Tuesday, October 7, 2008

ALKITAB DAN KELUARGA KRISTEN (1)



MENDAMBAKAN KELUARGA TANPA KATA “HARUS” DAN “JANGAN”



Sejumlah orang takut dengan kata “harus.” Di dalamnya tersirat adanya paksaan dari suatu pihak yang berkedudukan lebih tinggi, tuntutan, kewajiban, sesuatu yang menutup kemungkinan untuk memilih dari beberapa alternatif dan tawaran. Hidup di bawah “harus” seperti hidup di bawah hukum Taurat. Semua orang tidak suka dengan kehidupan yang tertekan seperti itu.



Sebagai anggota tim gembala jemaat, saya menyadari kenyataan inilah yang hidup di zaman kita. Hidup semakin tidak mudah. Stabilitas ekonomi hampir-hampir tidak dapat diandalkan lagi. Pemilihan Presiden Amerika Serikat tinggal menghitung hari; belum lagi di tahun mendatang kita akan menghadapi Pemilu. Situasi politik nasional dan internasional ini pasti sangat berpengaruh bagi banyak orang, tak terkecuali jemaat kita masing-masing.



Dalam keadaan seperti ini, saya dapat berempati ketika seorang warga gereja memberi saran, “Khotbah itu kalau bisa tidak selalu menuntut.” Dengan kata lain, sedapat-dapatnya kata “harus” dan “jangan” itu dihindari dalam pemberitaan firman Tuhan. Kedua kata itu menambah beban kehidupan jemaat.



Dalam pelayanan di remaja, berkali-kali saya menjumpai kefrustrasian baik orangtua maupun anak-anak remaja mereka. Sejumlah orangtua terkaget-kaget ketika melihat anaknya sekarang berubah, lebih tertutup, lebih percaya kepada teman, pembangkang, pendusta, pemberontak, lebih banyak keluar rumah daripada tinggal di dalam rumah. Dalam kondisi ini, orangtua sering mengenang masa lampau. Pada waktu anak-anak masih kecil, mereka tidak banyak membantah. Mereka selalu menuruti setiap perkataan orangtua.



Sementara itu, para remaja merasa orangtua menjadi satpam bahkan polisi reserse yang selalu siaga dan siap sedia dengan daftar pertanyaan yang mencecar. Mereka merasa diinterogasi. Orangtua terlalu banyak mengatakan “harus” dan “jangan.” Tidak sedikit remaja putra dan putri yang kemudian kehilangan kepercayaan apakah orangtua mereka masih mengasihi mereka. Itulah sebabnya, mereka tambah suka berlama-lama di luar rumah. Rumah nampaknya menjadi tempat persinggahan sementara bagi para remaja.



Demikian pula dengan dunia yang lebih kecil lagi, yaitu hubungan suami-istri. Tak dapat dipungkiri, banyak pasangan suami-istri yang pecah. Angka perceraian yang tinggi terjadi bukan saja di dalam keluarga yang bukan Kristen, bahkan di keluarga Kristen, dan Kristen Injili, yaitu yang mengaku finalitas kematian dan kebangkitan Kristus, pentingnya kelahiran kembali dan kekudusan hidup, banyak perceraian juga terjadi.



Pada tahun 1999, Lembaga riset Barna mensurvei tingkat perceraian di kalangan Injili dan non-Injili. Hasilnya berimbang antara kedua pihak: 25%-25%. Bahkan Prof. Brad Wilcox, seorang pakar sosiologi keluarga Amerika Serikat dari Universitas Princeton menyerukan kalimat yang mencengangkan, “Dibandingkan dengan sisa penduduk yang lain, orang-orang Protestan konservatif lebih cenderung untuk bercerai.” Pernyataan ini dibarengi dengan angka survei di tangannya bahwa di wilayah selatan Amerika Serikat, daerah di mana persentase Kristen konservatif adalah mayoritas, angka perceraian ditemukan lebih tinggi.[1]



Itu kan di Amerika Serikat! Bagaimana dengan di Indonesia? Budaya ketimuran memang masih cukup menabukan perceraian dan perselingkuhan. Tetapi hal ini bukan berarti tidak ada. Banyak kasus yang terjadi di kalangan Kristen, di antara jemaat yang kehidupannya OK-OK. Di balik itu, ternyata suami-istri telah pisah ranjang. Suami atau istri tidak memiliki kesetiaan lagi dengan pasangannya.



Dari temuan secara acak, tanpa melalui penyelidikan ilmiah, saya jumpai, problematika itu dialami bukan karena mereka bosan terhadap pasangan setelah hidup bersama berpuluh-puluh tahun. Sebaliknya, masalah ini mengapung di antara pasangan-pasangan usia muda. Bukan karena mereka kurang lama dalam berpacaran. Inti masalahnya adalah, pasangan saya terlalu banyak mengatakan “harus” dan “jangan.” Kalau dua kata itu dilanggar, maka terjadilah tindak kekerasan dari satu pihak kepada pihak yang lain.



Jadi, apakah dengan demikian kita akan membayangkan suatu dunia tanpa kata “harus” dan “jangan” agar kehidupan keluarga Kristen menjadi harmonis? Kenyataannya, di dalam Alkitab, kedua kata ini ada. Kata kerja imperatif (perintah) juga tidak kurang di dalam Firman Tuhan. Allah memberikan 10 Hukum; hanya 1 perintah saja yang tidak memakai kata “jangan”: “Hormatilah ayahmu dan ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel. 20:12).



Tulisan ini akan mengajak pembaca untuk meletakkan kata “harus” dan “jangan” dalam kerangka biblis yang tepat. Dalam permenungan saya, keutuhan berita Alkitab dengan indah meletakkan kedua kata itu dalam suatu jalinan “kovenan” (adaptasi dari kata covenant, artinya “perjanjian”). Kovenan adalah hubungan antara Tuhan dan satu umat, yang dalam kerelaan kehendak-Nya, dikuduskan dan dikhususkan bagi diri-Nya. Ia kemudian menata kehidupan mereka dengan hukum-hukum-Nya, serta menggenapkan di dalam dan melalui mereka, segala maksud dan tujuan anugerah-Nya. Dalam kerangka inilah kita akan membangun suatu gambar besar mengenai teologi keluarga, yaitu “keluarga yang kovenantal”—keluarga yang diikat oleh suatu perjanjian kudus.




[1]Dikutip oleh Ron Sider, Skandal Hati Nurani Kaum Injili: Mengapa Hidup Orang-orang Kristen Serupa dengan Dunia? (Surabaya: Literatur Perkantas, 2005), 29-30.



No comments:

Post a Comment