Saturday, July 25, 2015

Tantangan 1: Bahasa

Di bunga rampai Our Stories, the Unfinished Stories (2014) kuceritakan sekelumit pergumulan mengenai pembiayaan kuliah.  Untuk satu quarter (sistem perkuliahan 10 Minggu) di Quarter Spring, aku mendapatkan beasiswa.  Ternyata belum pula ada kejelasan untuk kuartal-kuartal selanjutnya.  Singkat cerita, kemudian aku mendapatkan berkat untuk satu tahun.  Satu tahun. Sampai di situ kisahku di buku itu.  Berarti, aku belum tahu untuk tahun yang kedua.  Lepas dari satu tekanan, beralih ke pergumulan selanjutnya.  Bagaimana jika tidak mendapatkan beasiswa untuk tahun yang kedua?  Berikut ini refleksiku.

Ada tiga hal yang tidak mudah bagiku untuk kujalani selama studi, tantangan yang selalu menggelayuti semasa studi: bahasa, sistem pendidikan, dan keuangan.  Di catatanku "Purna," telah kuceritakan sekelumit tentang bahasa dan keuangan; telah kukisahkan juga sedikit di Our Stories, the Unfinished Stories.  Baik pula aku ulangi sekarang.

Bagaimana dengan culture shock?  Bagiku, tidak terlalu bermasalah, sebab aku pernah mengecap tinggal di belahan bumi lain, yang kultur dan bahasanya sangat berbeda dengan Indonesia.  Tampaknya perlu bagi seseorang yang ingin belajar ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman hidup di suatu wilayah yang berkebudayaan dan bahasa yang berbeda--Ethiopia, dan sedikit di Zambia dan Amerika Serikat, sebab di situ kompetensi multikultural diasah.  Aku tidak berkata bahwa seseorang harus ke luar negeri sebelum belajar ke sana; sebab pasti, tidak semua orang memiliki kesempatan yang seperti ini, tetapi mencicipi hidup di budaya yang berbeda dan beradaptasi di lingkungan yang berbeda akan melenturkan perangai, tindak-tanduk dan cara berelasi.

Ada satu hal yang baik yang kujumpai di budaya Eropa dan Amerika yang individualis, yaitu bahwa orangtua memberikan kesempatan bagi anak untuk sedini mungkin belajar budaya lain.  Anak SMP atau SMA telah diperkenalkan pada program immersion dan tinggal di tempat dengan kebudayaan yang berbeda.  Orang Timur, dan termasuk Indonesia, yang berakar kuat pada keluarga, cenderung senang bila seorang anak terus bersama orang tua.  Jangankan ke luar neger, ke pulau lain, misalnya ke Kalimantan atau Papua, orangtua sudah merasa cemas teramat sangat.  Sekarang, semakin majunya zaman dan teknologi, menurutku, membuat masyarakat perlu memikirkan ulang arti kedekatan dan jalinan keluarga ketika anak-anak mereka beranjak dewasa.

Intinya, kompetensi multikultural itu penting dalam pendidikan lanjut.  Bila sejak dini seorang anak diperkenalkan pada budaya dan bahasa lain, anak akan mudah beradaptasi di mana pun dia berada.

Sekarang tentang bahasa.  Telah kuceritakan, dulu kuanggap bahasa Inggris itu gampang bagiku, karena aku telah cukup terbiasa berbicara dan membaca dalam bahasa Inggris.  Namun ternyata tidak demikian.  Sebulan pertama kuliah adalah masa yang paling berat: ternyata, aku tidak bisa berbahasa Inggris!  Masing-masing dosen punya logatnya sendiri-sendiri serta gaya mengajarnya (nanti kuceritakan).  Ketika paper pertama harus dikumpulkan, aku coba membuatnya.  Seminggu untuk menyelesaikan satu paper 5 halaman!  Ketika kuberikan kepada pengoreksi tata bahasa, betapa terkejutnya aku!  Penuh coretan dan koreksi!  Namun ia baik.  Ia mengajak aku duduk dan berbincang bersama, dan menanyakan maksudku dengan kalimat di sini dan di sana.  Dari situ dia memahami arah pikiranku dan kemudian membetulkan paperku.

Paper pertama hasilnya bagus.  Puas?  Ya puas, wong dapat A.  Tapi tunggu, tunggu.  Apakah ini benar-benar karena paperku bagus, ataukah karena aku mahasiswa internasional?  Alias, karena bahasa Inggris bukanlah bahasaku sendiri, sehingga dosen berbelas kasihan dengan aku, jadi dikasihlah nilai A.  Dengan kata lain, standarnya diturunkan berdasarkan statusku sebagai mahasiswa internasional!  Lah kalau begitu, nilai A di atas kertas itu, pikirku, tidak menunjukkan bahwa hasil pemikiranku pantas diberi nilai A, tetapi karena aku bukan mahasiswa yang berbahasa Inggris!

Termin perdana, Spring Quarter 2013, kujalani dengan banyak pergumulan, khususnya masalah bahasa.  Apakah hanya di kuartal pertama itu saja?  Ternyata tidak.  Sampai detik ini.  Bahasa Inggris masih pula bahasa yang sangat sukar bagiku, khususnya yang tertulis.  Aku sendiri bisa menemukan kesalahan gramatika sejumlah tulisan, seperti yang tercantum di Facebook atau email-email.  Tetapi aku punya "titik buta," aku tidak bisa melihat sendiri kesalahan gramatika dari tulisan yang kubuat.  Untuk itu, aku selalu membutuhkan pembaca lain yang dapat menolongku menunjukkan kesalahan-kesalahanku.

Paper yang sudah kuterima kembali selalu kubaca berulang-ulang.  Mungkin pertama-tama, aku jadi terkagum-kagum kok bahasa Inggrisku jadi bagus.  Tetapi, amazement is the beginning of knowledge, menurutku.  Sebab ketika kubaca lagi dan kubaca lagi, aku belajar gaya bahasa Inggris.  Ketika pengoreksi gramatikaku menantang aku, dia memberi pilihan, apakah aku mau belajar yang kebanyakan dipakai oleh orang lain, atau yang yang, menurutnya, klasik, aku memilih tawaran yang kedua.  Aku mau belajar dengan standar tinggi. 

Contohnya, pengoreksi gramatikaku sedikit "menekanku" untuk membedakan which denganthat; kendati orang sekarang menyulih-pakai keduanya dalam penulisan anak kalimat, pengoreksiku menekankan agar aku konsisten dalam pemakaiannya.  Lalu, dia pun memberi tahuku bahwa kata sambung tidak boleh dipakai di depan kalimat, seperti however atautherefore.  Wah, pertama-tama aku bereaksi juga, sebab banyak orang yang memakai gaya seperti itu.  Tapi ini sih gaya klasik, dan yang klasik itu asik.  Aku suka! 

Aku membaca berulang-ulang juga karena aku inging memahami pola berbahasa Inggris yang benar.  Demikian pun ketika membaca buku.  Salah satu kelamahanku adalah aku tidak bisa membaca cepat.  Benar, kecepatan membacaku lambat, dan ini harus kuakui.  Karena aku bukan sekadar mau tahu isi buku itu, tetapi aku mau tahu pola penulisan pengarang yang satu dengan yang lain.  Dengan cara inilah aku belajar bahasa Inggris tulis.

Apakah lalu tulisanku tanpa salah?  Sama sekali tidak.  Sekali lagi, kupikir aku sudah baik bertutur, tetapi ternyata masih ada kesalahan di sana-sini.  Kadang aku frustrasi: kenapa bahasa Inggris sulit sekali!  Memang sedikit menghibur diri, bahasa ini bukan bahasa yang melekat di lidahku.  Di sini harus kuakui keterbatasanku.  Selain itu, harus kukatakan, sebagai orang Indonesia, aku cenderung boros dengan kata-kata!  Sebenarnya ada cara yang singkat untuk menguraikan, tetapi aku rasanya memakai banyak sekali kata dalam satu kalimat. 

Dan (kutahu bahwa tata bahasa Indonesia pun tidak lumrah memakai kata sambung di depan, tapi sengaja kulanggar!), hal ini kuketahui ketika koreksian paper kembali ke tanganku.  Sedikit aku bergumam: Kapan aku bisa bahasa Inggris?!

Seattle, 16 Juni 2015

No comments:

Post a Comment