Saturday, July 25, 2015

10 Teolog Sistematika Modern yang (Mungkin) Tidak Pernah Disebut di Kelas Teologi Sistematika (bagian 1)

Menulis daftar seperti ini tentu bias.  Saya memilih nama-nama ini sesuai minat saya sendiri, dari kacamata yang saya anggap penting, dan yang memang saya ketahui.  Karena itu, saya tidak mungkin dapat mewakili pandangan umum.  Pilihan nama ini jatuh kepada teolog-teolog sistematika yang masih aktif menulis dan sedang dalam proyek menulis buku teologi sistematikanya.  Namun saya berharap untuk sedapat-dapatnya memberikan sebuah panorama teologi sistematika.  Daftar berikut tidak disusun berdasarkan kriteria ranking, tetapi acak.


1. Sarah Coakley

Sarah Coakley adalah pendeta Gereja Inggris, dan sekarang mengajar di Universitas Cambridge, seorang teolog sistematika terkemuka yang pernah juga mengajar di Harvard Divinity School.  Ia juga membidangi filsafat baik kontinental maupun analitik, gender dan feminisme serta teologi historis.  Pada tahun 2012 ia menyampaikan kuliah prestisius Gifford di Universitas Aberdeen dengan judul Sacrificed Regained: Evolution, Cooperation, and God.  Saat ini Coakley sedang mengerjakan volume kedua dari serial teologi sistematikaGod, Sexuality, and Self (vol. 1, 2013).  Mengapa serial sistematika Coakley penting untuk disimak?  Karena Coakley tidak hanya membahas konsep teologi yang digali dari Alkitab dan tradisi Kristen, tetapi menggali teologi sistematika dari doa silence dan dimensi liturgis.  Para penikmat kajian spiritualitas pasti menikmati buku Coakley, dengan sedikit catatan, harus terbiasa membaca gaya Anglo-Saxon yang uraiannya mendalam.

Sedikit catatan pinggir, sewaktu saya menyajikan makalah di AAR San Diego akhir November 2014 lalu, Coakley tiba-tiba masuk ke ruang presentasi kami dan duduk di deretan tengah.  Ia duduk di situ karena panelis berikutnya adalah murid PhD-nya di Cambridge yang menyajikan topik tentang mistikus John of the Cross.  Ia duduk tenang dan agak banyak menunduk.  Ketika ia berbicara dan bertanya kepada panelis, ia tidak menunjukkan dirinya lebih tahu, bahkan lebih banyak memberikan dukungan kepada para panelis yang jauh lebih junior darinya.  Ketika ia berbicara, aura spiritualitasnya sangat terasa.

2. Elizabeth A. Johnson, CSJ

Elizabeth Johnson adalah seorang suster dari ordo St. Joseph dan kini mengajar teologi sistematika di Universitas Fordham.  Ia adalah salah satu teolog terkemuka Amerika Serikat untuk saat ini.  Johnson mewakili pemikiran feminis, namun bukan feminis yang radikal.  Ia mengembangkan feminisme dalam tradisi Katolik.  Dalam buku yang mengorbitkan namanyaShe Who Is (2002), Johnson berargumentasi bahwa bahasa manusia tidak akan pernah cukup untuk menerangkan Misteri Allah; Allah melampaui bahasa-bahasa gender.  BukunyaQuest for the Living God: Mapping Frontiers in the Theology of God (2007) pernah dipermasalahkan oleh Uskup Gereja Katolik Amerika Serikat, walau Johnson berani mempertahankan posisi teologisnya bahwa ia tetap taat kepada tradisi Katolik Roma bahwa Allah adalah Trinitas Cinta.  Johnson juga menerbitkan buku Ask the Beast: Darwin and the God of Love (2014) yang mengeksplorasi nisbah ilmu pengetahuan khususnya evolusi, dan doktrin tentang Allah.  Di buku ini, Johnson mengembangkan teologi penderitaan yang tidak sama dengan teodise (theodicy); ia tunjukkan bahwa inkarnasi dan sengsara Kristus dapat dikaitkan dengan makhluk-makhluk yang musnah dalam kurun proses evolusi.  Baru-baru ini, kumpulan tulisannya terbit dengan judul Abounding in Kindness: Writing for the People of God (2015).

Johnson bukan saja teolog terkemuka, tapi juga solider terhadap teman yang diperlakukan tidak adil.  Dia berani membela rekan-rekannya, salah satunya adalah pater Jesuit Roger Haight (lihat di bawah).  Spiritualitas Johnson juga tampak kuat dalam tulisan-tulisannya.  Sejak berkenalan dengan tulisannya, saya menduga orang ini kuat doa.  Dugaan ini dibenarkan oleh mahasiswi PhD-nya yang saya jumpai di Boston beberapa waktu lalu.  Benar, Johnson adalah seorang ahli doa!  Ketika dia mengajar sesi Kristologi, mahasiswi ini mengaku ia sampai meneteskan air mata.  Saya berkomentar pendek ke dia, "Ah, saya iri denganmu!"

3. David Tracy

David Tracy adalah pater Katolik yang lama mengajar di University of Chicago Divinity School.  Bidang kepakarannya adalah pluralisme dan hermeneutika.  Dia banyak dipengaruhi oleh teolog Jesuit Bernard Lonergan, dan pernah belajar kepada Lonergan di Universitas Gregoriana, Roma.  Dipengaruhi oleh filsafat Aristotelian dan pragmatisme, Tracy berusaha menyajikan pemikiran-pemikiran secara jelas dan banyak contoh.  Namun, karena luasnya pengetahuan Tracy, maka contoh-contoh yang disajikannya kadang mengaburkan poinnya.  Lonergan sendiri pernah berkata kepada murid-muridnya bila mereka merasa kesulitan memahami pemikirannya (yang memang susah sekali dibaca!), maka disarankan untuk membaca buku Tracy, The Achievement of Bernard Lonergan (1970).  Sekarang Tracy sedang menyelesaikan proyek tulisannya tentang Allah, buku yang tampaknya  dikembangkan dari Gifford Lectures 1999-2000 berjudul This Side of God.  Menurut dosen saya, proyek Tracy tentang Allah berjudul God the Infinite.   Dosen saya, murid Tracy di Chicago sendiri, agak ragu bahwa Tracy akan dapat menyelesaikan bukunya dikarenakan ibundanya, yang lama sekali tinggal bersama dia, baru-baru ini meninggal.  Jika buku Tracy akhirnya keluar, saya duga akan dapat disandingkan dengan buku doktrin Allah karya Lonergan.

Catatan pinggir: Tracy dikenal oleh murid-muridnya sebagai seorang yang sangat brilian.  Ia bisa membaca tiga buku dalam semalam dan esok paginya mampu mendiskusikan isi buku-buku itu dengan detail.  Tracy tidak pernah mau mengendarai mobil sendiri, ia memilih memakai kendaraan umum.  Hal ini dapat dipahami, karena ia adalah pemikir keras.  Ke mana pun ia pergi tidak pernah tidak berpikir teologi dan filsafat.  Karena itu, tidak mengendarai mobil sendiri bukan saja membuat dia punya banyak waktu untuk berpikir, tetapi juga menghindarkan dia dari bahaya kecelakaan.

4. David Bentley Hart

David Hart adalah salah satu teolog sistematik Ortodoks Timur yang terkemuka di Amerika Serikat, dan kini mengajar di St. Louis University, Missouri.  Hingga saat ini, karyanya yang masif adalah The Beauty of the Infinite: The Aesthetics of Christian Truth (2003), yang dikembangkan dari disertasi doktoral di Universitas Virginia.  Dua buku terbarunya Atheist Delusions: The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies (2013) dan The Experience of God: Being, Consciousness, and Bliss (2013).  Kedua buku ini sangat tepat waktunya berkenaan dengan isu neo-ateisme yang dikembangkan oleh Richard Dawkins dan rekan-rekan, tepat waktu karena merupaan selisik Ortodoks Timur terhadap isu kontemporer.  Isu apologetika seperti ini biasanya diminati oleh kaum Injili, misalnya William Lane Craig.  Namun di dalam bukunya, Hart menolak argumentasi apologetika Craig yang memahami Alkitab secara literalis, pembacaan untuk membenarkan (justifikasi) pengetahuan modern, bahwa apa yang dilaporkan oleh Alkitab itu terjadi di dalam kurun waktu dan sejarah. 

Sebaliknya, dia berargumen, apa yang di sebut ad literam dalam eksegesis gereja kuno dan gereja medieval berarti membaca Alkitab dan menarik makna teologisnya.  Sehingga apa yang disebut sebagai "pembacaan literal" dalam zaman Patristika, misalnya Agustinus menulis De Genesea Literam sama sekali bukan berarti bahwa Agustinus memahami secara literal kejadian dunia seperti itu.  Ketika Origen membaca Alkitab secara spiritual (alegoris), ia tidak bermaksud bahwa kejadiannya sungguh-sungguh demikian.  Roh Kudus, tegas Hart, dipahami bekerja bukan hanya di dalam teks yang diinspirasikan tetapi juga pembaca yang diinspirasikan.

5. James H. Cone

James Cone adalah bapak teolog pembebasan kaum kulit hitam di Amerika Serikat.  Ia masih aktif menulis dan berceramah, sekarang mengajar di Union Theological Seminary, New York.  Buku pertamanya Black Theology and Black Power (1969) mendahului terbitnya buku Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation: History, Politics, and Salvation (1971, Ing. 1973).  Di bawah bimbingan teolog Barthian William Hordern, Cone menyelesaikan studi doktoralnya di Northwestern University/Garret-Evangelical Theological Seminary di Evanston, IL dan menulis disertasi tentang Karl Barth, walaupun ia tidak pernah mengajar teologi Barth selama karirnya.  Dalam buku God of the Oppressed (1975), Cone mengritik metodologi Barth dan teologi kaum kulit putih dan menyajikan imaji Allah yang dekat dengan kaum tertindas, yang dalam hal ini adalah pengalaman perbudakan kulit hitam di negeri Amerika Serikat.  Bagi Cone, teologi dibaca dan didulang dari pengalaman konkret penderitaan kaum kulit hitam yang tertindas.  Cone tidak (belum?) membuat sebuah karya sistematika yang masif seperti Barth, atau karya integratif seperti Paul Tillich.  Mungkin Cone tidak berminat membuat karya yang seperti ini.  Namun, Cone akan tetap merupakan penulis yang prolifik karena dia mendisiplin diri menulis minimal 8 halaman perhari.


(bersambung, karena sudah 1100-an kata dan sudah pukul 00.15. LOL) 

Seattle, 9 Juli 2015

No comments:

Post a Comment