Saturday, July 25, 2015

Allah Mengasihi Pendosa, tetapi Membenci Dosanya?

Dalam menyikapi isu LGBTQ (lagi!), banyak orang Kristen yang kemudian mengambil posisi begini: “Kami membuka tangan dan tidak membenci kaum homoseksual.  Kami membuka tangan untuk mereka ke dalam persekutuan kami, walau kami membenci perbuatan homoseksual mereka.  Sama seperti Allah yang mengasihi pendosa tetapi membenci tindakan dosanya, maka kami mengasihi kaum homoseksual tetapi membenci tindakan dosanya.”  Kira-kira seperti itu.

Sebuah tuturan yang saleh, suatu kesalehan yang dilambari dengan itikad baik dan tujuan yang mulia untuk mengasihi sesama dan merangkul mereka, dengan maksud untuk memperbaiki mereka guna hidup dalam tujuan dan kekudusan yang Allah kehendaki.  Mari kita perhatikan lebih dekat, kalau pernyataan itu disusun ulang, bisa didapat proposisi seperti ini:

Karena Allah mengasihi orang berdosa, tetapi membenci dosanya; dan
Karena Allah mengasihi kaum gay, tetapi membenci perilaku homoseksualnya.
Maka kami pun mengasihi kaum LGBTQ, tetapi membenci perilaku dan orientasi seksualnya yang menyimpang.

Tapi . . . sungguhkah?  Benarkah?  Dan, mungkinkah?  Apakah pernyataan ini sesuai dengan ajaran Injili?  Apakah firman Allah mengajarkan doktrin seperti ini?  Saya akan tunjukkan bahwa pernyataan Allah itu mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosanya tidak menunjukkan kebenaran Injil dan ketulusan kesalehan.  Paling tidak ada tiga poin alasan:

1. Jika kita percaya pernyataan di atas, mari kita jujur: Ketika kita melihat seorang gay atau lesbian masuk ke dalam gereja kita, perasaan apa yang akan segera keluar terlebih dulu?  Benci ataukah kasih?  Welas asih atau jijik?  Dapatkah kita benar-benar mengasihinya sebagai pribadi yang utuh sementara di mata kita dia bertindak dosa?  Bagaimana kita mendefinisikan orang itu?

Di dinding seorang teman, dia seorang pengajar di sebuah institusi teologi, ada komentar begini dari salah satu muridnya:

“Di usia ke-44, saya telah menjalani hidup saya dengan mendengarkan kaum Injili begitu cepat mengutuk saya ke dalam neraka yang menyala karena orientasi seksual saya.  Butuh waktu yang lama bagi saya untuk melupakan hal itu.  Mereka ini orang yang sama yang mengatakan bahwa mereka mengasihi orang-orang berdosa, tetapi membenci dosa; yang serta-merta mendefinisikan saya (dan keselamatan kekal saya) berdasarkan dosa yang mereka benci.  Butuh waktu cukup lama untuk memercayai orang-orang yang mengharap-harapkan kematian saya ini, entahkan secara pasif maupun aktif.”

2. Apakah Allah menghukum perbuatan dosanya saja dan bukan orang-nya?  Jika Allah membenci perbuatan dosa tetapi mengasihi pendosa, tentulah yang dijatuhi hukuman adalah tindakannya dan bukan orangnya.  Jika orang Kristen percaya akan adanya penghakiman, Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Allah akan menghukum perbuatan saja; Allah menghukum orang!  Alkitab dengan jelas katakan, “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.”  Allah mengasihi kaum keturunan Yakub (Israel) tetapi tidak mengasihi kaum keturunan Esau (Edom).  Alkitab tidak mengatakan bahwa Allah membenci tindakan Edom; Allah membenci Edom.

Masalahnya, jika benar orang Kristen percaya penghakiman, bukankah Alkitab pun berkata bahwa “Sekarang berlangsung penghakiman atas dunia ini” (Yoh. 12:31).  Maka, dapatkah dipertahankan pernyataan Allah mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosa-dosanya?  Berdasarkan Alkitab, penghakiman itu sudah terjadi pada masa kini!

Kalau begitu, dapatkah dibenarkan pernyataan, “Aku mengasihi kamu, tetapi membenci perilaku seksualmu”?  Aku mengasihimu tapi menghukum perilakumu?  Atau sebenarnya aku, atas nama kebenaran Allah dan demi Alkitab, "menyatakan" kamu berdosa karena kamu seorang homoseks?  Jika kita percaya pernyataan ini, sungguhkah kita mengasihi orang itu dengan kasih agape, kasih yang tulus dan total, kasih yang mengosongkan diri seperti Kristus, kasih yang tidak menuntut balas, kasih yang menerima "walaupun" dan bukan "oleh sebab"?

3. Yang terakhir adalah hal yang sangat fundamental, yang menunjukkan absurditas pernyataan “Allah mengasihi orang berdosa tetapi membenci dosa-dosanya”: Dosa direduksi hanya sebagai tindakan, perbuatan, perilaku dan bukan masalah keberadaan manusia secara utuh.  Jelas sekali hal ini bertentangan dengan keyakinan Injili.  Sejak diperkenalkannya gerakan Injili, dosa adalah pokok yang sangat serius ditekankan, dan dosa bukan sekadar perbuatan!

Ingatlah bapak gereja Reformasi Martin Luther yang mengatakan bahwa dosa sebagai (homo) incurvatus in se—manusia “melengkung” ke dalam dirinya sendiri.  Orang Kristen sebagai simul iustus et peccator, seseorang yang dibenarkan tetapi juga seorang pendosa.  Bagi Luther, dosa bukan sekadar tindakan atau perbuatan.  Dosa jauh lebih serius.  Dosa sudah berakar di dalam diri manusia.  Menurut Alkitab, dosa itu “mematikan” manusia, dan manusia “hidup” di dalam kematiannya (Ef. 2:1); manusia, dalam bahasa teologi Kalvinis, sudah "rusak total" (totally depraved).

Jika dosa adalah tindakan atau perbuatan, maka doktrin mengenai Adam sebagai kepala umat manusia yang di dalamnya semua manusia telah jatuh ke dalam dosa turut hancur lebur juga!  Implikasinya, ajaran mengenai seorang bayi sudah dikandung dalam dosa dan dilahirkan bukan sebagai secarik kertas putih bersih harus ditinggalkan.  Dan jika demikian, orang Kristen yang percaya pernyataan di atas telah memeluk ajaran Pelagianisme par excellence!

Jadi, bukan hanya absurd tetapi amat sangat tidak injili sama sekali  pernyataan "Allah mengasihi pendosa tetapi membenci tindakan dosanya."  Saya hanya bisa berkata, "Apakah Anda serius dengan iman Injili Anda?"

***

Lalu bagaimana?  Ya mari kita tulus, jujur, dan berintegritas, baik dalam iman maupun praktik iman kita, beintegritaslah dalam kehidupan dan dalam teologi.  Hendaklah tuntutan integritas itu bukan untuk orang lain, tetapi terutama untuk diri kita sendiri.

Mungkin kita tidak membenci mereka, tapi mungkinkah kita, jauh dalam hati, tidak mengharapkan mereka hidup?  Mungkin rasa jijik tidak tereskpresikan keluar, tetapi di dalam hati, apakah kita lebih percaya bahwa dunia akan lebih baik jika tidak ada mereka ini di sekitar kita?  Mungkin kita tampak membuka tangan lebar-lebar bagi mereka, tetapi akhirnya ukuran kitalah yang kita kenakan pada mereka, sebuah standar yang kita pikir merupakan standar Allah.  

Setelah bangkit, Yesus bersama dengan Petrus dan murid-murid lain (minus Yudas Iskariot tentu saja).  Petrus dipenuhi rasa ingin tahu, “Melihat murid [yang dikasihi Yesus] itu, ia berkata kepada Yesus, 'Tuhan, apakah yang akan terjadi dengan dia ini?'  Jawab Yesus, 'Jika Aku menghendaki, supaya itu tinggal hidup sampai Aku datang, itu bukan urusanmu.  Tetapi engkau: ikutlah Aku'" (Yoh. 21:21-22).  Apa yang Yesus minta dari Petrus adalah agar dia dan murid yang dikasihi-Nya itu berjalan bersama mengikuti Yesus, sama-sama bertumbuh.  Semua para murid adalah sama-sama orang-orang yang pernah gagal.  Semua pengikut Yesus adalah para pendosa.

Saya ingin lebih berani menarik implikasi: Kalau orang Kristen merasa bahwa kaum gay dan lesbian yang dianggap berdosa perlu dibimbing ke arah Kristus, bukankah sebaliknya juga seharusnya terjadi: orang Kristen, dengan setumpuk dosa yang lain, dosa yang tetap tinggaldi dalam tubuhnya, bisa dan perlu dibimbing oleh kaum yang dianggap liyan (lain atau berbeda) tadi?  Mengapa hanya mereka yang butuh rengkuhan belas kasih kita kalau mereka dan kita sama-sama kaum berdosa?  Mengapa hanya mereka yang seharusnya datang ke kita dan bukan kita yang mendatangi mereka?  Bukankah rasul Paulus saja bersaksi, "di antara mereka [semua orang berdosa] akulah yang paling berdosa" (1Tim. 1:15)?

Ketimbang berkata, “Saya membuka tangan dan menerima engkau, asal engkau ikut standar saya,” bukankah kita perlu memohon anugerah Tuhan, “Ya Allah, tolonglah saya untuk mendekati kaum yang saya anggap berbeda.  Saya membutuhkan keberanian dan anugerah-Mu”?  Jika ini yang terjadi, maka gereja menjadi gereja yang meneladani Kristus, yang walaupun dalam “rupa Allah,” tidak menganggap posisi ini sebagai “milik yang harus  dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia”—manusia berdosa! (Flp. 2:6-7).

***

(Bila diperlukan, sila membagikan note ini dengan bebas)

Seattle, 10 Juli 2015

No comments:

Post a Comment