Saturday, July 25, 2015

10 Teolog Lain yang (Mungkin) dapat Menolong Memperluas Cakrawala Teologi

Sama seperti daftar yang saya buat beberapa waktu lalu, saya ingin melanjutkan sepuluh pemikir lagi.  Teolog-teolog kali ini saya pilih dari antara mereka yang baru-baru ini meninggal atau sudah purna tugas sebagai guru besar, dan karena itu mereka tidak lagi menghasilkan karya-karya penting, namun pemikiran mereka memiliki pengaruh besar dalam dunia teologi.  Sama seperti yang lalu, daftar seperti ini tentu saja subjektif dan seturut minat pribadi.


1. Gordon D. Kaufman (1925-2011)

Gordon Kaufman adalah seorang teolog Mennonite yang lama mengajar di Harvard Divinity School sebagai guru besar teologi sistematika.  Karyanya sistematikanya yang terutama adalah In Face of Mystery: A Constructive Theology (2006), yang di dalamnya Kaufman berargumentasi bahwa Allah sejatinya adalah Dia yang tak terperi, tak terselami, dan tak terpahami.  Sekalipun tersedia referensi mengenai Allah, namun kesejatian Allah tetap tidak dapat dimengerti.  Pengaruh besar terhadap Kaufman adalah dari Immanuel Kant.  Ia banyak terlibat dalam dialog Kristen-Budhis, dan karya yang perlu disimak untuk dialog intereligius adalah God, Mystery, and Diversity: Christian Theology in a Pluralistic World (1996).  Di masa matang karirnya, ia banyak menulis nisbah teologi dan ilmu pengetahuan di dalam jurnal Zygon, yang kemudian dibukukan ke dalam dua volume berjudul In the Beginning--Creativity (2004) dan Jesus and Creativity (2006).

2. Raimon Panikkar (1918-2010)

Raimon (atau Raimundo) Panikkar adalah seorang pater Katolik yang memiliki tiga gelar doktorat di bidang kimia, filsafat dan teologi.  Ibunya seorang India dan ayahnya Spanyol.  Sama seperti Kaufman, Panikkar sering dianggap sebagai teolog pluralis, namun Panikkar serta-merta akan menolak pelabelan yang seperti ini.  Ditilik dari pendidikannya dapatlah dilihat bahwa pemikiran Panikkar sangat kompleks.  Walaupun ia mengaku bahwa ia meninggalkan Spanyol sebagai seorang Kristen, menemukan dirinya sebagai seorang Hindu dan pulang sebagai seorang Budhis tanpa kurang identitasnya sebagai seorang Kristen, Panikkar tidak bermaksud mencampuradukkan agama.  Ia menghidupi kekayaan spiritualitas di dalam dirinya, spiritualitas yang ia sebut sebagai realitas cosmotheandric: sang ilahi, manusia, dan kosmos--tiga yang merupakan dasar dari realitas.  Pada tahun 1989 ia diundang untuk memberikan kuliah prestisius Gifford Lectures di Universitas Aberdeen, namun baru menerbitkannya 20 tahun kemudian dalam bukunya yang dapat disebut karya sistematikanya dengan judul The Rhythm of Being (2009).  Menurut pengakuannya, ia membutuhkan waktu panjang untuk benar-benar menubuhkan (menghayati dalam tubuh dan hidupnya) setiap isi kuliah Gifford tersebut.  Karena itu, ada satu bagian yang ia tidak mau masukkan ke dalam buku itu adalah bagian eskatologi, karena ia belum mengalami kematian.  Sebuah tim kini dibentuk untuk menerbitkan Opera Omnia Panikkar, dan dua volume yang sampai saat ini sudah keluar: Mysticism and Spirituality, dua jilid (2014),Religion and Religions (2015).  Pengantar ke pemikiran Panikkar yang kompleks, yang ditulis oleh Panikkar sendiri, adalah The Experience of God: Icons of the Mystery (2006).

3. Beatrice Bruteau (1930-2014)

Beatrice Bruteau adalah salah satu pelopor studi interdisipliner dan interspiritualitas.  Bidang minatnya adalah teologi, sains dan spiritualitas intereligius.  Ia memiliki dua doktorat dalam matematika dan teologi filosofis.  Kajian interdisipliner antara teologi, sains dan matematika dapat dibaca dalam God's Ecstasy: The Creation of Self-Creating World (1997) yang kemudian dilanjutkan dengan The Grand Option: Personal Transformation and New Creation(2001).  Karya spiritualitasnya lebih banyak dibaca oleh pelbagai kalangan, khususnyaRadical Optimism: Practical Spirituality in an Uncertain World (2002).  Karya mengenai intereligius yang dapat disimak yaitu What Can We Learn from the East (1995), selain disertasinya sendiri Worthy Is the World: The Hindu Philosophy of Sri Aurobindo (1972) danEvolution toward Divinity: Teilhard de Chardin and the Hindu Tradition (1974).  Bruteau sangat mempengaruhi pemikiran tokoh spiritualitas dan pendeta Gereja Episkopal Cynthia Burgeault.

4. Ada Maria Isasi-Diaz (1942-2012)

Jika Anda pernah mendengar mujerista theology, Anda tidak mungkin melewatkan Isasi-Diaz.  Seorang perempuan teolog yang dilahirkan di Havana, Cuba, dan memperoleh gelar doktorat dalam teologi di Union Theological Seminary, New York, Isasi-Diaz merupakan pelopor dan penggerak teologi hispanika di Amerika Serikat dan salah satu penggerak bagi penahbisan imam di gereja Katolik.  Pemikiran utamanya tertuang dalam buku En la Lucha/In the Struggle: Elaborating a Mujerista Theology (2003), La Lucha Continues: Mujerista Theology (2004) dan Mujerista Theology: A Theology for the 21st Century (1996).  Namun bagi saya, karya penting Isasi-Diaz tertuang dalam ide untuk membahasakan ulang "Kerajaan Allah" (kingdom of God), sebagai "keluarga Allah" (kindom of God), yang di dalamnya tersirat kesetaraan antaranggotanya.

5. Ignacio Ellacuria, SJ (1930-1989)

Ellacuria adalah seorang pater Jesuit yang hingga akhir hayatnya merupakan rektor di Universida Centroamericana, El Salvador.  Ia meninggal bersama lima rekan Jesuit dan dua karyawan di UCA ketika sekelompok tentara El Salvador masuk ke lingkungan universitas tersebut pada tahun 1989.  Ellacuria adalah seorang filsuf, teolog dan aktivis yang brilian dan sangat vokal.  Dalam karirnya sebagai teolog, ia banyak menulis dan berbicara tentang teologi pembebasan dan bela-rasa Allah kepada kaum miskin.  Baginya, filsafat sejarah tidak dapat dipisahkan dari realitas kaum miskin yang terpinggirkan.  Yesus Kristus tak lain adalahel pueblo crucificado--"rakyat yang tersalib."  Bersama rekan baiknya Jon Sobrino SJ ia menyunting satu bunga rampai yang mengumpulkan para teolog pembebasan yang dalam bahasa Inggris berjudul Mysterium Liberationis (1993) yang kemudian dipersingkat menjadi sebuah volume pendek Systematic Theology: Perspectives from Liberation Theology (1996).  Beberapa tahun ini teolog Fordham Michael Lee mengompilasi esai-esai Ellacuria dalamIgnacio Ellacuria: Essays on History, Liberation, and Salvation (2013).

6. Marcus Borg (1942-2015)

Marcus Borg lebih dikenal sebagai teolog biblika Perjanjian Baru dan anggota dari Jesus Seminar yang selama sekitar satu dekade berusaha menggali perkataan-perkataan Yesus yang asli.  Namun demikian, Borg dikenal lebih lunak ketimbang rekan-rekannya yang lain di JS itu, khususnya berkenaan dengan historisitas kisah-kisah di Injil.  Namun Borg bukan hanya ahli dalam biblika, Borg berusaha menolong orang-orang yang sekuler dan non-Kristen yang semakin merasa kesulitan untuk mengaitkan kehidupan mereka dengan jargon-jargon teologis.  Jika pembaca memahami konteks karir Borg di daerah Pacific Northwest yang disebut juga the none-zone, di mana hanya 32% yang mengaku beragama, namun sangat terbuka pada hal-hal yang spiritual (spiritual but not religious).  Simaklah buku-buku Borg seperti The God We Never Knew: Beyond Dogmatic Religion to a More Authentic Contemporary Faith (1997), The Heart of Christianity (2003), Speaking Christian: Why Christian Words Have Lost Their Meaning (2011), dan Conviction: How I Learned What Matters Most (2014).

7. Letty M. Russell (1929-2007)

Letty Russell bukan hanya teolog feminis ternama yang mengajar di Yale yang berlatar belakang Reformed, tetapi juga tokoh ekumenis yang aktif di departemen Faith and Order, yang membidangi masalah doktrin dan iman di dalam Dewan Gereja-gereja Dunia.  Dan yang terutama, Russell adalah seorang sarjana berhati gembala.  Ia tidak hanya berteori mengenai teologi feminis dan gereja yang egaliter, tetapi ia memraktikkannya.  Hal ini jelas terlihat di buku Church in the Round: Feminist Interpretation on the Church (1993), yang lahir dari permenungannya yang lebih dari dua dekade bersama dengan komunitas yang dirintisnya di Harlem Timur, New York.  Dalam buku ini Russell meninjau ulang doktrin pemilihan dan predestinasi; doktrin ini harus diletakkan dalam konteks sejarah umat yang menderita.  Ketika doktrin ini dibangun di konteks Kristen yang dominan, doktrin ini akan menjadi supresif.  Satu karya penting lainnya yang baru hadir setelah meninggalnya Russell adalah Just Hospitality: God's Welcome in a World of Difference, ed. Kate M. Ott (2009), yang di dalamnya Russell, dengan dibantu lensa kajian pascakolonial, ingin mengetengahkan bahwa keramahtamahan yang sejati adalah keramahtamahan yang adil.

8. John Mbiti (1931-)

John Mbiti adalah seorang pendeta Gereja Anglikan dan teolog dan filsuf kelahiran Kenya, yang mendapatkan pendidikan teologi di Uganda, Amerika Serikat dan terakhir gelar doktornya dari Cambridge, Inggris.  Selain aktif mengajar di pelbagai perguruan tinggi di seluruh dunia, Mbiti pernah menjabat sebagai direktur Bossey Institute of Ecumenics, Jenewa.  Pemikiran utama Mbiti, sebagaimana yang dapat dibaca dalam African Religion and Philosophy (1969), melawan ide Kristianitas Barat yang menuduh corak religiositas Afrika sebagai agama yang berasal dari kekuatan jahat dan yang bertolak belakang dengan Kekristenan.  Setahun kemudian, Mbiti menerbitkan buku Concepts of God in Africa(1970) yang memetakan teologi-teologi orang Afrika dan menunjukkan bahwa konsep Afrika tentang Allah tidak bertentangan dengan Kristianitas.

9. Anthony Carver Yu (1938-2015)

Kalau Anda menyukai kisah Sun Go Kong, maka nama Anthony Yu tidak bisa dipandang remeh di kalangan Barat.  Dialah yang menerjemahkan secara lengkap kisah Perjalanan ke Barat, novel yang dikarang pada abad ke-16, dalam prosa Inggris yang apik dan indah tapi tidak meninggalkan aspek spiritualitas yang terkandung dalam cerita ini.  Bukan hanya itu, Yu dikenal juga sebagai pelopor studi literatur komparatif dalam bidang keagamaan dan mengajar di Universitas Chicago.  Selain karya ini, monografi yang ia hasilkan adalah State and Religion in China: Historical and Textual Perspectives (2005).  Pada tahun yang sama, ia dihadiahi oleh rekan-rekannya sebuah Festschrift dengan judul Literature, Religion, and East/West Comparison, ed. E. Ziolkowski (2005).

10. Mercy Amba Oduyoye (1933-)

Mercy Amba Oduyoye, dari Ghana, adalah perempuan teolog pertama ddan yang sampai saat ini masih ternama di kalangan perempuan teolog di Afrika.  Dari tahun 1987 s.d. 1994, ia menjabat sebagai Deputi Sekjen di Dewan Gereja-gereja Dunia.  Baginya, historiografi adalah teologi.  Sehingga, ia banyak menggali sejarah Afrika dan khususnya pengalaman hidup kaum perempuan, selain pula refleksi pengalaman hidupnya sendiri.  Pemikiran-pemikiran Oduyoye sendiri bisa diruntut, dan terlihat jelas bahwa ia mengalami pergeseran, pergeseran pendekatan dari yang semula kritikus tajam mengenai ketimpangan yang terjadi atas kaum perempuan Afrika menjadi Oduyoye yang menyembuhkan.  Misalnya, ia tidak lagi mengritik keras pemakaian bahasa seksis untuk Allah, tetapi lebih mencari alternatif dari dalam kebudayaan Afrika sendiri gambaran-gambaran Pencipta feminin untuk menolong kaum perempuan tertindas di Afrika menemukan sosok sang ilahi dalam kehidupan spiritual mereka.  Beberapa terbitan yang penting dari Oduyoye adalah Hearing and Knowing: Theological Reflections on Christianity in Africa (1986), Daughters of Anowa (1995),Introducing African Women's Theology (2001), dan Beads and Strands: Reflections of a Woman on Christianity in Africa (2004).

Seattle, 16 Juli 2015

No comments:

Post a Comment