Saturday, July 25, 2015

GAMANG

Menyambung tulisan tadi malam.  Kusebut di sana "Syukur pada Allah" atas dana yang tersedia untuk kuliahku di institusi pendidikan swasta di negara Amerika Serikat.  Bisa ditebak, sangat mahal.  Jika lembaga pendidikan negara saja sangat mahal sekarang ini, apalagi lembaga pendidikan swasta.

Ya, puji Tuhan karena universitas tempat aku belajar sekarang ini menerima banyak pemberian dari orang-orang untuk menolong para mahasiswanya, sehingga tercatat sebagai salah satu insitusi yang paling murah hati di Pantai Barat negara ini.

Memang, aku bersyukur atas beasiswa yang tersedia. Namun, hatiku terusik untuk berkata, "Puji Tuhan!"  Nyaris, aku tidak bisa mengatakannya.  Seingatku, setelah aku sampai di negeri ini aku hampir-hampir tidak pernah mengatakannya.  Apakah berarti aku kurang Kristiani?  Apakah aku tidak melihat tangan Allah bekerja?  Apakah aku tidak melihat dana beasiswa ini sebagai pemberian cuma-cuma untuk mahasiswa internasional sepertiku? 

Aku hampir tidak pernah menyampaikan kepada teman-teman di sini bahwa aku mendapat beasiswa penuh, yang meliputi uang sekolah dan buku-buku.  Apakah aku layak?  Tunggu, aku tidak mau jadi sentimentil di sini.  Pertanyaan "Apakah aku layak?" sepertinya rohani sekali: justru karena aku tidak layak mendapatkannya, maka aku diberi anugerah Tuhan.  Bukan itu maksudku.

Tapi aku perlu sensitif.  Sensitivitas ini bertumbuh ketika aku banyak mengenal teman-teman dari lintas-bidang ilmu.  Kami kerap ngobrol dan nongkrong di lobi mahasiswa yang disebutcollegium yang disediakan bagi para mahasiswa yang tinggal di luar kampus.  Aku banyak mendengar cerita dari mereka tentang susahnya sekolah, terlebih untuk membiayai kuliah.

Mahasiswa Amerika harus berutang kepada negara demi membiayai kuliah mereka.  Aku mendapat beasiswa.  Sementara mereka lulus dengan utang puluhan ribu kepada negara, aku nyaris tidak mempunyai utang.  Inilah alasan pertama kenapa aku tidak bisa berkata, "Puji Tuhan!" untuk beasiswaku.  Aku memiliki privilege, sementara mereka harus berpikir lagi setelah kuliah untuk membayar utang negara dengan bunganya!  Apakah Tuhan yang kukenal akan suka menerima pujianku di atas teman-teman yang terliilt utang negara?

Bukan hanya itu.  Ketika aku semakin memahami seluk beluk pembiayaan kuliah, aku terima kabar bahwa upaya (banyak) universitas untuk menyediakan beasiswa bagi mahasiswa internasional adalah dengan mengambil sedikit dari mahasiswa dalam negeri.  Ini bisa berarti, sebagian beasiswaku diambilkan dari uang teman-temanku, mereka yang kelak harus berjuang membayar utang dan bunganya!  Jika ini benar terjadi, apakah aku bisa berkata "Puji Tuhan!  Tuhan itu baik bagiku."  Bagiku?  Bagaimana terhadap mereka yang berutang, apakah Tuhan baik juga?  Justu karena merekalah aku bisa sekolah di sini.  Inilah sebabnya, aku makin kelu mengatakan "Puji Tuhan!"

Seandainya pun beasiswaku bukan diambilkan dari utang teman-temanku, aku berpikir keistimewaan yang kuterima tetaplah tidak berimbang.

Menyadari ini, masa dua tahun aku tata baik-baik.  Sedapat-dapatnya aku tidak berutang budi dengan institusi yang memberiku beasiswa, dan dengan teman-teman.  Tahun pertama adalah tahun penjajakan atau orientasi, sementara tahun kedua kudedikasikan untuk merepresentasikan sekolahku.  Kegigihan untuk belajar dan bekerja secara ekstra dari yang dituntut, sementara aku pun harus aktif berpartisipasi dalam komunitas, School of Theology and Ministry maupun Seattle University.  Strategi dan perjuangan.  Seperti yang di tulisan pertama aku sampaikan, tekanan membuatku tidak mudah mengeluh, tetapi mengubahnya secara kreatif.

Semoga dalam refleksi selanjutnya, aku bisa menuangkannya.

Seattle, 13 Juni 2015

*Bersiap diri untuk Baccalaureate Mass di St. James Cathedral

No comments:

Post a Comment