Thursday, September 24, 2009

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (1)


JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (1)
“Ethiopia . . . ,” segera kita ingat penggalan syair Iwan Fals. Aku tak tahu apa-apa tentang negara ini. Memimpikannya pun tidak pernah. Yang kutahu, negeri ini pernah mengalami bencana kelaparan yang demikian dahsyat di era 1980-an. Ya, dari layar TV 17 inci yang masih hitam-putih merk National kala aku masih kecil, aku ingat bencana kemanusiaan yang sangat besar di negara Afrika ini!
“Apa, Ethiopia?” Demikian bisikku dalam hati, ketika Jeanny Jantzi, Mennonite Central Committe Country Representative untuk Indonesia menawariku pergi ke negeri ini dalam program Young Anabaptist-Mennonite Exchange Network yang merupakan program gabungan Mennonite World Conference (MWC) dan Mennonite World Committee (MCC). Padahal, aku ingin ke Yunani, atau ke Rusia, atau paling tidak ke Mesir. Yang selalu terbayang di hatiku kala itu adalah Mesir. Negeri yang panas? Tidak apa-apa! Aku ingin pergi ke sana. Aku ingin belajar sesuatu dari sejarah panjang Mesir yang luar biasa itu. Bagiku, pengalaman ini akan sangat membantuku dalam pelayanan dan pengajaran di gereja tatkala aku pulang.
“Saya rasa, Ethiopia memiliki sejarah Kekristenan yang sangat panjang dan luar biasa,” demikian kira-kira kata Ibu Jantzi di kantor MCC Salatiga. O ya? Tanyaku dalam hati! Apa yang menarik? Sepulang dari Salatiga, aku segera mencari data mengenai Kekristenan di Salatiga. Wow! Ternyata, di luar bayangan dan dugaanku! Aku temukan nama-nama yang sering kubaca dalam Alkitab: ratu Syeba, sida-sida dari Ethiopia . . . dan Tabut Perjanjian! Sebagian tempat yang ada di Alkitab, misalnya Kush yang kemudian juga dikenal sama sebagai Ethiopia, sekarang ini telah menjadi bagian negara Sudan.
Sebagai seorang pecinta dan pengajar Alkitab, aku menyukai hal-hal yang berhubungan dengan Alkitab: ragam bahasa Alkitab, tafsir, teologi, arkeologi, sejarah, filosofi dan khasanah spiritualitas, arsitektur gereja, liturgi, musik ibadah, ikonologi, politik. Terlampau banyak yang aku sukai. Aku sadar, terlalu beragam! Tetapi setiap kali ada kajian baru yang berbau salah satu hal di atas, selalu saja membuat mataku terbelalak dan pikiranku tidak bisa diam untuk mengajukan sederet pertanyaan karena desakan rasa ingin tahu.
Beberapa waktu belakangan, aku tertarik untuk mempelajari Kekristenan Orthodoks. Itulah yang aku inginkan. Sebagai utusan MWC, aku ingin membuka peluang bagi dialog Mennonite dengan gereja-gereja Orthodoks. Gereja Mennonite telah berdialog dengan gereja-gereja Reformed di Eropa, Gereja Lutheran, Katolik Roma, Gereja Baptis; tetapi dengan Gereja Orthodoks, belum ada. Yang kutahu, baik MWC maupun sejumlah besar gereja Orthodoks merupakan anggota Dewan Gereja Dunia. Tetapi, entah dengan Gereja Orthodoks Ethiopia.
Tidak adanya dialog dari kedua tradisi ini kemungkinan oleh karena tidak adanya kait-mengait secara langsung dalam sejarah gerakan Anabaptis. Dengan gereja-gereja Reformed, Lutheran dan Katolik Roma, kaum Mennonite pernah mengalami 200 tahun penganiayaan. Akan tetapi, bagiku dialog bukan hanya untuk menyembuhkan luka-luka lama dan rekonsiliasi atas retaknya tali keluarga Allah, tetapi juga menumbuhkan pengenalan bersama di dalam keberagaman tubuh Kristus. Di sinilah, dua tradisi yang tidak pernah saling mengenal, Mennonite dan Orthodoks, dapat berjumpa, bercakap-cakap dengan hangat dan menemukan garis pemahaman bersama mengenai arti persekutuan, Kerajaan Allah, perdamaian, keadilan dan ciptaan baru. 
****
Kristen Orthodoks sendiri terdiri dari berbagai macam jenis: Yunani, Rusia dan Oriental. Ethiopia memiliki sejarah Orthodoksi yang khusus, yang berbeda dengan gereja-gereja Orthodoks yang lain. Sebab, Gereja ini mengklem memiliki Tabut Perjanjian yang otentik, yang asli, yang dibawa dari Yerusalem ke Ethiopia bersama dengan kunjungan Ratu Sheba dan putranya Menelik I yang merupakan putra mahkota Salomo untuk menjadi penguasa wilayah Ethipia.
Jadi, pada masa kudeta terhadap Salomo, sejumlah besar imam Bait Suci Yerusalem hijrah bersama iring-iringan kerajaan Ethiopia, dan dalam rombongan ini dibawalah Tabut Perjanjian. Hingga sekarang, tabut itu tersimpan di Gereja Orthodoks Perawan Maria dari Sion, di kota Aksum (Axum), jauh di sebelah utara kota Addis Ababa. Tetapi, untuk melihatnya hanya ada 1 orang yang diperbolehkan, yaitu seorang imam Gereja Orthodoks yang dipercaya merupakan keturunan imam besar Yahudi yang turut dalam rombongan di atas. Orang ini pun jarang terlihat keluar dari dari gereja yang ukurannya tidak besar itu. Pekerjaannya tiap-tiap hari adalah menyanyikan mazmur atau doa-doa di dalam “kapel” yang konon menyimpan tabut perjanjian itu.
Catatan mengenai perjalanan panjang Tabut Perjanjian itu sendiri terdapat dalam kitab penting berjudul Kibre Nagast, yang berarti “Kemuliaan Raja-raja.” Buku aslinya kalau tidak salah terdapat di biara Debre Damo, sebuah biara yang terletak di atas pegunungan di daerah Tigray, Ethiopia Utara; untuk mencapainya, seorang pengunjung harus diikat dengan tali dan ditarik dari atas oleh para biarawan. Dan, daerah ini hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki.
Bagaimana Kekristenan dapat masuk ke Ethiopia diduga ada hubungannya dengan sida-sida dari Ethiopia yang dibaptis oleh diaken Filipus (Kis. 9). Namun, tidak pernah ditemukan jejak-jejak catatan ataupun kenangan dari para pendahulu Gereja Orthodoks tentang kiprah penginjilan sang sida-sida. Yang paling jelas adalah kesaksian Frumentius di abad ke-4 M., seorang Orthodoks Koptik yang menjadi budak untuk kerajaan Ethiopia. Dari kesaksiannya secara verbal dan gaya hidupnya, banyak orang yang dibawa kepada Kristus. Kemudian, ia menghubungi uskup di Aleksandria, Mesir, untuk mengirimkan pemimpin Kristen ke Ethiopia. Atas keputusan Uskup Aleksandria, yaitu Athanasius Agung, Frumentius ditahbiskan sebagai uskup bagi Gereja Ethiopia. Itulah sebabnya, Frumentius sangat dihormati dan dikenang, sehingga di dalam semua gereja Orthodoks Ethiopia, terdapat ikon St. Frumentius bersandingan dengan St. Athanasius Agung.
Gereja Orthodoks Ethiopia tetap di bawah “sinode” Gereja Orthodoks Koptik hingga zaman kaisar Haile Selassie I di tahun 1940-an yang menghendaki Gereja Orthodoks Ethiopia memiliki Patriakh sendiri. Permintaan ini dikabulkan oleh Gereja Koptik. Hingga sekarang, hubungan Gereja Koptik dengan Gereja Ethiopia masih berjalan baik.
Masih banyak lagi keindahan yang negeri ini simpan. Ada gereja-gereja kuno dari Granit utuh yang ditatah dan dibentuk menjadi bangunan gereja, yang kebanyakan berada di provinsi Tigray. Salah satu yang terkenal adalah Gereja St. Giorgis (George) di Lalibela yang berumur 900-an tahun. Gereja dengan penampang arsitektur salib, yang dibangun dengan cara menggali dan menatah batu granit besar utuh, dengan hiasan fresco dan ikon yang indah di dalamnya.
Belum lagi kekhasan yang dimiliki oleh ikon-ikon Ethiopia, yang tidak ada di ikon Yunani ataupun Rusia. Mirip dengan Mesir, dengan pemilihan warna-warna terang dan menyolok dan mata lebar, satu kekhususan yang dimiliki ikon Ethiopia adalah setiap kali menggambarkan figur antagonis (orang jahat), pasti menyamping sehingga hanya kelihatan satu mata saja.
****
Ya, aku mau ke Ethiopia! Tepat dengan minatku. Tetapi, Ethiopia tentu panas dan menyengat! Itulah yang sempat terlintas. Tetapi dugaanku itu salah. Ketika mendarat di Bole International Airport, Addis Ababa, pada Minggu 16 Agustus 2009 pukul 19.00 setelah perjalanan jauh dari markas MCC di Akron, Pennsylvania, Amerika Serikat, untuk acara orientasi dan konferensi para peserta pertukaran pemuda dari seluruh dunia, dan menunggu selama 5 jam di Dulles International Airport di Washington D. C., aku berkata kepada Mekonnen, anggota staf MCC Ethiopia yang menjemput aku, “Wah, kota ini cuacanya cool, aku suka sekali!”
Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal sementara, kulihat kanan dan kiri. Kota Addis Ababa yang sedang membangun! Hari sudah malam, dan kesan pertamaku atas kota ini: lumayan menarik, kotanya seperti Jakarta, atau paling tidak Semarang. Aku akan belajar menyukai kota ini, karena aku memang akan tinggal di sini selama hampir satu tahun. Memang, jauh lebih ramai daripada Akron yang sepi sunyi dan lengang. Di Akron kulihat banyak mobil, tetapi tidak ada orang yang keluar. Jalan-jalan sepi. Rumah-rumah berjajar rapi. Taraf kehidupan penduduk hampir berimbang. Di Addis Ababa, banyak orang berjalan kaki, banyak pula orang-orang yang mengemudikan kendaraan. Rumah-rumah beraneka ukuran.
Aku melihat banyak orang yang berkulit lebih gelap dari aku yang sudah terbilang gelap di negeriku sendiri. Namun, tidak segelap orang-orang Afrika dari negara lain seperti Sudan, Somalia atau Congo. Paras wajahnya pun berbeda. Bisa dibedakan, antara orang Ethiopia dengan orang-orang di wilayah lain di Benua Hitam ini.
Begitu sampai di tempat tinggal kami, yaitu compound MCC di daerah Zanaburg, Addis Ababa, aku merasa udara dingin yang sangat menusuk. Dingin sekali! Aku lihat di termometer cuaca kala itu 45o C. F, sekitar 10-12 Aku diberi tempat di sebuah kontainer trailer yang disulap menjadi ruang kamar yang mungil tetapi nyaman sekali. Aku senang tinggal di dalamnya. Di atas tempat tidurku telah disiapkan 4 lapis selimut siap pakai. Ah, hanya saja, dinginnya malam itu bukan kepalang. Aku sudah memakai jaket, tetapi masih saja merasa kedinginan. Esok paginya, pembantu rumah tangga yang bernama Yeshi memberiku tambahan selimut yaitu “kantong tidur” yang biasanya dipakai untuk berkemah. Nah, inilah yang membuatku lebih hangat dan nyaman di malam hari berikutnya.
Kegiatan hari keduaku di Addis Ababa adalah, belajar bahasa Amharic di Sekolah Bahasa milik Gereja Mekane Yesus (Lutheran). Nantikan kisahku . . . . 
(bersambung)

No comments:

Post a Comment