Saturday, December 23, 2006

The Gospel of Judas

The Gospel of Judas:
Ajaran Rahasia Kepada Yudas Iskariot?



Alkisah . . .

Si Thôlé (Jawa, “bocah laki-laki”) mengingat suatu kala di masa lampau. Wah, masih giat-giatnya ngumpulin bacaan dan info-info gress dalam bidang teologi. Maklum saja, baru belajar teologi di semester dua.

Hingga bergabunglah si Thôlé dalam kelas Bibliologi (doktrin tentang Alkitab). Terdorong oleh pertanyaan-pertanyaan seputar Alkitab, si Thôlé pun bertanya kepada dosen, “Kalau suatu kali nanti ditemukan tulisan kuno, dan setelah diteliti kok autentik, baik dari isi maupun kekunoannya, apakah Gereja berani untuk menambahkan ke dalam 66 buku di Alkitab?”

Jawaban yang Thôlé terima dari dosen lebih kurang seperti ini, “Ya, penemuan seperti itu akan kecil kemungkinannya. Dan kalaupun ada, tentu akan dibutuhkan suatu persidangan Gereja yang besar dan penyelidikan yang tidak sederhana.” Jawaban yang lumayan juga. Paling tidak masih ada keterbukaan dan tidak dogmatis. Nah, si Thôlé paling suka dengan keterbukaan yang seperti ini.

Kira-kira semester berikutnya, kelas baru si Thôlé ikuti. Kelas sejarah dogma. Pertanyaan yang mirip pun diajukan. Hanya saja, lain koki lain masakan; lain dosen lain pula jurusnya. “Tinggal cermati saja. Kalau sama pengajarannya, kenapa harus dimasukkan lagi? Kan pengajarannya sama, to? Tetapi kalau beda? . . . Nah, berarti pengajaran kitab itu bertentangan dengan kitab-kitab yang lain.” Ah, tipikal jawaban dogmatis! Gumam si Thôlé dalam hati.

Diam-diam si Thôlé sedang bergelut dengan buku yang tidak pernah dijamah oleh kawan-kawannya untuk meruntuhkan jawaban yang sangat enteng dan simplistis itu. Satu buku tentang versi Kekristenan yang lain, ditulis oleh seorang pakar berparas ayu dari Universitas Princeton, Elaine H. Pagels, berjudul Injil-injil Gnostik (1979). Di situlah pertama kalinya si Thôlé berkenalan dengan Injil-injil yang tidak termasuk kanonik (keempat Injil), yang di kemudian hari dipakai oleh Dan Brown dalam novel kontrovesialnya, The Da Vinci Code.

Membaca buku Injil-injil Gnostik itu, si Thôlé sempat dibuat terguncang, apakah Kekristenan yang selama ini diterima merupakan cetakan kaum intelek yang menang, yang bertindak lalim terhadap bentuk-bentuk Kekristenan yang berbeda darinya? Apakah kitab-kitab PB, dan khususnya Injil-injil, adalah produk kaum pemenang itu sehingga ekspresi-ekspresi Kekristenan minor dipinggirkan bahkan dibasmi? Tahun demi tahun pun berlalu, hingga suatu kali si Thôlé terusik kembali dengan masalah itu ketika membaca artikel berjudul “The Lost Gospels” (“Injil-injil yang Terhilang”) dalam majalah Time 22 Desember 2003. Kekristenan Gnostik dituturkan kembali. Di awal tahun 2006, wajah baru Gnostisisme tampil kembali dengan terbitnya The Gospel of Judas. Aaah . . . mennaarrriiikkk!!!

Penemuan Injil Yudas

Sejauh yang dapat dikatakan ahli Kekristenan awal Craig A. Evans, suatu kodeks (atau kitab kuno) bersampul kulit, berisi halaman-halaman berhahasa Kopt (atau Koptik)[1] dari papirus ditemukan pada akhir 1970-an. Mungkin 1978, di Mesir, di sebuah gua di daerah Nag Hammadi. Lima tahun kemudian, kitab kuno itu beredar di pasar barang kuno di Mesir. Pada tahun 1983 Stephen Emmel, seorang sarjana bahasa Kopt, bertindak atas nama pakar naskah kuno James M. Robinson dari Universitas Claremont, memeriksa naskah kuno itu di Universitas Geneva, Swiss. Emmel berhasil membaca 4 traktat, dengan nama “Yudas” sering muncul di dalamnya sedang bercakap-cakap dengan Yesus. Akhirnya ia berkata naskah kuno ini asli (bukan barang bajakan) dan kemungkinan berasal dari abad IV. Tugas selanjutnya dari para ahli adalah menentukan dugaan Emmel.

Penjual naskah kuno itu tidak puas dengan harga yang ditawarkan. Setelah naskah itu melintasi Lautan Atlantik dan sampai di Amerika Serikat, dan sampai di Long Island, New York dalam kotak penyimpanannya, ternyata naskah itu mengalami kerusakan serius. Distributornya salah menempatkan dalam freezer, dengan berpikir bahwa tempat yang beku akan menjaga naskah kuno itu. Apa daya, nyatanya beda. Naskah itu terkena udara lembab dan rusak lebih parah. Papirus menjadi coklat tua dan berbintik-bintik. Tetapi untung, papirus itu akhirnya didapat oleh Yayasan Maecenas di Swiss, dan dengan bantuan dari National Geographic Society, naskah itu dapat dijaga dan sedikit diperbaiki. Mengapa sedikit? Craig Evans mengatakan bahwa sejumlah halaman telah hilang (mungkin lebih dari 40 halaman) dan hanya 85% dari yang kita sebut sebagai “Injil Yudas” itu yang berhasil direkonstruksi.

Kemudian, National Geographic Society (NGS) dimandati untuk mengadakan serangkaian tes, termasuk karbon 14 untuk menentukan kekunoan naskah, analisis tinta yang dipakai dan beberapa tes lainnya. Hasil karbon 14 menyatakan naskah ini berasal dari tahun 220-340 M. Saat ini, kebanyakan tim ahli yang turut dalam penyelidikan itu cenderung memberi penanggalan antara tahun 300 dan 320 M. Menarik, Stephen Emmel malahan cenderung memberi penanggalan di atas 320 M!

Pada tahun 2005, NGS ini mengumpulkan satu tim ahli Alkitab, termasuk di dalamnya ahli Koptologis Rodolphe Kasser dan Gregor Wurst untuk membantu menafsirkan Injil Yudas. Termasuk di dalamnya Bart Ehrman, Stephen Emmel, Craig Evans, Marvin Meyer (yang menolong perekonstruksian naskah kuno ini), Elaine Pagels dan Romo Donald Senior. Terbitan resmi NGS yang kemudian diterjemahkan oleh Gramedia (2006) merupakan publikasi yang sangat menarik. Keterangan tambahan yang diberikan para ahli tentang kondisi naskah kuno tersebut, hubungan naskah ini dengan literatur Kristen awal juga sangat membantu.

Injil Yudas sendiri termasuk bagian dari Kodeks Tchacos, yakni halaman 33-58. Tetapi dalam kodeks ini ada juga beberapa traktat dan tulisan. Hal. 1-9 menyimpan satu versi Surat Filipus, yang kemungkinan isinya sama dengan yang ditemukan di Nag Hammadi pada tahun 1945 kodeks VIII. Hal. 10-32 menyimpan kitab Apokaliptik Pertama Yakobus (sama dengan Nag Hammadi kodeks V). Hal. 59-66 berisi tulisan tak berjudul, di mana sosok Allogenes (“Orang Asing”) muncul. Tambahan lagi, satu bagian yang tidak ada hubungannya dengan keempat traktat itu muncul di halaman 108. Kalau demikian, status kodeks ini dapat diketahui, paling tidak 42 halaman dari Kodeks Tchacos sudah hilang!

Apa Sih Isinya Injil Yudas?

Injil Yudas dimulai dengan kata-kata ini: “(Inilah) kisah rahasia mengenai pewahyuan yang diucapkan oleh Yesus dalam pembicaraannya dengan Yudas Iskariot” (hal. 3); dan diakhiri dengan kata-kata, “Injil Yudas.” Membandingkan dengan Injil kanonik, selalu ada keterangan di judul depan “Injil Menurut Matius” atau “Injil Menurut Lukas,” dsb. Pemunculan “Injil Yudas” ini mengejutkan! Inilah yang menarik kontroversi.

Dalam injil ini, Yudas dipisahkan dari semua murid lain sebagai murid Yesus yang terbesar. Hanya dialah yang menerima pengajaran dan pewahyuan Yesus yang tertinggi. Yesus menertawai para murid lainnya ketika mereka berdoa dan mempersembahkan korban. Mereka tidak menangkap siapa sejatinya Yesus, dari mana dia dan dari siapa dia berasal. Tetapi Yudas mampu memahami Yesus dengan sempurna!

“Saya tahu siapa engkau sesungguhnya dan dari mana asalmu. Engkau berasal dari alam yang tak mengenal kematian, tempat kediaman Barbelo. Dan saya tak pantas untuk mengucapkan nama Dia yang telah mengutusmu.” (hal. 8).

Setelah pengakuan ini, Yesus mengajar Yudas secara privat. Dan di akhir dari pengajaran yang privat itu, Yudas diajak Yesus untuk masuk ke dalam transformasi diri yang luar biasa. “Tetapi engkau akan lebih besar daripada mereka semua; karena engkau akan mengorbankan wujud manusia yang meragai diriku” (hal. 36).

Apa artinya? Yakni tatkala murid-murid lain membuang-buang waktu untuk beraktivitas dan melakukan penyembahan tingkat bawah (mempersembahkan hewan dalam tata cara Yahudi), Yudas melangkah jauh ke depan, yakni ia mempersembahkan korban yang sangat berharga; korban yang membawa keselamatan: Yudas akan mempersembahkan tubuh jasmaniah Yesus sehingga Yesus dapat memenuhkan misinya. Dalam hal inilah Yudas menjadi murid yang terbesar!

Narasi dipungkasi dengan Yesus diserahkan kepada imam-imam kepala. “[...] Imam-imam kepala mereka bersungut-sungut karena [dia] telah pergi menuju ruang tamu untuk berdoa. Tetapi beberapa ahli kitab ada di sana, mengamati dengan saksama, agar dapat menangkapnya sewaktu berdoa, karena mereka takut akan orang banyak, sebab oleh orang-orang itu dia dianggap sebagai seorang nabi. Mereka mendekati Tudas dan berkata kepadanya, ‘Apa yang kau lakukan di sini? Kau kan murid Yesus.’ Yudas menjawab mereka seturut apa yang mereka kehendaki. Dan dia menerima sejumlah uang, dan menyerahkan dia kepada mereka.” (hal. 39). Tidak ada catatan mengenai pemeriksaan Yesus, penyaliban dan kebangkitan.

Injil Yudas hanya ingin mengetengahkan satu hal: ketaatan Yudas dan bagaimana ketaatan itu menolong Yesus memenuhkan misi keselamatannya. Yudas telah ditransformasi dari seorang penjahat menjadi seorang pahlawan, dari seorang pengkhianat menjadi seorang kudus.

Pentingnya Membaca Injil Yudas

Bapa Gereja Irenaeus dari Lyons, Perancis, menulis pada tahun 180 M. tentang sekelompok sekte Kristen yang ia sebut sebagai kelompok Kain, sebab kelompok ini mengangkat pahlawannya dari tokoh antagonis di PL, yaitu Kain, yang membunuh saudaranya Habel. Kelompok yang sama kemudian mengangkat Yudas Iskariot yang menyerahkan Yesus juga sebagai pahlawan. Irenaeus menulis:

Lagi, orang-orang itu menyatakan bahwa Kain berasal dari Kuasa yang di atas, dan mengaku bahwa Esau, Korah dan orang-orang Sodom, dan orang-orang yang sejenis itu, berhubungan dengan golongan mereka. Oleh karena itu, mereka manambahkan, mereka telah dikucilkan oleh Sang Pencipta, tetapi tak satu pun dari mereka yang terluka. Sebab Sophia [Kebijaksanaan] selalu menjaga yang menjadi miliknya, sehingga mereka dibawa kepadanya. Mereka menyatakan bahwa Yudas si pengkhianat sangat berkaitan dengan hal-hal ini, dan bahwa mereka saja, sebab merekalah yang mengerti kebenaran yang tidak dimengerti oleh orang lain, memenuhkan rahasia itu dengan berkhianat; olehnya (Yudas) segala sesuatu, yang ada di bumi maupun yang ada di surga, dibuat menjadi kacau. Mereka membuat sejarah fiktif mengenai hal ini, yang mereka buat dalam Injil Yudas [Melawan Ajaran-ajaran Sesat 1.31.1]

Marilah bertanya sejenak, kok ada orang yang sampai berpikir penjahat dibuat menjadi sosok lakon dan pahlawan? Oleh sebab orang-orang ini menganggap bahwa ilah dunia ini, yang bertolak belakang dengan Allah dari Terang, itu jahat sifatnya. Jadi, setiap orang yang dibenci oleh si ilah jahat itu--seperti Kain, Esau atau orang-orang Sodom--sebenarnya adalah orang-orang baik, bahkan mereka ini di sisi Allah Sumber Terang itu, termasuk si Yudas Iskariot! Inilah yang hendak diungkapkan dalam Injil Yudas.

Jadi apa pentingnya membaca Injil Yudas? Injil ini memberi kita sedikit sentuhan varian Kekristenan di abad II M., khususnya berbicara mengenai keberagaman di dalam Kekristenan. Kita kini memiliki satu contoh keyakinan Gnostik awal, yang disebut Gnostisisme Set, yaitu kelompok Gnostisisme yang memiliki akar dalam pesimisme Yahudi yang muncul sebagai akibat dari perang badar umat Yahudi pada tahun 66-70 dan 115-117 M. Trauma hebat menggelayuti baik orang-orang Yahudi maupun Gereja Perdana. Calon-calon mesias yang gagal seperti Simon bar Giora (Perang Yahudi 66-70 M.) dan hingga nanti pemberontakan hebat Simeon ben Kosiba (Bar Kochba) mengguratkan kecemasan yang tidak mudah terhapus dalam ingatan orang pada zaman itu.

Tetapi apakah kontribusi Injil Yudas dalam pemahaman kita akan Yesus yang hadir sebagai figur sejarah? Sayang sekali, tidak ada. Alam pemikiran dalam Injil Yudas ini telah sedemikian Helenistik (bercampur dengan filsafat Yunani). Kita hanya bertemu dengan percakapan Yesus dengan Yudas. Para ahli kitab kuno non-konservatif seperti James Robinson, yang telah kita singgung di atas, juga tidak pernah menganjurkan Injil Yudas ini sebagai bahan penting penyelidikan Yesus Sejarah. Selain itu, Romo Donald P. Senior, OP, menyatakan bahwa Injil Yudas bahkan tidak memiliki dampak dalam teologi Kristen atau merevisi keyakinan dalam iman Kristen dan Katolik Roma, karena sedikit sekali memberi kontribusi dalam menolong orang Kristen memahami kisah hidup Yesus dalam Injil-injil.

Kekristenan yang Lalim?

Si Thôlé pernah bertanya tentang hal itu. Apakah kitab-kitab Injil yang dimiliki orang Kristen sesungguhnya merupakan produk pemenang yang kemudian melarang peredaran injil-injil lain? Namun bila mau jujur dengan data sejarah, pada abad II M. dan seterusnya, ada tujuh buku yang mengakhiri PB yang seringkali menjadi perdebatan (Ibrani, Yakobus, 2 Petrus, 2 dan 3 Yohanes, Yudas dan Wahyu), tetapi ternyata tak ada yang memperdebatkan satu Injil pun. Ada lima atau enam tulisan yang kadang dimasukkan dalam kanon (Surat Barnabas, Gembala Hermas, Didache, Wahyu Petrus, 1-2 Clement), tetapi sekali lagi, tidak ada yang mempermasalahkan keempat Injil: Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Kesimpulan tentang keempat Injil adalah, kesepakatan untuk menerima Matius, Markus, Lukas dan Yohanes bukan semata-mata merupakan pilihan dari para pemenang politik. Tetapi bahwa selalu ada pihak-pihak yang terus mengembuskan sudut pandang politik gereja bak sebuah mantra, semata-mata membuktikan bahwa kita hidup di era pascamodern di mana objektivitas sejarah dapat digugat dan ditulis ulang hanya karena seseorang berani menggugatnya dengan suara keras. Data dan argumentasi yang cukup tidaklah masalah!

Pertanyaan balik kini layak ditujukan kepada Injil Yudas. Apakah memang tulisan ini termasuk kategori “Injil,” sebagaimana Injil-injil yang kita miliki? Ini pertanyaan mengenai genre (baca: zahnraa), atau jenis sastra. Karakteristik yang hilang dari jenis sastra Injil adalah narasi atau biografi tokoh yang sedang diceritakan. Keempat Injil dengan teliti mengisahkan kehidupan Yesus. David E. Aune dan Richard A. Burridge adalah dua ahli yang menyelidiki secara saksama literatur kuno Yunani-Romawi dan akhirnya menyimpulkan bahwa Injil-injil yang kita miliki memiliki persamaan dengan biografi kuno orang-orang terkenal. Ini sangat berbeda dengan anjuran beberapa ahli yang terus mendesakkan Injil-injil Gnostik ke dalam penyelidikan latar belakang hidup Yesus dari Nasaret. Injil Tomas yang terkenal itu dan kini Injil Yudas, hanya berisi wejangan-wejangan rahasia Yesus kepada salah seorang muridnya.

Bila sejumlah pembaca ingin berlaku sedemikian terbuka, dan katakanlah tidak mau bersikap dogmatis, pada akhirnya pun harus berani mengambil sikap terhadap tulisan yang tersaji di hadapan Anda ini. Perhatikan kosmologi (tata penciptaan) dalam Injil Yudas.

Seorang Malaekat Agung, Yang Terjadi dengan Sendiri-Nya, Ilahi dan Cerah, muncul dari awan itu. Karena dia, empat malaekat lain muncul dari awan lain, dan mereka menjadi pembantu Sang Malaekat yang Terjadi Dengan Sendiri-Nya itu. Yang Terjadi dengan Sendiri-Nya itu bersabda, ‘Jadilah [...],’ maka ada dan hiduplah dia [...]. dan dia [menciptakan] penerang pertama untuk berkuasa terhadap dirinya. Dia berkata, ‘Jadilah malaekat-malaekat untuk melayani [dia],’ dan jadilah malaekat yang tak terhitung banyaknya. Dia berkata, “Jadilah aeon[2] yang bercahaya terang,’ dan jadilah dia.

Dunia ini diciptakan bukan oleh Tuhan, tetapi oleh malaekat. Dalam kepercayaan Yunani, dunia ini tidak diciptakan oleh Allah Sang Pencipta, tetapi oleh demiurgos, yaitu ilah yang lebih rendah. Dalam literatur Gnostik, demiurgos ini disebut juga Yaldabaoth (lih. hal. 29). Bagaimanakah menurut pembaca catatan penciptaan seperti itu? Tentu para pembaca telah dapat mengambil kesimpulan pribadi.

Pada mulanya adalah Kecurigaan

Titik pijak terhadap Alkitab itulah yang penting. Dimulai dari kepercayaan, maka iman kita pun akan sampai kepada pemahaman bahwa Alkitab sungguh-sungguh dapat diandalkan. Alkitab benar-benar truthful. Sebaliknya, bila seseorang memulai dari keyakinan bahwa Alkitab tidak benar dan tidak dapat diandalkan dalam pengajaran dan apa pun yang berkenaan dan berita yang di dalamnya, maka ia pun akan sampai kepada pemahaman bahwa Alkitab itu dapat bercacat dalam memberikan pedoman.

Komitmen bahwa Alkitab itu benar sama sekali tidak membuat seseorang melangkah dalam iman yang buta, menjadi fideis, pokoknya percaya atau menjadikan Alkitab sebagai buku primbon dan mantra ampuh petunjuk hidup! Juga kepercayaan ini tidak membuat Alkitab sebagai buku yang statis. Alkitab akan terus dihidupkan oleh Roh dalam diri orang percaya.

Kekristenan memasuki era pascamodernitas, yang slogan utamanya adalah: JANGAN MEMUTLAKKAN! Baik, kita terima dulu slogan ini. Masalah yang selanjutnya ditawarkan oleh pascamodernitas adalah “tidak ada kebenaran yang objektif,” atau lebih halus dibungkus dalam kalimat “tidak seorang pun dapat memahami kebenaran yang objektif itu.” Memang arif. Tetapi bagaimana bila akhirnya kita diperhadapmukakan pada Injil Yudas dan segera setelah ini menyusul pula penerbitan-penerbitan lain? Banyak orang Kristen kebingungan menentukan sikap.

Justru di sinilah pentingnya sola scriptura. Komitmen bahwa Alkitab itu benar dan cukup untuk mengajarkan kebenaran kepada jemaat dalam menghadapi era pascamodern yang tak mungkin dapat dibendung. Bagaimanakah caranya menghadapi arus zaman yang kian permisif dan membolehkan segala sesuatu? Alkitab harus semakin terbuka di dalam jemaat. Hamba Tuhan dan jemaat mencintai pengajaran yang benar dan membangun imannya dari dasar yang paling suci.

Akhirnya, patut disayangkan bila ada gereja atau hamba Tuhan yang dengan mudahnya melakukan sensor terhadap film semacam The Da Vinci Code atau Injil Yudas hanya karena semuanya ini salah. Oh, kebenaran tidak didapatkan karena yang lain-lain salah, lho! Sensor dalam gereja hanya menunjukkan stereotipe kecurigaan sebagian orang bahwa gereja memiliki semacam konspirasi untuk menyembunyikan sesuatu. Kekristenan yang penuh sensor hanya menguak kebodohan orang Kristen yang takut terancam eksistensi zona amannya. Dalam pada itu, betapa indahnya bila kaum beriman menjadi paham secara intelektual mengenai ideologi, filsafat di balik publikasi modern ini.

Bacalah Injil Yudas dengan cerdas. Ajaklah saudara-saudara seiman untuk mengadakan Penelaahan Alkitab di gereja mengenai tulisan-tulisan kuno di samping tulisan kanonik. Anda akan berjumpa dengan sendirinya betapa berbedanya konteks filosofis dan wawasan dunia yang ada dalam tulisan-tulisan itu, dibandingkan dengan tulisan suci yang kita miliki. Keyakinan Anda mengenai kenapa Gereja menentukan tulisan ini masuk dalam kanon PB akan makin bertambah. Iman Anda pun akan kian diperkaya karena Anda berhasil melakukan investigasi pribadi, bukan karena kata orang saja. Allah tidak akan mengecewakan Anda dalam proses pencarian yang luhur ini. Percayalah!

TERPUJILAH ALLAH!
(leNin_090806)


[1]Bahasa Kopt atau Koptik adalah satu varian bahasa Mesir. Setelah Iskandar Zulkarnaen (Alexander Agung) menaklukkan Timur Tengah pada abad ke-IV, bahasa Kopt memakai alfabet Gerika (Yunani) dengan beberapa tambahan huruf. Kitab-kitab yang ditemukan di Nag Hammadi juga ditulis dalam bahasa Kopt.
[2]Aeon adalah dewata berselubung cahaya.

No comments:

Post a Comment