Pada mulanya Allah menciptakan manusia pada hari keenam. Kembali ke zaman Timur Tengah Kuno, merupakan kebiasaan bagi suatu bangsa untuk membuat sebuah kuil bagi dewa mereka. Di akhir pembangunan kuil itu, mereka menempatkan “gambar allah,” yaitu patung dewa sesembahan. Patung itu menyimbolkan kekuasaan tertinggi atas seluruh kuil.
Di Kejadian 1:26-28, berbeda ceritanya. Langit dan bumi bagai rumah Allah. Tetapi rumah itu tidak dibuat oleh manusia. Allah sendiri yang mendirikannya. Di akhir proses pembangunan itu, Allah menempatkan “gambar-Nya,” yaitu manusia—laki-laki dan perempuan. Mereka menyimbolkan kekuasaan Allah:
· Manusia dicipta untuk berkuasa atas seluruh “rumah Allah,” yaitu semesta alam yang indah.
· Manusia dicipta untuk melipatgandakan gambar Allah dan memenuhi bumi, bukan menuh-menuhin bumi!
· Manusia dicipta untuk mewujudkan masyarakat yang adil, bukan yang timpang.
· Manusia dicipta untuk mereksa alam, bukan untuk merusak bumi.
· Manusia dicipta sebagai pelindung kehidupan, bukan pengancam segala yang bernapas.
Visi hidup umat manusia yaitu untuk mengasihi Allah, mengasihi sesama dan mengasihi semesta. Inilah shalom, “damai sejahtera,” yang Allah cita-citakan. Shalom merupakan sebuah sistem harmoni dalam semesta. Shalom itu bukan saja vertikal—hubungan damai dengan Allah; tetapi juga horisontal—damai dengan sesama dan semesta. Shalom itu hadir secara konkret, tepat seperti doa Tuhan Yesus, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.”
Di era gereja purba, sekelompok orang mulai menyusupkan ajaran yang lain: damai itu perkara rohani; iman dan kasih itu masalah privat—saya mengasihi Allah tidak ada kait-mengaitnya dengan mengasihi sesama. Yang penting, pengalaman dan pengetahuan rahasia yang langsung dari manifestasi Allah. Hidup ini semata-mata adalah urusan lepas dari dunia yang real. Buah kebajikan hidup tidaklah penting. Bagi golongan ini, Yesus Kristus bukan manusia sejati; Ia adalah makhluk rohani, yang tampak seperti manusia. Yesus inilah yang akan membisikkan misteri ilahi dan pengetahuan rahasia bagi individu-individu yang dikasihi-Nya. Implikasinya, asalkan saya mendapatkan pengetahuan rahasia dari Kristus ini, tidaklah masalah apakah saya hidup dalam perdamaian dan kasih dengan sesama.
Surat Yohanes menentang ajaran ini. Penulis ingin mengembalikan visi hidup manusia yang berpijak pada hal yang konkret. Mengasihi Allah bukan masalah privat. Mengasihi Allah harus terbukti dengan kasih terhadap sesama. Hal ini dimungkinkan melalui “kelahiran kembali” (bdk. Yoh. 1:12-13). Dengan keras penulis menghardik orang yang timpang dalam pemahaman ini sebagai “anak-anak Iblis.” Sebaliknya, anak-anak Allah ditandai dengan “mengasihi saudaranya.”
Allah kembali meneguhkan panggilannya. Sistem shalom itu Allah hadirkan di dalam dan melalui gereja. Gereja ditandai dengan kelahiran baru. Gereja disebut sebagai anak-anak Allah. Anggota gereja menyebut sesamanya sebagai saudara (bahkan, “saudara sekandung di dalam Kristus”!). Gereja merupakan simbol kekuasaan Allah atas semesta. Gereja dipanggil sebagai keluarga Allah yang mengasihi Allah dan saling mengasihi antarsaudara.