Thursday, September 24, 2009

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (4): BAHASA AMHARIC

“Berapa bahasa yang kau kuasai?” Jika ada orang menanyakan itu kepadaku, aku menjawab, “Lima!” Biasanya orang terkejut, “Wow! Apa saja?” Jawabku, “Selain bahasa Inggris, aku menguasai bahasa Indonesia, bahasa Jawa Ngoko, Madya dan Krama.”

Tiap-tiap orang memiliki karunia yang belain-lainan. Termasuk dalam kemampuan dan daya ingat. Ada yang diberi kemampuan matematik dan cepat mengingat angka. Ada yang diberi kemampuan mengimajinasikan ruang sehingga menjadi perancang interior yang andal. Tetapi ada pula orang yang diberi karunia mempelajari bahasa dengan cepat. Pendengaran, pengucapan dan daya ingatnya begitu tajam untuk mengingat kosakata bahasa yang baru.

Entah aku diberi kemampuan yang terakhir atau tidak, yang pasti aku senang belajar bahasa. Bagiku rasa senang itu merupakan modal utama. Banyak orang takut dengan bila berhadapan dengan pelajaran bahasa baru. Mengapa takut? Takut salah. Sebagai orang yang agak perfeksionistik, terkadang aku menuntut diriku untuk mengerti dengan pasti struktur gramatika, konjugasi dan ketepatan fonetik suatu kata. Aku tidak ingin salah. Namun akhirnya aku sadari, cara seperti ini tidak selalu sukses. Aku bisa menguasai struktur, tetapi aku tidak dapat berkomunikasi. Tidak selalu ketepatan dalam berbahasa itu diperlukan. Kerap komunikasi itu butuh cepat.

Rasa senangku akan bahasa juga dipicu oleh kegemaranku mengenal budaya. Aku senang sejarah. Aku senang etnografi. Dan, aku senang bahasa. Ketiganya mencerminkan pola pikir dan cakrawala pandang orang-orang setempat. Dengan sejarah, etnografi dan bahasa, aku yakin bahwa seseorang dapat lebih menghormati budaya baru di tempat aku berada. Ia tidak akan mudah menjadi penilai bahkan hakim, menakar sesuatu yang bukan budayanya sendiri, tetapi dengan santun dan arif menjadi pebelajar yang menghormati nilai budaya baru, yang mungkin berbenturan dengan nilai dan tata kehidupan tempat asalnya.

Bahasa mencerminkan kepribadian suatu bangsa. Itulah sebabnya, ketika aku ingin mengenal suatu bangsa, aku ingin belajar alat komunikasinya, yaitu bahasa. Alasanku sederhana. Siapa menguasai komunikasi, ia memiliki teman yang banyak dari kebudayaan setempat. Filosofiku bilamana belajar bahasa baru simpel-simpel saja: Nekad! Itulah yang dibutuhkan untuk sukses mempelajari bahasa. Nekad belajar. Nekad membaca. Nekad berlatih. Nekad berbicara.

****

Aku ingin berbagi sekarang mengenai bahasa Amharic. Bahasa ini merupakan bahasa nasional Ethiopia. Selain Amharic, sebenarnya ada banyak bahasa yang lain di daratan Ethiopia, karena negeri ini pun memiliki beragam suku dan etnisitas. Rumpun bangsa mayoritas di Ethiopia sebenarnya adalah Oromo. Mereka pun memiliki bahasa Oromifa. Tetapi akhirnya, bahasa Amhariclah yang dijadikan bahasa nasional. Gambaran sederhananya seperti rumpun suku Jawa sebagai suku terbanyak di Indonesia, namun bukan bahasa Jawa yang dijadikan bahasa nasional, tetapi bahasa Melayu Riau. Mayoritas tidak selalu menjadi penguasa dan pemonopoli. Mayoritas tidak selalu menjadi yang utama dan mendapatkan fasilitas yang lebih baik daripada yang lain.

Berbeda dengan Oromifa, bahasa Amharic memiliki alfabet. Oromifa tidak. Alfabet Amharic sama dengan bahasa kuno Ge’ez, yang disebut juga bahasa Ethiopic. Namun, bahasa Ge’ez ini makin tidak populer. Bahasa ini hanya dipakai dalam liturgi ibadah Gereja Orthodoks Ethiopia. Bahasa ini masih dianggap sakral bagi kehidupan liturgi Gereja Orthodoks Ethiopia.

Meski alfabetnya persis sama, namun kosakatanya berbeda sama sekali. Kendati demikian, bila kita memahami rumpun bahasa yang lebih besar, kita akan tahu bahwa bahasa Ge’ez maupun Amharic, masih berada dalam satu rumpun bahasa Semit (di samping Ibrani dan Arab). Struktur penulisan verba (kata kerja) juga mirip, terdiri dari tiga konsonan bila ditulis dalam alfabetnya. Beda yang mencolok adalah dalam hal jumlah. Bila Ibrani memiliki 23 huruf saja, Amharic memiliki tak kurang dari 230 huruf.

Semakin mempelajari bahasa asing, semakin seseorang menyadari bahwa bahasa paling mudah di seluruh dunia adalah bahasa Indonesia. Bahasa ini tidak memiliki tenses. Hafalkan kosakata sebanyak mungkin dan struktur S + P + O + K, ditambah prefiks dan sufiks untuk verbanya, tidak ada perubahan yang berarti dalam struktur gramatika. Logikanya juga sederhana.

Bahasa Inggris lumayan rumit, tetapi tidak banyak perubahan. Bahasa Jerman, Prancis dan Latin memiliki akar yang sama. Bahasa Spanyol tidak terlalu njelimet dibanding bahasa-bahasa di atas. Bahasa Yunani dan Ibrani lebih mudah dan tertata.

Bagiku, bahasa Amharic adalah salah satu bahasa yang sangat sukar di dunia. Perubahan dan konjugasi kata kerjanya sedemikian banyak. Perbedaan aku, engkau, kita, kalian, dia laki-laki, dia perempuan, mereka, orang yang dihormati, ditambah prefiks dan sufiks serta perubahan verba yang rumit sekali. Terlampau banyak logika untuk berbahasa Amharic, dan ini merupakan kesukaran bagi orang Indonesia yang memiliki gramatika termudah di dunia.

Menghafalkan kosakata tidaklah cukup! Apalagi, dalam bahasa ini ada bunyi-bunyi asing seperti “-ck-”, perbedaan fonetik “k” yang beragam. Sepintas lalu, bila kau dengar orang berbicara dalam bahasa Amharic, lantunan suaranya serta gerak tangannya seperti orang Ibrani dan Arab. Tetapi kata-kata yang keluar banyak bedanya.

****

Sekali lagi, untuk sukses belajar bahasa, butuh kenekadan! Mengikuti kelas bahasa Amharic yang diadakan oleh Joint Language School, atas prakarsa dari sinode Mekannisa Yesus Church dan Lutheran Wolrd Federation, memberikanku pengalaman yang sangat menarik. Sekolah ini mengembangkan cara didaktik yang berbeda. Semula mereka menerapkan cara pengajaran dari gramatika, konjugasi dll., mirip ketika aku belajar bahasa Yunani dan Ibrani di seminari dulu. Setelah dievaluasi, ternyata banyak peserta didiknya yang menguasai gramatika, namun tidak dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat.

Akhirnya mereka mengembangkan pola pendidikan yang lain. Mereka sebut sebagai Growing Participant Approach. Teknik ini dikembangkan oleh seorang pendidik dari Canada bersama istrinya. Sang suami mengembangkan teknik, sedangkan istrinya mengembangkan sarana pembelajaran seperti gambar-gambar penunjang. Peserta didik mendapatkan sebutan “partisipan yang bertumbuh,” sedangkan para pengajarnya yang adalah orang-orang asli Ethiopia yang telah berpengalaman sebagai guru bahasa Amharic disebut “pemupuk” (nurturer).

Cara ini benar-benar baru bagiku! Kelas kami kecil, terdiri dari 5 orang saja. Setiap peserta didik tidak diperkenan membawa buku tulis selama 2 minggu. Mereka tidak boleh menulis apa pun di dalam kelas, dan pengajar pun tidak menulis satu tulisan pun di papan tulis. Pengajar menyediakan alat peraga dan pelbagai sarana juga gambar penunjang pembelajaran. Yang boleh dibawa peserta didik adalah alat rekam. Peserta didik merekam hal-hal yang memang diperintahkan oleh pengajar untuk direkam. Di rumah, rekaman itu didengarkan kembali 3-4 kali agar lebih mudah mengingat pelajaran hari ini.

Setelah 2 Minggu berjalan, barulah kami belajar untuk berbicara. Namun, kami tidak pernah diajar gramatika! Kami dituntut untuk menemukan sendiri gramatikanya, sembari pengajar berbicara. Sang pengajar, sekalipun mampu berbahasa Inggris, berusaha untuk tidak berbicara dalam bahasa Inggris. Kecuali kami bertanya kepadanya masalah-masalah kultural dan/atau seputar gramatika yang kami jumpai pada waktu kegiatan belajar-mengajar berlangsung. Modal terpenting untuk mempelajari bahasa ini bagiku pribadi sekali lagi adalah: nekad!

Aku ingin berbagi mengenai kelas Amharicku. Aku sekelas dengan 2 orang berkebangsaan Amerika Serikat: Joe dan Lydette. Joe adalah seorang konsultan social work. Ia bekerja untuk The Forsaken Children, LSM Amerika Serikat yang memperhatikan anak-anak jalanan. Sedangkan nama Lydette adalah nama Ethiopia. Benar, ayahnya seorang Ethiopia, lalu bermigrasi ke Amerika Serikat dan menikah dengan orang Amerika. Lydette pergi ke Ethiopia bersama aku dalam program pertukaran Serving and Learning Together (SALT) yang disponsori juga oleh MCC.

Dua orang lagi berasal dari benua Eropa. Yang satu seorang perempuan paruh baya dari Swiss yang selalu tampak menyungging senyuman di wajahnya, bernama Ester Kunz. Ia datang setahun yang lalu, bersama suaminya Peter yang juga belajar bahasa Amharic di kelas lain. Satunya lagi bernama Larsh, seorang dari Norwegia yang membantu sebuah rumah sakit internasional di Addis Ababa, selain ia sendiri seorang pebisnis dan direktur penata untuk sebuah perusahaan finansial Norwegia.

Larsh adalah orang yang sering merasa frustrasi di kelas. Karena, ia merasa pola pembelajaran ini sangat asing baginya. Ia belum bisa meraba-raba, target akhir dari metode ini. Sudah 7 bulan ia di Ethiopia. Sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi, ia menuntut standar yang sangat tinggi; ia harus melihat dan mengobservasi dengan sungguh bagaimana bunyi suatu kata berdasarkan tulisannya. Namun hal ini sukar oleh karena Amharic memiliki alfabet sendiri yang penulisan antarhuruf dapat berbeda meskipun bunyinya agak-agak mirip.

Sedangkan Lydette lebih banyak tahu kata Amharic karena ia telah cukup sering mendengar dari ayahnya bila berbicara dengan kawannya dari Ethiopia. Ester dan Joe adalah dua orang yang cepat hafal. Sangat mungkin karena mereka sudah cukup lama berada di Addis Ababa. Ester sudah satu tahun, sedangkan Joe sudah 8 bulan.

Namun pengajar di kelas kami sungguh luar biasa. Namanya Ebisse. Ia sesosok ibu yang sabar. Tutur katanya halus. Wajahnya tidak terlalu menunjukkan bahwa dirinya adalah orang Afrika. Orang bisa salah kira. Bahkan lebih mirip orang Jawa. Terhadap kawan yang ketinggalan, ia mau menuntunnya sampai sama dengan yang lain.

Aku sangat menikmati belajar bahasa Amharic. Aku belum bisa berbahasa baru ini dengan lancar. Gen ahun enei Amarigna yetamarukh no (“Tetapi aku sedang belajar bahasa Amharic”). Ada peribahasa Amharic yang aku sangat suka dan menggembirakan hatiku untuk belajar Amharic: Khas bekhas enkhulal ba’egru yihdal. Artinya, sedikit demi sedikit telur itu lambat laun akan berjalan.



Igzhabehr Yimsken!

Addis Ababa, 6 September 2009

1 comment: