Saturday, July 25, 2015

PURNA

Hari ini, purna tugasku sebagai mahasiswa pascasarjana di SUSTM, ditandai dengan satu paper yang cukup panjang (18 halaman) kukirimkan kepada dosenku.  Tak kuduga, dalam tempo kira-kira dua jam, ibu dosen mendatangiku di kotak kantorku di lantai satu, dengan membawa makalahku dalam bentuk cetakan, mengembalikan kepadaku kembali lengkap dengan coretan-coretan.  Paperku benar-benar dibaca dan dikomentari.  Ini membuat aku senang!

Berarti pula, telah kuselesaikan semua tuntutan mata kuliah untuk mendapatkan gelar MA.  Dari 72 SKS yang diprogramkan, aku diperbolehkan mengambil satu lagi, sehingga total semua 75 SKS.  Maka,  kuambillah kesempatan untuk independen studi dengan pembimbing akademikku yang sekaligus juga ahli spiritualitas.  Kesempatan untuk studi independen bersamanya tidak akan kusia-siakan, sebab pernah suatu ketika, waktu berkunjung ke sebuah kampus untuk menjajaki studi lanjut, sang profesor, yang adalah seorang jesuit di sekolah itu, berkata, "Kalau kamu bisa mendapatkan rekomendasi dari ibu itu, saya pasti akan mempertimbangkan lebih aplikasimu."  Ya, sang ibu sudah bersedia untuk memberikan rekomendasi jika aku membutuhkannya.

Jika memikir-mikir masalah dana, entah pula dari mana dana itu berasal.  Tak terbayangkan bagiku mempunyai uang sendiri untuk membayar perkuliahan dan buku-buku.  Semua ada dan tersedia.  Tetapi, bukan tanpa pergumulan dan perjuangan (sudah kutulis di buku Our Stories, the Unfinished Stories).  Untuk semua ini, hanya syukur kepada Allah.

Merefleksikan balik masa-masa perkuliahan dua setengah tahun di kampus, bentuk perkuliahan yang kugemari adalah kelas seminar, bukan "nonton dosen seminar" (seperti seminar-seminar di Indonesia) tetapi kelas kecil yang banyak diskusi.  Biasanya jumlah pesertanya sedikit.  Lalu kursi diatur melingkar dan dosen hanya menjadi fasilitator diskusi.  Mahasiswa datang sudah siap dengan bacaan dan dituntut untuk berpartisipasi aktif.  Kelas yang seperti ini tidak gampang.  Dosen nyaris tidak membuat power point, hanya duduk saja dan menjadi pemandu diskusi.

Buat mahasiswa yang tipenya diajar, kelas seminar akan sangat berat.  Dari pengalamanku, aku tidak mungkin berpura-pura pintar atau berlagak tahu.  Begitu sok tahu, pasti ketahuan.  Kelas ini berat juga karena mahasiswa harus menemukan gaya belajarnya sendiri, cara individu dalam memahami bacaan dan mempresentasikan di depan kelas.  Kelas yang seperti ini berat juga karena jika mahasiswa tipenya minta diajar, ia tidak akan membawa apa-apa di akhir kuartal.

Aku pernah shocked dan susah untuk mengikutinya.  Kendala terbesarnya ada di masalah bahasa.  Kupikir bahasa Inggrisku sudah bagus, tapi waktu aku bicara, kelihatan orang lain tidak mengerti!  Teman-teman kadang tampak berbaik hati dan senyum, tapi kelihatan sekali tatapan mereka bingung dengan apa yang kukatakan.  Bahasa Inggris tetap kendala buatku!

Aku juga senang studi independen.  Tiga studi independen kuambil.  Studi seperti ini seperti tutorial bersama dosen.  Desain, tujuan dan bacaan ditetapkan bersama dosen yang bersangkutan, lalu dipilih hari-hari untuk berjumpa bersama dosen, mendiskusikan bacaan dan merancang proyek.  Mengapa aku senang, karena dua makalah hasil riset dan proyek dari hasil studi independen ini diterima oleh dua jurnal terbitan Brill Academic, Belanda, dan akan terbit pada masa yang tidak lama lagi.  Satu lagi dari studi independen ini aku harapkan bisa pula di terima di sebuah jurnal yang memfokuskan topik di relasi dan teologi interreligius.

Aku pun tetap suka bentuk kelas kuliah, asalkan dosennya mumpuni dan mampu memberikan model.  Model kuliah tetap dapat memberikan contoh cara-cara mengajar yang sistematis dan efektif, efektif khususnya di konteks Indonesia yang kebanyakan mahasiswanya masih suka bentuk perkuliahan konvensional.  Di sini, ada sejumlah dosen yang aku lihat kuat sekali gaya mengajarnya, dan ia memberikanku model sebagai pengajar yang baik.

Hari ini juga kuselesaikan tugasku sebagai asisten pascasarjana untuk bidang ibadah dan liturgi.  Bersyukur karena aku mendapatkan supervisor yang baik, fleksibel dan sabar.  Dia seorang teolog sistematik dari tradisi Episkopal yang, sewaktu menyusun disertasi, pernah studi setahun langsung dengan teolog jesuit kenamaan Karl Rahner di Jerman.  Bersyukur karena dari dia aku makin banyak melihat keterkaitan erat antara liturgi dan teologi.  Tiga kuartal berjalan begitu cepat.

Bila aku hendak rangkum perjalanan dua tahun sekian di kampus SU dalam satu kata, kata itu adalah resilience, kelenturan.  Bagaimana aku bisa menjadi lentur ketika hantaman dan beban berat menimpa, dan pergumulan berat tengah kuhadapi.  Buatku, tantangan dan rintangan dalam studi justru melipatgandakan kreativitas.  Tekanan hidup memercikkan ide-ide kreatif dan strategis untuk menanggulanginya, bahkan kalau bisa melampaui dari yang rata-rata.  Ketika melihat babak-babak selama masa perkuliahan pascasarjana ini, kulihat patok-patok yang menonjol justru ketika aku sedang berada dalam masa-masa penuh rintangan. 

Kulihat ulang agak ke belakang lagi, apakah kecenderuangan ini dipicu oleh pengalaman-pengalaman masa lampau ketika aku menghadapi pelbagai rintangan, tekanan dan penolakan?  Mungkin saja.

Yang jelas, studi S2 kini sudah purna.

Seattle, 13 Juni 2015

No comments:

Post a Comment