Caranya?
Adalah benar bahwa tidak seorang pun dapat membuat penilaian atau penghakiman yang sempurna. Kecuali Tuhan Yesus sendiri! Bahkan para saleh dan leluhur iman kita pun bisa tidak sepakat dalam hal-hal tertentu. Mempelajari sejarah gereja, ketidaksepakatan memang ada. Yohanes Calvin menentang Kardinal Sadoleto. Martin Luther melawan Erasmus. George Whitefield melawan John Wesley. Ini baru wacana mengenai kedaulatan Tuhan dan kehendak bebas manusia di seputar zaman Reformasi!
Pertentangan para pemimpin gereja itu kerap menjadi senjata, sehingga banyak orang malas mempelajari teologi. Yang ini melawan yang itu. Yang di
Dalam pada itu, mari kita mencoba melihat sisi lain. Dalam sejarah gereja, ada upaya-upaya doktriner untuk mempersatukan keyakinan Gereja Tuhan. Di tengah kontroversi mengenai Perjamuan Tuhan antara Luther dan Zwingli, Yohanes Calvin menengahi. Martin Bucer menjadi pelopor reformasi yang memotivasi Strassburg menjadi kota yang sejuk dan damai bagi kaum Protestan, Katolik bahkan Anabaptis. Dari sini dapat disimpulkan, pemahaman yang benar akan doktrin justru mendorong upaya-upaya penyatuan tubuh Kristus.
Beberapa prinsip yang perlu kita pegang dalam memberikan penilaian mengenai ajaran adalah sebagai berikut.
Pertama, kerendahan hati, bukan kesombongan. Mentalitas Farisi yang dibedah habis oleh Yesus adalah kesombongan yang tidak peka dengan kesalahan sendiri. Coba perhatikan Matius 7.3-4, “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui? Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu?”
Yesus nampaknya sedang mengajar dengan bercanda. Coba bayangkan, suatu kali Anda melihat di gereja seseorang yang di matanya menempel balok besar. Lalu orang itu berkata kepada kawannya, “Hai kawan, di matamu ada bubuk kayu. Mari kuambilkan!”
Mari kita renungkan hidup menggereja saat ini. Ada orang yang memiliki keprihatinan terhadap pembangunan tubuh Kristus. Gereja harus menjadi gereja yang tertata dan berjalan dengan benar: baik dalam pengajaran mimbar, dalam administrasi, maupun dalam kegiatan-kegiatan komisi. Itu baik.
Namun, upaya untuk itu ialah dengan menyodorkan sederet nama pengkhotbah ternama dan terlaris. Supaya jemaat dibangunkan dari “tidur rohani”! Kalau perlu, dicarikan sponsor khusus sebagai pendukung. Kalau dicermati, sesungguhnya orang ini sama sekali tidak berminat dalam kebenaran! Balok di matanya belum pula ia singkirkan, sementara ia sibuk dengan bubuk-bubuk kayu yang ada di mata orang lain.
Atau mungkin saja, seseorang tidak berani menilai ajaran, ya karena integritas hidupnya diragu-ragukan! Alias, ia tahu tentang banyak yang benar, tetapi sedikit bertindak yang benar.
Apabila seseorang hendak jujur di hadapan Tuhan, dan bila hasratnya semata-mata untuk menyenangkan hati Allah, maka ia tidak akan sembarangan menjatuhkan penghakiman ke pihak lain. Bukan karena lebih senior sehingga merasa banyak tahu dan tahu banyak. Bukan karena telah membaca lebih banyak buku. Tetapi semata-mata karena sadar diri akan posisinya di hadapan Allah dan Mesias Yesus; orang ini tidak akan menghakimi dengan motivasi dan cara yang salah. Maka, semakin kita rendah hati, semakin besar belas kasihan yang kita tunjukkan kepada orang lain.
Kedua, berdasarkan fakta-fakta, bukan omong kosong. Semakin cepat kita menghakimi, semakin sedikit pula data yang kita pakai untuk melandasi argumentasi kita. Ada orang yang tahu banyak informasi, tetapi berserakan dan tidak tersusun. Ia cenderung cepat untuk menghubung-hubungkan informasi yang ada di kepalanya, menurut hasrat, naluri dan intuisi untuk menentang lawan debatnya. Yang paling gampang dimainkan ialah kutip-kutip ayat-ayat Alkitab. Marilah kita mendengar nasihat firman Tuhan mengenai hal ini, “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” (Ams. 18.13).
Seorang kawan saya, yang sangat kritis dan mengenyam pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota besar di Jawa Timur, pernah bertukar pikiran dengan seorang sahabatnya, Markus (bukan nama asli), mengenai fenomena KKR kesembuhan ilahi. Karena terdesak, Markus berkata, “Kamu tidak boleh menghakimi. Bagaimana kita tahu bahwa itu bukan dari Tuhan?”
Kawan saya segera menjawab, “Lhoo sebentar, saya punya data, dan saya melakukan pengamatan. Dari data itu, saya berkesimpulan, fenomena yang sedang marak ini sebagai tidak benar. Anda tidak punya. Ketika saya ungkapkan data saya, Anda malah mengatakan saya menghakimi. Nah, bukankah Anda yang telah menghakimi saya dengan tanpa data?”
Ya benar, Anda mungkin bertanya, memangnya berapa banyak data sih yang kita punyai? Jelas tak seorang pun yang menguasai semua data. Isi kepala kita ada batasnya. Penilaian kita mengenai sesuatu bisa salah. Namun, untuk menghindarkan diri dari penyimpulan yang sembrono, maka kita harus terus melatih diri untuk mengolah data, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap data yang kita punyai, dan memiliki saksi-saksi.
Patutlah diingat, orang-orang yang mencintai pengajaran dan para pengembara kebenaran terus belajar untuk mengendalikan penghakiman. Tentu saja, dakwaan boleh ke semua pengkhotbah, tiap kali mendengarkan firman, tiap kali membaca buku atau menonton film. Bila kita tahu kita tidak memiliki informasi yang cukup, berhati-hatilah! Fakta yang cukup, data yang kuat dan argumentasi yang logis itu perlu.
Ketiga, perihal kata-kata dan tindakan, bukan motivasi. Kata orang bijak, “Dalamnya laut dapat diterka, dalamnya hati siapa tahu?” Hanya Tuhan saja yang mengetahui isi hati. Bila Anda mengikuti kebaktian di suatu gereja dan mendengar sang pengkhotbah berkata, “Bawa kemari hartamu! Itu akan menjadi investasimu di surga. Tuhan akan melipatgandakannya!” Anda kemudian berpikir bahwa si pengkhotbah itu tamak harta. Bagaimana Anda tahu, bila Anda tidak mengenalnya?
Yang Anda dapat ketahui dari kesaksian Alkitab adalah bahwa pengkhotbah itu mengikuti jalan guru-guru palsu. “Dan karena serakahnya guru-guru palsu itu akan berusaha mencari untung dari kamu dengan ceritera-ceritera isapan jempol mereka. Tetapi untuk perbuatan mereka itu hukuman telah lama tersedia dan kebinasaan tidak akan tertunda” (2Ptr. 2.3).
Jadi, kita seharusnya mengajukan kritik atas doktrin, metode dan
Mari mengingat selalu perintah Yesus untuk pertama-tama menyisihkan balok di mata kita sendiri. Kemudian, motivasi kita seharusnya ditujukan untuk membimbing orang lain, dengan cara meneguhkan orang lain kepada jalan keselamatan yang sejati. Mari kita selalu terbuka kepada Allah yang menyelidiki hati kita yang paling dalam!
Keempat, isu-isu alkitabiah, dan bukan selera-selera pribadi. Bila Anda hendak mengritik, tanyakanlah: Kebenaran alkitabiah apa yang sedang disangkal? Kebenaran alkitabiah apa yang sedang digeser? Kebenaran apa yang sedang diabaikan? Kebenaran apa yang ditekankan secara tidak seimbang?
Memang, kita tidak mungkin dapat setuju dalam segala hal. Pemahaman yang terbatas itu dikendalikan oleh latar belakang dan pengalaman kita. Dalam menilai, hendaklah kita mampu merujuk pada ayat Alkitab atau prinsip kebenaran alkitabiah, sembari menyadari bahwa prinsip tersebut terbuka untuk dikoreksi. Perhatian dan motivasi kita adalah apa yang Allah nyatakan dalam Alkitab, bukan minat dan selera pribadi.
Tuhan Yesus menentang orang-orang yang menyelewengkan Kitab Suci. Rasul Paulus pun memperingatkan gereja untuk tidak digeser dari kebenaran Injil. Para penulis Surat-surat Umum dengan berkobar-kobar menyerukan agar gereja mengingat iman yang diajarkan oleh rasul-rasul Tuhan, dan menegaskan satu-satunya Kristus yang benar. Hal ini kiranya membuat ingat mengingat terus, pemahaman yang selama ini kita terima bisa saja salah. Namun kita dapat mengevaluasi demikian itu bila kita melakukan pertimbangan-pertimbangan dengan data yang baru.
Akhirulkalam
Sebaris kalimat dalam lagu Project Pop, “Apa yang dapat mempersatukan kita? Salah satunya dengan musik . . . Dangdut is the music of my country” menggelitik kita untuk berpikir. Apa yang mempersatukan orang Kristen? Paling tidak, substansi iman Kristen seperti tertuang dalam Pengakuan Iman Rasuli. Ada banyak hal yang berbeda pada masing-masing gereja. Namun gereja-gereja yang sejati adalah pewaris tradisi suci para rasul. Gereja-gereja Reformasi di seluruh dunia pun memiliki pengakuan-pengakuan masing-masing. Terdapat perbedaan di sana-sini. Tetapi, seperti yang diamati oleh Shirley C. Guthrie, teolog veteran dari Amerika Serikat, ada banyak persamaan yang mendasar, yang mencirikan gereja-gereja tersebut sebagai reformed.
Bagaimana gereja menghadapi pergumulan tentang ajaran sehat? Gereja harus berani mengambil posisi di atas dasar kebenara Tuhan sebagaimana diwahyukan di dalam Alkitab. Firman Tuhan adalah satu-satunya landasan. Gereja adalah pewaris kebenaran Allah. Apa yang bukan berasal dari firman Tuhan, gereja tidak perlu takut untuk memberi penilaian. Bila gereja berani mencoba-coba lalai untuk mempertahankan pokok-pokok dasar iman Kristen, maka kita pun akan kehilangan pengharapan akan kesatuan sejati dari tubuh Kristus!
TERPUJILAH ALLAH!