diri terhadap pandangan tertentu telah merupakan jati diri. Gereja juga berpuas bila dirinya mengikut pandangan teologi tertentu dan menutup diri terhadap cara pandang lain. Namun tak jarang individu atau gereja yang memegang kokoh “jati diri” yang demikian ditemukan mendua wajah. Kencang dalam pengajaran, tetapi dalam praktik ekklesial ternyata masih patriakhal atau feudalis. Ngotot dalam pandangan teologi tetapi mengultusindividukan seseorang. Mengaku berdiri di atas landasan kebenaran yang ineran tetapi dalam penyembahan dan ibadah pragmatis.

Jati diri dimulai dari keberasalan kita. Dari mana kita berasal, dalam konteks apa kita bertumbuh, siapa saja orang yang mengitari kita, bagaimana nilai masyarakat, peristiwa apa saja yang menimpa kita, yang membawa dampak emosi dan psikis, pendidikan kita, komunitas iman tempat kita bertumbuh, siapa orang yang paling berpengaruh terhadap kita. Namun bila semua itu kita jadikan mutlak, dan kita merasa bahwa itulah kebenaran yang sejati tentang kita, tanpa sadar kita akan masuk ke dalam “zona nyaman” kita. Secara sederhana, kita bisa hidup tetap tenang dan aman dengan apa yang menempel pada kita.

Kendati demikian, bila zona nyaman itu terkoyak, kita menjadi tidak siap. Kita telah menjadi orang yang mapan, dan orang yang mapan tidak siap menghadapi goncangan atas dirinya. Seseorang yang mapan tidak akan siap bila dilucuti semua yang menempel pada dirinya. Contohnya, bila seorang lulusan seminari dikenal sebagai seorang pembicara yang laris. Atau pemikir yang brilian. Atau sebagai gembala yang dicintai domba-dombanya. Siapkah ia untuk meninggalkan semua itu dan menjadi nol, tidak terkenal, bukan siapa-siapa?

Atau seseorang yang telah memiliki pekerjaan tetap, dengan gaji yang banyak. Ia dikenal sebagai orang yang baik di kalangan rekan sejawatnya. Relakah ia meninggalkan panggilan hidupnya untuk sesuatu yang “tidak nyaman” dan penuh risiko demi panggilan yang lebih tinggi? (saat ini, aku sedang membaca sebuah buku berjudul Hospital by the River karya Dr. Catherine Hamlin yang meninggalkan Australia dan pergi ke Ethiopia bersama suaminya; aku akan menceritakannya kelak!)

Kemapanan juga melahirkan eksklusivisme. Tidak ada ruang terhadap perbedaan. Perbedaan dianggap sebagai musuh yang harus dijauhi. Perjumpaan dengan pihak yang berbeda hanya sebatas basa-basi, bukan saling pengertian dan keinginan untuk belajar. Aku mau bersekutu bila kau sama denganku. Karena kau tidak sama denganku, kita tidak bisa bekerja sama. Hal ini terjadi di gereja, bukan? Kecenderungan yang terjadi adalah, gereja kita posisinya A, denominasi A, dan semua pendeta di sini menganut A. Gereja lain berbeda.

****

Memilih Ethiopia sebagai tempat aku belajar menimba pengalaman lintas budaya tanpa liku-liku pertimbangan yang panjang. Banyak orang terkejut. Mereka yang berjumpa denganku bertanya, mengapa Ethiopia? Citra yang menempel di benak banyak orang tentang Ethiopia adalah negeri orang hitam, miskin dan penuh kelaparan. Secara tidak langsung orang bertanya, tak adakah tempat yang lebih baik?

Ethiopia aku pilih, bukan tanpa alasan. Aku tidak berminat ke Amerika Serikat atau Canada atau Eropa untuk jangka waktu setahun. Kubayangkan, hidup di sana lebih enak: lingkungan yang rapi dan bersih, taraf hidup penduduknya relatif sama (meski di kota-kota besar kemiskinan pun kian menganga!), memperoleh barang yang diinginkan juga lumayan mudah. Siapa orang yang tidak ingin mencicipi hidup di daratan Amerika Utara? Tetapi bagiku, apa yang dapat aku lakukan di tempat yang dapat menyediakan apa yang kuinginkan, bahkan lebih?

Tetapi terlalu banyak orang Indonesia tinggal di Amerika Utara. Untuk mendapatkan rekomendasi, mudah dari orang-orang yang sedang ataupun pernah tinggal di sana. Tetapi Ethiopia? Sumber yang dapat kuakses adalah internet. Dan, orang yang lebih dahulu membaca perihal di internet, atau mereka yang pernah mengecap makanan Ethiopia. Aku benar-benar tidak banyak tahu mengenai negeri ini.

Aku membayangkan siapa aku di Ethiopia! Aku bukan siapa-siapa. Aku menjadi orang yang tak dikenal. Di negeri ini hanya sedikit orang yang tahu bahasa Inggris, dan aku sama sekali tak tahu bahasa pengantar mereka. Kalaupun aku mendapatkan waktu belajar bahasa 6 minggu, mungkinkah dalam waktu sesingkat itu aku dapat berkomunikasi dengan lancar di jalan, di gereja, di rumah keluarga yang menampungku?

Dari dalamku, terdapat dorongan besar tentang rasa ingin tahu tentang negeri ini, tentang sejarah, tentang masyarakat dan etnografi mereka. Tetapi cukupkah itu? Tetapi berapa pun alasan yang dapat kujajar, aku belum dapat menjawab siapa aku sekarang ini. Waktuku baru sebulan berada di Addis Ababa, Kota Bunga Baru itu!

****

Meski begitu, aku ingin bercerita tentang sekelumit pengalamanku sebagai seorang yang menjadi bukan siapa-siapa, di negeri orang lain. Orang Ethiopia tidak dapat membedakan orang Asia. Mereka masih bingung dengan orang India dan China. Mereka jarang dan nyaris tidak pernah melihat orang Indonesia.

Dua minggu silam, ketika aku masih tinggal di kontainer di lokasi MCC, waktu itu aku hendak berangkat ke sekolah bahasa Amharic. Kulihat dua orang anak kecil berjalan, dan tanpa sepengetahuanku mereka sedang membicarakan aku dalam bahasa yang tidak aku kenal. Mereka lewat. Tiba-tiba, salah satu di antara mereka berbalik dan bertanya kepadaku dalam bahasa Inggris, “Aku ingin tahu, apakah kamu orang India atau Indonesia. Aku bilang ke temanku kalau kamu orang Indonesia.” Aku membenarkan dia bahwa aku orang Indonesia dan kuucapkan terima kasih karena telah menanyakannya kepadaku.

Tadi pagi (Senin, 7 September 2009), aku berangkat bersama ke sekolah bahasa diantar oleh Mekonnen dengan mobilnya, di dekat daerah Bole seorang pengemis mendekati mobil Mekonnen, dan meminta sedekah. Ternyata ia secara khusus meminta kepadaku. Aku dipesan untuk tidak memberikan uang kepada pengemis bila ia masih terlihat sehat dan mampu bekerja. Tiba-tiba raut mukanya berubah menjadi agak marah. Ia berkata dengan penuh ketidaksenangan dalam bahasa Amharic, “Hai orang Chinese, beri uang, donk, kapan perusahaanmu itu akan dibuka?” Selidik punya selidik, ternyata ada benih sentimen dari orang-orang Abbysa (Ethiopia) terhadap orang-orang China, karena banyak proyek China khususnya menggarap jalan-jalan di Ethiopia. Sejumlah orang Abbysa tidak menyukai hal ini. Jadi, siapa aku? Orang India? Orang China? Aku menjadi orang yang tidak dikenal.

Ngomong-omong tentang orang Ethiopia sendiri, banyak di antara mereka yang ternyata eksklusif. Mereka membanggakan ras, dan merasa beda dengan orang-orang lain di daratan Afrika. Sehingga, ketika orang Abbysa menyebut “Afrika,” dalam pikiran mereka ialah orang-orang yang hitam legam, tinggi besar dan bermuka agak tebal. Mereka tidak merasa bahwa Abbysinia (nama Ethiopia tempo silam) pun merupakan bagian dari Afrika.

Menerungkan jati diri, aku masih memendam setitik ketakutan. Ketakutan untuk menjadi nyaman dan mapan. Aku berpikir, dengan menjadi seperti itu, aku akan kehilangan visi hidup dan panggilan utama. Aku akan menjadi orang yang manis supaya orang suka kepadaku dan mencukupkan semua keperluanku. Bahkan terhadap diriku juga. Bilamana aku merasa semua yang kupegang dan kuketahui telah membuatku berpuas, dan aku tidak berani menantang diriku sendiri serta pemikiran-pemikiranku. Siapa yang kulayani, dan untuk apa aku hidup? Aku bertanya, bilamanakah aku akan berhenti menanyakannya?



Igzabher yimsken!



Addis Ababa, 7 September 2009

Mekonnen’s House @ CMC (10.26 p.m.)

No comments:

Post a Comment