Thursday, September 24, 2009

JEJAK KECIL DI KOTA BUNGA BARU (2): KISAH SECANGKIR KOPI


Aku sebenarnya ingin berbagi kisah mengenai kelas Amharic-ku. Tapi aku mengubah rencanaku. Syukur kepada Allah, tempat yang Ia berikan bagiku untuk mengecap pengalaman pertama lintas budaya adalah Ethiopia. Sebuah negeri yang kaya akan sejarah politik, religius dan aneka ragam etnik dan budaya. Tetapi ada hal lain yang menggugah semangatku berada di negeri ini. Kopi! Ya, negeri ini merupakan penghasil kopi arabica terbaik di seluruh dunia.
Begitu aku tahu bahwa asal-muasal minuman kopi adalah Ethiopia, aku teramat bersemangat untuk cepat-cepat pergi ke negeri ini. Aku ingin membuktikan, karena ada sedikit keraguan dalam hatiku. Negeri asalku, Indonesia, sebenarnya juga penghasil kopi enak. Dan bagiku, kopi Indonesia termasuk salah satu yang paling nikmat di dunia. Indonesia adalah penghasil kopi robusta terbaik. Tidak percaya? Silakan coba!
Namun demikian, Ethiopia dipercaya merupakan negara penghasil kopi arabica terbaik. Selama mengikuti orientasi IVEP/SALT/YAMEN! di Akron, aku ditempatkan dengan seorang IVEP-er dari Ethiopia bernama Tedi. Ia banyak bercerita mengenai iklim, kultur dan Kekristenan di negerinya. Satu hal yang ia banggakan adalah kopi. Sempat aku perhatikan, ia meminum kopi dengan garam, paling tidak satu sendok teh. Itu kira-kira sama dengan setengah takar gula yang biasanya kucelupkan dalam cangkir kopiku. Gila! Gimana tuh rasanya? Dia bilang, “Banyak orang minum kopi dengan gula, tapi aku lebih suka minum kopi dengan garam!” Bisakah kaubayangkan rasa dan aroma kopi dengan garam sebanyak itu?
Memang benar, di Indonesia, ada kebiasaan beberapa orang mencelupkan sejumput garam ke dalam kopi. Tetapi, sedikit sekali! Entah merupakan kebenaran atau efek psikologis, katanya garam itu membuat kopi lebih terasa keras dan kuat sehingga membuat si peminum terjauh dari rasa kantuk. Atau, entah bilamana garam itu larut ke air kopi, ikatan partikel garam dan kopi akan menghasilkan senyawa yang “merusak” partikel kopi; dan senyawa itu memiliki efek kimiawi sehingga membuat orang terjaga. Tampaknya belum ada laporan ilmiah dari laboratorium tentang hal ini. Tetapi logika sederhana saja bagiku. Mengapa orang yang minum kopi dengan garam menjadi betah begadang? Mungkin karena rasa yang aneh dan mengagetkan. Sehingga, syaraf yang membuat orang tahan begadang menjadi lebih kuat bekerjanya. Tapi, entahlah . . . .
Memang, selama di Akron, aku tidak menjumpai kopi seenak kopi Indonesia. Di pondok tempat aku menginap, aku jumpai kopi dari Colombo, Amerika Latin. Aduh, enteng sekali. Di setiap kali jam makan juga disediakan kopi, rasanya hambar. Aku berkata kepada Tedi suatu hari, “Hei, tahu nggak, kalau Indonesia punya kopi yang paling enak di dunia?” Dia sontak berkata, “No way! Aku nggak percaya sama sekali. Kalau nanti kaurasakan kopi Ethiopia, baru kautahu mana kopi yang paling enak! O ya, aku juga bawa kopi dari Ethiopia!” Ia keluarkan sebungkus kopi seukuran kira-kira 0,5 kg. Sayangnya, aku tidak sempat mencicipi kopi itu karena masih terbungkus rapi dan Tedi hendak menikmatinya di tempat kerjanya di Fresno, California.
Yah, tak apalah! Sebentar lagi juga toh aku akan mencicipi kopi Ethiopia. Bahkan bisa jadi, aku dapat menikmatinya setiap hari!
Kopi pertamaku aku dapatkan di pesawat terbang Ethiopian Airlines nomor penerbangan ET501, yang terbang dari bandara Dulles Washington D. C. menuju Addis Ababa pada Minggu, 16 Agustus 2009. Aku sempat bertanya kepada kawan yang duduk di sebelahku, di kelas ekonomi, ketika pramugari menawarkanku minuman dan aku meminta kopi, apakah ini kopi Ethiopia? Kawan sebelahku itu, yang adalah orang Kristen Injili dari aliran Lutheran (mungkin ia pergi ke gereja yang memiliki sekolah bahasa Amharic-ku di Mekanissa Yesus Evangelical Church) yang sedang berlibur dari studi di di Alabama, Amerika Serikat, berkata, “Ya, ini kopi Ethiopia. Bagaimana menurut Anda, Pak Pendeta?” Ia mengenal aku sebagai pendeta karena sewaktu aku memperkenalkan diri, aku katakan bahwa diriku seorang youth pastor. Dan barulah aku tahu, orang Kristen Injili Ethiopia sangat menghormati pendeta. Mungkin hal ini diturunkan dari rasa hormat kepada imam Gereja Orthodoks (kapan-kapan aku akan bercerita lebih lanjut mengenai hal ini).
Bagaimanakah kesan pertamaku dengan kopi Ethiopia? Awesome! Aku minta kopi hitam dan gula. Hmm, benar-benar nikmat!
****
Tahukah kau akan kisah bagaimana minuman kopi itu ditemukan? Patut kita bersyukur kepada Allah bahwa penemuan kopi itu ternyata ada kait-mengaitnya dengan tradisi dalam Kekristenan yang tergolong paling tua, yaitu Kekristenan Orthodoks Ethiopia.
Alkisah di masa silam, di tanah Abbysinia (sekarang Ethiopia) tersebutlah seorang anak bernama Kaldi. Kaldi hidup di mana orang-orang Ethiopia masih banyak yang buta huruf. Pekerjaannya juga tidak terpandang. Ia hanyalah penggembala kambing domba! Suatu kali, si Kaldi kecil menggembalakan kambing dan dombanya di padang belantara. Ia duduk di bawah sebuah pohon rindang, mengeluarkan seruling dan mulailah ia memainkan serulingnya. Musik merdu khas penggembala mengumandang, sementara ternak-ternaknya asyik mencari makanan. Ada yang merumput. Ada yang mendekati semak belukar dan memakan apa yang ada di dahan.
Tiba-tiba, Kaldi terperanjat dari tempat duduknya. Ia menghentikan permainan serulingnya. Ia mengamati kambing dan dombanya! Ia melihat ada yang lain dengan sejumlah ternak gembalaannya. Ia usap-usap matanya, dengan sejuta pertanyaan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Ia keheranan.
Dilihatnya sebagian kambing dan domba yang makan di antara semak belukar menari-nari dengan girang-lincah! Rasa ingin tahunya kian menjadi-jadi. Didekatinya gerumbulan belukar itu, dan ditemukanlah buah-buah kecil, merah ranum. Ia raih satu buah dan menggigitnya. Rasanya tidak enak. Tetapi toh ia menelannya. Dan tiba-tiba, ia merasakan perubahan dalam dirinya. Ia menjadi bersemangat. Rasanya ada sesuatu yang mendorong dia untuk bergirang gembira. Ya, sama seperti kambing dan dombanya yang memakan sesuatu dari semak belukar itu. Aha, pikirnya, buah inilah yang membuat kambing dan dombanya beria-ria! Pelajaran moral pertama: kalau mau menjadi orang yang penuh kegembiraan, jadilah penggemar kopi!
Ia tak sabar menceritakan apa yang ditemukan ini kepada orang lain! Ia memetik sejumlah buah “ceri” merah itu, dan berlari-lari menjumpai para rahib (pertapa) Orthodoks Ethiopia yang sedang berkumpul dalam sebuah ibadah doa. Kaldi pun menyerahkan kopi dalam genggaman tangannya itu kepada para rahib Orthodoks tersebut. Pelajaran moral kedua: kalau sudah kenal nikmatnya kopi, jangan lupa dengan pendeta. Berbagilah kebahagiaan menikmati kopi dengan pendetamu. Atau, undanglah pendeta untuk minum kopi bersamamu.
Para rahib pun menerima buah ceri merah dari Kaldi. Mereka menggigitnya. Tidak enak! Tetapi mereka juga merasakan efek lain dari buah itu, yang membuat mereka tetap bergairah. Akhirnya para rahib itu menemukan ide. Mereka menggerus dan melumatkan buah ceri itu, menuangkan air dan meminumnya. Makin lama, para rahib itu pun tahu bagaimana meracik dan menyajikan minuman dari buah ceri itu. Terciptalah minuman berwarna hitam yang paling banyak digemari di seluruh dunia. Pelajaran moral ketiga: jadi pendeta memang dituntut untuk selalu kreatif dan memutar otaknya; kalau tidak, jemaatnya bakalan lari karena teramat banyak pilihan yang menggugah selera di sekitar mereka.
Singkat cerita, minuman nikmat itu disebut buna dalam bahasa Amharic (atau dalam bahasa Indonesia “kopi”). Di Ethiopia, kopi menjadi minuman sakral! Karena kopi dihidangkan dalam acara doa di antara para rahib Orthodoks Ethiopia. Mereka membakar kemenyan (incense) dan menaikkan doa-doa dan membaca mazmur. Bagi para rahib, mereka minum kopi supaya mereka tetap terjaga untuk berdoa semalam suntuk. Pelajaran moral keempat: jadi pendeta jangan suka tidur; pendeta suka minum kopi agar betah melek dan berdoa semalam suntuk; juga ingat, minum kopi itu sakral bagi pendeta!
****
Demikianlah kisah ditemukannya minuman kopi. Di Ethiopia, khususnya Addis Ababa, di banyak tempat ada kedai kopi yang sangat beken bernama Kaldi’s Coffee, mungkin dimaksudkan untuk mengenang si gembala yang secara tak sengaja menjadi pionir penemuan minuman kopi. Jika kau kelak sempat jalan-jalan ke Addis Ababa, dapat kau lihat brand Kaldi’s Coffee sekilas mirip dengan Starbucks Coffee, dengan lingkaran hijaunya yang khas. Tetapi jika diamati ternyata beda juga, karena di tengahnya ada gambar cangkir kopi dan biji-biji kopi berserakan.
Sampai saat ini, di Ethiopia ada waktu-waktu khusus bagi pemeluk Orthodoks Ethiopia untuk mengadakan upacara minum kopi. Mereka mengambil (atau membeli) beberapa ikat rumput tertentu yang masih segar, lalu digelar di dalam rumah dan orang-orang yang diundang (biasanya sahabat-sahabat baik) duduk di atas rumput hijau itu. Aroma khas rumput segar memenuhi ruangan. Lalu tuan rumah akan membakar kemenyan, mengajak menaikkan puji-pujian dalam bahasa Amharic atau Ge’ez (bahasa Ethiopic kuno), serta doa-doa. Sembari itu, nyonya rumah menuangkan kopi ke dalam cangkir kecil-kecil (ingat cangkir upacara minum teh di Jepang!), dan menyajikannya kepada para hadirin. Ada kalanya, imam Orthodoks pun diminta hadir untuk memimpin upacara minum kopi itu.
Menarik bukan kisah tentang kopi? Apa yang aku renungkan dari hal sederhana, minum kopi! Sering kali hal yang sederhana dalam hidup ini tidak kita lihat dalam kerangka religius. Sebab, hal itu sudah terlampau biasa. Cobalah kita pikirkan mengenai udara, air, hujan, panas matahari. Adakah di antara kita yang masih sempat mengucap syukur karena Tuhan memberikannya kepada kita detik ini? Demikian pun minum kopi. Hidup dalam dunia modern membuat kita berpikir terkotak-kota: yang ini wilayah sekular, yang ini religius.
Hendaknya tidak lagi demikian. Aku ingin belajar untuk mengucap syukur dalam segala hal. Mengucap syukur berarti menjadikan hal-hal yang biasa kita terima merupakan bagian dari berkat Allah. Dengan kata lain, menjadikan sesuatu yang sederhana sakral. Ketika seseorang dapat mengucap syukur untuk hal-hal yang sederhana, ia sesungguhnya merasakan “kecukupan hidup” (satisfaction atau contentment), kecukupan yang diterima karena berkat Tuhan melimpah dalam hidupnya pada hari ini.
Aku teringat kepada salah satu dosenku di seminari yang berkata, “Kalau nanti di surga, salah satu orang yang ingin saya temui pertama-tama adalah penemu kopi!” Nah, pribadi itu ternyata seorang anak penggembala Abbysa, dari tanah Ethiopia!
Akhir kata, berbahagialah orang Kristen yang suka kopi. Berbahagialah pendeta yang minumannya kopi. Karena dengan minum kopi berarti ia betah begadang untuk berdoa dan mempelajari firman Tuhan. Namun terlebih berbahagia para pendeta yang gemar berbagi kopi dengan atau mengundang rekan-rekan sejawatnya merasakan nikmatnya kopi. Karena mereka ini akan menemukan kolegialitas yang sejati. Setuju?

Igzhabehr Yimsken!
Addis Ababa, 4 September 2009

No comments:

Post a Comment