Tuesday, October 7, 2008

ALKITAB DAN KELUARGA KRISTEN (2)



MELETAKKAN PADA KERANGKA ALKITAB



Sebagai Tuhan, Allah mendambakan persekutuan dengan kita. Ia menjalin hubungan dengan manusia melalui ikatan-ikatan perjanjian (kovenan). Ia mengikatkan perjanjian dengan Adam, Nuh, dan kepada Israel di bawah Musa, Daud dan puncaknya adalah Yesus Kristus. Konsep ikatan perjanjian merupakan konsep yang umum di dunia kuno, di mana bangsa-bangsa dunia pada waktu itu gemar berperang dan meluaskan wilayah kekuasaan. Seorang raja yang menang, akan mengikatkan perjanjian dengan raja yang ditaklukkan. Ia berhak menjabarkan latar belakang historis, bentuk hubungan itu, menyatakan hukum, menjanjikan berkat bagi raja yang patuh, serta kutuk bagi pelanggaran atasnya.[1]



Membentangkan Alkitab dalam kerangka ikatan perjanjian ini, maka kita akan berjumpa dengan kebenaran, bahwa di Kitab-kitab Taurat (5 kitab pertama) mencurahkan isi hati Allah yang merindukan terwujudnya kovenan itu. Kitab-kitab Sejarah (Yosua-Ester) membeberkan respons yang sebenarnya dari manusia: taat dan tidak taat. Kitab-kitab Syair (Mazmur) mengisahkan pengalaman hidup umat kovenan, yang berisi ratapan, pertanyaan-pertanyaan, berkat, kutukan, jeritan hati mereka. Kitab-kitab Hikmat (Amsal-Kidung Agung [dan Ayub]) menerapkan hukum perjanjian (Taurat) dalam problematika kehidupan sehari-hari. Kitab Nabi-nabi mengisahkan kegeraman Allah atas pelanggaran kovenan, serta janji-Nya untuk memperbarui kovenan. Kitab-kitab Injil dan Kisah Para Rasul membuka sejarah Kovenan Baru yang ditindaki oleh Kristus dan Israel Baru (Gereja). Surat-surat Rasuli merupakan penerapan pola hidup kovenan baru yang dipimpin oleh Mesias Yesus dalam kuasa Roh Kudus, yang melampaui hukum Taurat. Dan Kitab Wahyu menunjuk kepada penggenapan janji serta klimaks kovenan Allah (langit dan bumi baru).



Apakah inti kovenan? Jantung hati kovenan terletak pada kalimat, “Aku akan menjadi Allahmu, dan kamu akan menjadi umat-Ku” (mis. Kel. 6:7; Im. 26:12; Yer. 7:23; 11:4; Why. 21:22). Perhatikanlah bahwa berita ini mulai diserukan sejak awal sejarah pembentukan bangsa Israel, dengan dibebaskannya mereka dari Mesir, sampai kepada klimaks sejarah dunia, pada masa akhir. Berarti, berita ini menyusup ke jantung hati sejarah kehidupan umat Allah di sepanjang zaman. Hal ini menyiratkan kebenaran bahwa Allah akan selalu bersama kita, sebagaimana Ia beserta dengan Abraham, Ishak dan Yakub (mis. Kej. 26:3; 28:15; 31:3; Kel. 3:12).



Ia menyatakan komitmen-Nya terlebih dahulu kepada kita, dan sebagai ganti-Nya, Allah memampukan kita memiliki kepercayaan serta kepatuhan. Dr. Zacharias Ursinus, yang hidup 500 tahun silam, berkata bahwa kovenan Allah adalah “suatu perjanjian dan kesepakatan dua pihak antara Allah dan manusia, di mana Allah memberi manusia jaminan bahwa Ia akan mencurahkan anugerah dan mengasihi mereka . . . dan di sisi lain, manusia mengikatkan diri dalam iman dan pertobatan.”[2]


Inilah yang memungkinkan gerak manusia dari percaya, bertobat, patuh dan akhirnya berbuahkan damai sejahtera. Semua hal di atas dimulai dari tindakan tunggal dari Allah. Tindakan ini adalah karunia yang cuma-cuma, anugerah-Nya, kasih-Nya yang tiada terperi. Ketika kita berada di lingkungan di mana kita menerima semuanya ini, kita secara pasti akan merasakan damai sejahtera.



Sekarang, kita dapat melihat di mana tempat “harus” dan “jangan” itu. Tepat! Di dalam kepatuhan. Namun kepatuhan itu merupakan buah dari “pertobatan” dan “kepercayaan,” yang sesungguhnya bertumbuh secara natural bila seseorang merasakan Komitmen, Anugerah dan Jaminan dari pihak yang lebih tinggi. Alkitab sendiri menyatakan bahwa hukum itu mengikuti anugerah. Sama seperti ini: kita mengikuti Tuhan bukan demi mendapatkan keselamatan kita, tetapi memelihara hukum itu oleh rasa syukur kepada Dia karena anugerah keselamatan. Saya lebih suka memakai istilah “transformasi dari dalam” untuk kepatuhan ini. Karena ada jaminan, maka kita dimampukan patuh. Kepatuhan bertumbuh bukan karena paksaan dari luar, tetapi pengubahan total hati dan kehendak manusia.



Tanpa ketiganya berarti bagaikan kuda yang diletakkan di depan kereta. Hal ini tidak mungkin, bukan? Seekor kuda dapat menarik kereta bila kereta itu diletakkan di belakangnya. Jikalau diletakkan di depan, kuda itu akan mengalami frustrasi. Bila seseorang tidak merasakan ketiganya, ia hanya merasakan tuntutan-tuntutan yang terus menindih, tanpa adanya penghargaan sebagai manusia yang bermartabat. Hidup yang legalis (selalu menuntutkan aturan main dan hukum-hukum) adalah hidup yang membosankan. Allah tidak menciptakan manusia untuk ditindas peraturan. Allah menciptakan manusia oleh sebab cinta. Maka benarlah kata-kata pertapa St. Isak dari Niniwe, “God can only give His faithful love”; Allah hanya dapat memberikan cinta-Nya yang setiawan.



Bila kita merenung lebih jauh, kita semakin mengerti bahwa kasih dan hukum bukanlah dua hal yang harus dipertentangkan dalam kerangka perjanjian Allah. Justru elemen pertama dari hukum itu adalah kasih. Perhatikan kalimat Shema, yang merupakan Syahadat bagi orang Yahudi, di Ulangan 6:5, “Kasihilah TUHAN Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Kasih sesungguhnya adalah suatu perintah, suatu hukum, bahkan hukum yang hakiki. Sebaliknya, di dasar sebuah perintah, ada kasih yang kuat, yaitu cinta yang transformatif.



Dengan demikian, jauh sebelum Abraham Maslov menetaskan piramida aktualisasi diri, para pakar Alkitab telah menemukan benang merah pengajaran Alkitab mengenai perjanjian ini, yang sesungguhnya relevan untuk pengembangan diri dan keluarga. Setiap orang dikondisikan untuk berada di suatu tempat, waktu dan bersama-sama dengan pribadi lain. Benarlah kata pujangga, “No man is an island,” tiada manusia yang dapat hidup seorang diri. Kendati begitu, ketika ia merasakan komitmen, jaminan, kasih dan anugerah, ia akan menyandarkan dirinya, berani terbuka dengan kelemahan-kelemahannya, dengan siap sedia mematuhi segala kewajiban, dan menikmati kedamaian hidup.




[1]Selengkapnya baca D. R. Hillers, Covenant: The History of a Biblical Idea (Baltimore: John Hopkins University Press, 1969).

[2]Dikutip dalam John Murray, The Covenant of Grace, Biblical and Theological Studies (Phillipsburg: P&R, 1953), 6.



No comments:

Post a Comment