Friday, June 19, 2009

Pergumulan Gereja tentang Ajaran yang Sehat (1)



PERGUMULAN GEREJA TENTANG AJARAN YANG SEHAT





Perang Pasar di Gereja



Pergumulan gereja terberat tentang ajaran yang sehat sebenarnya bukan karena kemajemukan ajaran-ajaran. Memang, beragam pengajar dan pengkhotbah dengan gencar menawarkan produk terbaru mereka dengan memanfaatkan media-media terkini. Sementara itu, gereja-gereja tradisional masih menggantungkan penjangkauan massa dengan mimbar (khotbah) dan perkunjungan, dengan kegiatan dan pembinaan kategorial tetap berpusat di gedung gereja. Gereja tradisional, harus diakui, telah ketinggalan 5 sampai 10 langkah dalam marketing gereja.



Pergumulan yang lebih berat sesungguhnya dari dalam tubuh gereja sendiri. Gereja tidak berani bersikap! Mungkin lebih tepat, tidak boleh mengambil sikap. Para hamba Tuhan tidak berani lantang dalam mengambil posisi alih-alih mengurbankan “zona aman,” apalagi (maaf) bila tidak terus menggali potensi diri, sehingga akhirnya kehilangan daya kreativitas dan market share atau pangsa pasarnya.



Tentu saja, ini bukan selalu salah sang pelayan Allah, lebih-lebih bila tuntutan gereja begitu besarnya: satu hamba Tuhan harus dapat melakukan apa pun juga: khotbah, perkunjungan, pembinaan dan PA, kegiatan-kegiatan kategorial, bermain gitar, keyboard, dsb. Namun di pihak lain, ia dituntut untuk menjadi sama dengan para pengkhotbah yang tengah naik daun. Tetapi, bagaimana mungkin sang hamba Tuhan dapat mengembangkan dirinya dengan tuntutan yang sedemikian banyak, dan mungkin dengan dukungan daya dan dana pengembangan diri yang minimalis?



Larangan bagi hamba Tuhan untuk bersikap biasanya dilambari dengan ayat firman Tuhan, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi” (Mat. 7.1). Pendeknya, jangan sekali-kali berkata kepada orang lain, “Sesat!” Itulah kalimat yang paling tabu untuk diucapkan. Mengucapkan itu berarti menjatuhkan palu hakim. Reaksi orang yang mendengar dan yang tidak suka adalah, “Siapa kamu, kok berani-beraninya menghakimi!” Nampaknya, seseorang semakin dilarang untuk bersikap kritis. “Siapa sih yang sempurna?! Siapa sih kamu kok sombong merasa doktrinmu paling benar, dan doktrin yang diajarkan di gereja lain salah?” Di tengah peperangan pasar, ekspresi seperti ini menambah keruhnya pergumulan gereja tentang pengajaran sehat!



Mentalitas Farisi?



Memang benar, ada orang-orang yang sangat suka berdebat. Mereka hobi menghakimi. Mereka adalah kritikus andal yang terus mengasah mata panahnya, lalu membidikkannya kepada sasaran-sasaran yang kontra dengan mereka. Nah sayangnya, mereka ini biasanya orang-orang yang tidak hanya melontarkan kritikan kepada pihak lain dengan cara yang tidak benar, tetapi juga dengan dasar argumentasi yang tidak benar! Mereka melancarkan kritikan bukan oleh sebab mengerti pengajaran alkitabiah, tetapi cenderung berpijak kepada keyakinan-keyakinan pribadi yang selama ini mereka anut. Seperti Farisi pada zaman Yesus, yang menujukan mata mereka hanya kepada tata aturan hukum, dan mengabaikan keadilan dan welas asih.



Di sisi lain, ada orang-orang yang terlalu permisif. Toleransi mereka atas semua ajaran besar sekali. Semuanya dianggap benar. Semuanya dianggap baik. Kalau semua baik, maka semuanya benar. Yang penting, gereja AATM: adem ayem tentrem marem.



Kepada siapa Yesus melancarkan kalimat “Jangan menghakimi” itu? Kepada kedua pihak. Tetapi apakah kalimat tersebut berarti membuat kita tidak boleh menimbang-nimbang apa yang benar dan apa yang salah? Sama sekali tidak. Sebab, dalam konteks terdekatnya, Yesus berkata, “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” O, bagaimana mungkin kita dapat belajar mematuhi ayat ini bila tidak belajar mengenali siapa “anjing” dan “babi” (ay. 6) yang dimaksudkan Yesus?



Selanjutnya di ayat 15, “Waspadalah terhadap nabi-nabi palsu yang datang kepadamu dengan menyamar seperti domba, tetapi sesungguhnya mereka adalah serigala yang buas.” Wah, ucapan Tuhan ini keras sekali, bukan? Nabi-nabi palsu disebut sebagai serigala yang buas! Tetapi, bagaimana dapat mengenali nabi-nabi palsu? Tentulah dari apa yang membedakan mereka dari nabi-nabi yang benar, yaitu ajaran mereka.



Melangkah sedikit lagi, Yesus melanjutkan kalimat dengan lebih tegas lagi, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di surga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi nama-Mu, dan mengusir setan demi nama-Mu, dan mengadakan banyak mukjizat demi nama-Mu juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!” (ay. 21-23). Nah, gereja bisa salah dalam banyak hal, tetapi dalam hal yang satu ini, yaitu ajaran yang benar, gereja tidak boleh salah.



Hendaklah kita tidak menjadi seperti orang-orang Farisi, yang suka menghakimi tetapi buta terhadap kebenaran. Mereka memakai standar kesalehan pribadi. Tuhan Yesus melarang kita menjadi seperti mereka, tetapi tidak melarang kita untuk membuat penghakiman untuk hal-hal prinsip.



No comments:

Post a Comment