Dua Catatan dari Sudut yang Berbeda
Dari keterangan di internet, Paul Vitz, penulis buku ini adalah seorang guru besar psikologi emeritus di New York University, memperoleh gelar Ph.D. dari Universitas Stanford yang memang terkenal unggul dalam studi psikologi di Amerika Serikat. Vitz semula adalah seorang ateis sampai umur 30-an tahun dan kemudian menjadi seorang teis, memeluk Katolisisme dan banyak menulis tentang nisbah psikologi dan agama. Salah satu bukunya yang ternama dan yang sudah terbit dalam bahasa Indonesia bertopik psikologi sebagaiagama.
Buku yang baru saja saya selesaikan berjudul Faith of the Fatherless: The Psychology of Atheism. Ketika membaca pengantarnya, saya merasakan suatu nada kecemasan: dunia kita sudah menjadi dunia yang sangat asing, dan ateisme menguasai kancah publik, sementara wacana tentang Allah dilarang di ruang umum, khususnya sekolah. Ateisme, menurutnya, memenangkan pertandingan di banyak dimensi.
Vitz lebih khusus meratapi kondisi ini di tanah airnya, Amerika Serikat. Betapa berbedanya kenyataan ini dengan pujaan Alexis de Tocqueville atas negerinya lebih dari 170 tahun lalu, bahwa di negara Amerika Serikatlah agama Kristen masih terasa kuat walau kekristenan tidak mengintervensi pemerintahan dan politik. Kendati Amerika masih terbilang religius, terbukti dari lebih dari 80% warga Amerika Serikat yang mengaku bahwa mereka percaya kepada Tuhan, namun, dalam kegundahan Vitz, referensi tentang Allah semakin dimarginalkan dalam wacana publik.
Dalam konteks ini, Vitz berusaha memberikan telaah psikologis atas ateisme. Pertama-tama, ia ketengahkan teori bahwa kepercayaan kepada Allah merupakan proyeksi manusia atas pengalaman masa kanak-kanak seseorang. Mendulang dari teori oedipal complex Sigmund Freud, Vitz menawarkan hipotesis the defective father yang hendak ia uji dalam buku ini. Menurutnya, ateisme merupakan buah di kemudian hari dari relasi seorang anak terhadap ayahnya. Jika seseorang kehilangan figur ayah pada masa kecilnya, entahkah ayahnya itu meninggal ketika ia masih kecil atau suka melecehkan dan lemah dalam keluarga, dan si anak tidak mendapatkan figur ayah pengganti, maka sangat besar kemungkinan anak itu pun akan menolak figur Allah sebagai Bapa di kemudian hari. Sebaliknya, jika seseorang dibesarkan dalam keluarga yang baik, yang di dalamnya ayah berperan sebagaimana seharusnya, maka niscaya anak itu akan lebih mudah menerima figur Tuhan dalam hidupnya. Untuk membuktikan hipotesis ini, maka Vitz mendaftar tokoh-tokoh sentral yang ia pandang merepresentasikan kaum ateis mapun teis.
Vitz cukup cakap dalam membuktikan teorinya itu. Secara umum, ia berhasil membuktikan hipotesisnya di atas. Satu sisi yang baik dari Vitz, ia pun kritis atas hipotesisnya dengan mengemukakan adanya sejumlah pengecualian. Tidak semua ateis dibesarkan dalam konteks keluarga yang di dalamnya sang ayah disfungsi. Di sini nampak kesarjanaan Vitz, ketika dia bekerja dengan hipotesis dan teori, dan mampu melihat kelemahan pendekatannya dengan data yang ia dapatkan.
Saya tidak akan membahas apakah Vitz berhasil atau tidak dalam teorinya. Saya cenderung ingin mengajak Vitz berdialog dan, berdasarkan teori yang ia sodorkan, mengajukan dua masalah dari sudut yang berbeda. Saya ingin mendorong Vitz menjawab dua masalah berikut ini.
Pertama, dari sudut kaum teis yang dibesarkan di konteks keluarga yang cukup sehat, atau singkatnya, bagaimana dengan faith of the “fatherful”? Vitz cukup adil dalam mendaftar kaum teis yang menjadi “kelompok pengendali,” atau figur-figur utama dalam sejarah. Tentu, tidaklah mungkin bagi saya untuk mengajukan pernyataan mengapa tokoh A, B atau C tidak juga dimasukkan. Tetapi ada tiga figur yang menarik minat saya agar pembaca Vitz pun mengajukan pertanyaan yang sama dengan saya. Ketiganya adalah Friedrich Schleiermacher, Albert Schweitzer dan Dietrich Bonhoeffer (walau saya tergelitik untuk mendaftar Baron Friedrich von Huegel, pemikir mistik, dan Abraham Joshua Heschel, rabi Yahudi reformis di Amerika Serikat).
Schleiermacher adalah seorang pendeta gereja Reformed. Ia seorang teolog dari gereja beraliran Kalvinis. Schleiermacher di kemudian hari dikenal sebagai “bapa teologi liberal,” karena pemikirannya yang utama mengenai pengalaman. Doktrin dilandaskan pada pengalaman kepada yang mutlak; doktrin merupakan sebuah refleksi dari pengalaman atas atau dalam bahasa Schleiermacher, agama adalah “perasaan terhadap kebergantungan yang mutlak.”
Schweitzer adalah salah satu pemikir jenius yang pernah hidup. Ia memiliki tiga gelar doktorat dalam teologi, musik dan filsafat, namun menempuh ilmu medika dan kemudian mengabdikan diri sebagai dokter di Afrika. Secara teologi, Schweitzer berada dalam jalur teologi liberal. Hal ini dapat diamati dalam telaahnya tentang Yesus Sejarah dan Paulus sebagai seorang mistik.
Bonhoeffer adalah seorang pendeta Lutheran Jerman. Ia meninggal di atas tiang gantungan Nazi beberapa hari sebelum Nazi bertekuk lutut kepada tentara sekutu. Bonhoeffer masih sangat muda, namun ia pun terhisab dalam pemikir brilian di zamannya. Ia menentang teologi liberal yang terbukti gagal dalam menyuarakan suara kenabian di tengah-tengah fasisme Hitler. Dalam pada itu, ketika usianya kira-kira 38 tahun, dari dalam penjara, ia menulis satu frase yang dikenal sebagai religionless Christianity: “Before God and with God we live without God.”
Pertanyaan saya kepada Vitz bukan lagi apakah benar teorinya. Saya tidak ragu bahwa ketiga tokoh yang saya pilih di atas adalah kaum teis utama, namun saya mendesaknya untuk mengeksplorasi lebih jauh psikologi kaum teis, yakni mereka yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh dan yang memiliki figur ayah yang fungsional. Iman yang seperti apa yang dimiliki oleh ketiga orang ini?
Hipotesis yang dapat dieksplorasi lebih lanjut adalah sebagai berikut: Seorang anak yang dibesarkan dalam keluarga yang fungsional, yang di dalamnya ayah berperan baik, maka di kemudian hari ia akan menjadi seorang beriman (teis) yang berani untuk “melepas agama” atau “membiarkan pergi agama”-nya (letting go). Hal ini bukan berarti ia tidak memedulikan agama atau mencampakkan agama—seperti kaum ateis; tetapi di satu titik, ia akan beranjak dari pandangan bahwa agamanya adalah yang terbaik, atau yang paling benar! Ia akan menjadi pribadi dewasa yang taat, namun menjadi semakin inklusif terhadap yang lain.
Ketika membaca tiga nama di atas, saya coba refleksikan, apakah mereka terbilang ortodoks? Lalu mengapa mereka menjadi tidak ortodoks lagi? Kemungkinan besar, kaum ortodoks lainnya tidak akan nyaman dengan mereka. Demikian pun dengan von Huegel yang meluaskan spiritualitasnya dan memeluk mistisisme, atau Rabi Heschel yang turun ke jalan dan bergandengan tangan dalam gerakan-gerakan protes turun ke jalan bersama dengan Martin Luther King Jr. yang Protestan.
Dapat dilanjutkan pula bahwa faith of the “fatherful” adalah iman yang subversif, keberagamaan yang tidak puas dengan penjelasan monolitik tetapi mengajukan banyak pertanyaan, mencari alternatif-alternatif jawaban dan menemukan bahwa realitas itu tidak hanya satu. Para “fatherful” adalah mereka berani masuk ke dalam wilayah ambigu, masuk ke dalam Misteri dan gagah dalam menjalani kehidupan yang tanpa jawaban yang pasti. Hal ini disebabkan karena "Bapa" atau Sang Misteri itu tidak pernah meninggalkannya. Ketika mereka sudah mendapatkan jawaban yang pasti, mereka akan mengajukan pertanyaan yang baru dan kembali masuk dalam ambiguitas untuk mencari alternatif jawaban.
Kedua, bagaimana jika judul utama buku ini dikenakan pada fundamentalisme religius, sehingga menjadi Faith of the Fatherless: The Psychology of Religious Fundamentalism? Hipotesis yang dapat diajukan yakni sebagai berikut. Seorang anak yang dibesarkan dalam disfungsionalitas ayah pun dapat menjadi seorang fundamentalis religius. Di sini dibutuhkan sebuah titik metanoia atau titik pertobatan ketika ia beralih dari situasi “absensi bapa” kepada penemuan “bapa pengganti,” entahkah itu figur pengganti ayah (termasuk kekasih atau partner hidup) ataupun Tuhan sebagai “Bapa.”
Dalam kaitan dengan pertobatan ini, masuk ke dalam “hidup baru” bisa menjadi kondisi yang rentan bagi pertumbuhan psikologisnya. Dengan kata lain, periode “pertobatan” bisa berbahaya, karena berarti pribadi ini baru menerima figur ayah dan membangun gambaran tentang ayah yang ideal ketika ia sudah seharusnya masuk di periode ketika ia meninggalkan rumahnya. Dalam kurun waktu ini pun mulailah ia memulas gambaran keagamaannya, bahwa agamanya adalah yang terbaik jika dibandingkan yang lain—kebenaran!
Karena kebenaran ini, ia “cemas” dengan kehadiran yang lain. Ia cemas dengan hadirnya pluralisme, ketidakhorenan doktrin, kontradiksi-kontradiksi dalam keyakinan dan jawaban agama yang tidak pasti. Karena itu, fundamentalisme religius akan selalu menampilkan dirinya sebagai penyuara kebenaran Allah. Kebenaran dan realitas itu satu saja dan yang lain merupakan bahaya laten yang dapat menyerang eksistensi agama. Ia masih berada dalam kegandrungan yang penuh kepada gambaran "Bapa" sebagai yang terbaik dan paling benar tadi. Ia cemas jikalau citra sang Bapa itu menjadi buruk di mata orang lain.
Dalam kaitan dengan kekristenan, karena Vitz juga seorang Kristen, saya bertanya bagaimana ia melihat figur-figur apologet yang selalu membela iman Kristen melawan pluralisme agama, mempertahankan Trinitas, kebangkitan Yesus, sains dan iman, dan sebagainya, yang pada intinya permasalahan hanya satu dan satu itu saja: Oleh sebab yang lain merupakan ancaman bagi eksistensi kekristenan, maka bagaimana kekristenan mempertahankan imannya?
Jika hipotesis ini terbukti, bahwa kaum fundamentalis agamawi dan para pembela iman pun pernah mengalami keterhilangan kasih ayah, dan sebuah titik konversi diperlukan untuk membangun figur seorang ayah, maka terdapat indikasi bahwa para pembela iman masih berada dalam periode formasi gambaran ayah ideal, periode yang bagi kaum “fatherful” di atas sudah dilewati. Sampai seberapa lama periode ini berjalan? Hal ini tidak dapat dipastikan karena bergantung kesadaran individual ketika ia berani “melepas” (letting-go) apa yang ia anggap sebagai kebenaran tunggal.
Kedua hipotesis ini pun harus diuji dengan metode yang mirip seperti yang Vitz ajukan dalam bukunya. Kiranya ada seorang atau lebih pembaca yang mau melanjutkan selisik ini.
Saya tidak tahu bagaimana animo pembaca Indonesia atas buku ini. Yang jelas, Vitz menulis dari dan untuk konteks Amerika Serikat dengan tingkat kompleksitas relasi agama dan politik yang berbeda dengan Indonesia. Isu ateisme Amerika Serikat sedikit banyak juga dipengaruhi oleh faktor politis negara itu. Kendati begitu, pertanyaan yang perlu menyentil kaum beragama adalah apakah ateisme merupakan ancaman bagi teisme, khususnya kekristenan. Di Amerika Utara, termasuk Kanada, angka ateisme masih sangat kecil. Menurut hasil Pew Research yang dikeluarkan pada 12 Mei 2015, angka agnostik adalah 3,1% dan agnostik 4,0%, total 7,1%, sementara kaum none, yang tidak mengafiliasikan diri mereka ke dalam sebuah institusi religius bertotal 15,8%. Tergolong ke dalam mereka ini adalah kaum yang menyebut diri spiritual tetapi tidak religius, atau mereka yang masih berkelana ke sana kemari. Total dari semua mereka adalah 22,8%. Persentase ini adalah kurang dari sepertiga pemeluk agama Kristen yang menduduki angka 70,6%. Jika demikian, pertanyaannya, apakah mungkin kaum ateis telah meraja di Amerika Serikat dan mempengaruhi banyak kebijakan negara ini? Kedua, jika pun ateisme menjadi mayoritas, apakah berarti ateisme merupakan ancaman terhadap kekristenan?
Ataukah, yang sebenarnya adalah bahwa orang-orang Kristen tengah mengalami kecemasan dengan hadirnya Sang Liyan, yang lain itu, yang memanifestasi dalam bentuk ateisme. Jika ini yang terjadi, jangan-jangan ada yang lain-lain yang membuat orang Kristen cemas? Dan, apakah kecemasan itu karena mempertahankan integritas agama dan keyakinan, atau alat kamuflase untuk menutupi kekurangan dalam tugas perkembangan diri—yaitu, dalam bahasa Vitz, absensi figur seorang ayah.