Saturday, December 22, 2007

Natal Itu . . .


Natal tentu bukan peristiwa baru bagi kita. Berpuluh-puluh kali kita merayakannya. Dalam satu kali masa raya Natal, seorang rohaniwan bisa-bisa mengikuti Natal sampai dua puluh acara! Natal memang masa yang sibuk! Aneh, suatu paradoks! Kendati disebut sebagai holiday season, musim liburan, namun Natal adalah masa yang paling sibuk bagi rohaniwan, bagi majelis jemaat, bagi pengurus komisi dan bagi aktivis-aktivis Kristen.

Namun demikian, tak jarang kita malahan telah melupakan bahwa Natal merupakan kelahiran Yesus, yang kita sanjung dan sembah sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kita lupa bahwa Natal menjadi peristiwa kelahiran yang paling revolusioner! Betapa tidak, kelahiran bayi yang mungil di dusun Betlehem telah membuat gonjang-ganjing kerajaan boneka pimpinan Herodes agung, kegelisahan di hati para imam, ketidaktahuan orang-orang Yahudi bahwa pada waktu itulah, lahir Raja Mesias yang mereka nanti-nantikan kedatangan-Nya selama ribuan tahun!

Ah, jangan-jangan kita pun laksana orang-orang yang dekat dengan berita Mesias, tetapi tak tahu menahu, acuh tak acuh dengan kedatangan-Nya. Bukankah berita Natal telah kita hapal dengan baik? Siapa saja yang terlibat di dalam kisah itu, di mana terjadinya, tragedi apa saja yang mengikuti kelahiran sang Bayi. Justru di situlah titik ketika kita tak lagi siap menyambut kedatangan Kristus.

Kesibukan di tiap Natal, terkadang telah merampas kedamaian dan makna terdalam dari kedatangan Sang Mesias yang memberikan kita hidup, dan memberikannya dengan berkelimpahan. Tak kurang sibuknya kita mempersiapkan perayaan dan pagelaran besar-besaran, sementara pintu hati kita masih tertutup bagi kedatangan-Nya, bagai para pemilik rumah di Betlehem yang berkata kepada Yusuf dan Maria, “Tak ada tempat lagi di sini!” Natal, telahlah hilang maknanya di hati kita, dan Kristus tidak dilahirkan di palungan hati kita.

Ironis, sungguh! Mereka yang siap justru orang-orang yang tidak diharapkan. Para gembala yang adalah warga kelas paria di dalam stratifikasi masyarakat Yahudi, para majus dari Timur yang oleh orang Yahudi dianggap najis, karena secara garis keturunan, mereka tidak ada kait-mengaitnya dengan Abraham, Bapa iman yang mereka banggakan; mereka tidak mengenal Taurat yang diturunkan Allah kepada Musa, hamba Allah.


Kepada orang-orang yang tidak terduga, dan tidak diharapkan ini, sukacita itu justru dinyatakan. Pagelaran kantata akbar paduan suara surga dipentaskan di padang Efrata! Bintang yang kemilaunya tiada tara dicermati oleh orang-orang majus. Dan, merekalah yang bergegas untuk pergi menjumpai Sang Raja di dalam palungan Betlehem.

Di tengah-tengah hiruk-pikuknya musim Natal yang pada kenyataannya merupakan high season bagi kita, marilah sejenak kita menarik diri dari keramaian. Izinkan diri kita untuk menjadi orang yang tidak penting! Berilah tempat untuk tenang, tanggalkan semua atribut rohani, dan pangkat jabatan kita di kantor atau tempat kerja. Kenakanlah kini jubah orang-orang yang terpinggirkan oleh kebisingan kota yang padat, mereka yang terbuang, mereka yang masih jauh! Sebab kepada merekalah kasih karunia Allah dinampakkan dengan dahsyatnya! Bagi merekalah Kristus datang. Selama kita masih mengenakan jubah Herodes dan atribut para imam serta ahli Taurat, niscaya tak pernah kita siap menerima kedatangan Kristus.

Sajak di bawah ini mengingatkan kita semua akan arti kedatangan Kristus, dan kepada siapa Kristus mau datang.

Kristus yang dirayakan pada setiap Natal, dengarlah doaku
bagi mereka yang tidak memiliki Natal.
Bagi jutaan orang yang tidur dengan kelaparan
pada malam ini, dan pada tiap-tiap malam.
Bagi anak-anak yang di rumahnya lilin-lilin telah
dimusnahkan pada hari-hari ini oleh perang, wabah dan ketakutan.
Bagi anak-anak laki-laki dan perempuan yang tangannya menempel di kaca etalase toko
tatkala mata mereka memandangi keindahan yang tidak pernah mereka dapat sentuh.
Bagi mereka yang hati-hatinya dirobek-robek oleh kebencian, diremukkan oleh curiga,
digerogoti oleh pikiran sempit dan kecongkakan.
Bagi mereka yang tidak memiliki Natal pada hari ini,
ya Kristus yang kasih-Nya tak pernah mati, kiranya hadirat-Mu datang dengan sukacita dan kesembuhan pada sayap-sayapnya.

—Percy R. Hayward, “For Those Who Have No Christmas” in Young People’s Prayers

Tuesday, December 18, 2007

Put Christ into Christmas! (4)

Third, when we put Christ into Christmas, our lives are redeemed by our faith in love as the greatest thing in the world. High on a hill in Melbourne, Australia, stands a beautiful building known as the Shrine of Remembrance. It commemorates the people’s sacrifice during World War I. It is a thing of beauty and majesty with its Doric columns, its pyramidal dome, and its lanscaped terraces. The central hall is a great empty room lined with marble pillars. The only object in the room is the Stone of Remembrance, a sheer sheet of marble into which are cut simple words which speak beautifully of the power of love. Overhead in the dome is a small opening. After long and difficult study of the order in the universe, the architect so fixed the position of that opening that at exactly 11:00 o’clock in the morning in November 11 for one thousand years a beam of sunshine will pour down upon the Stone of Remembrance and illumine the one word “Love” in the inscription reading “Greater Love Hath No Man.”

This is a very noble gesture of man to show his regard for love as one of the great forces of life. Yet at its best it is a cold and cheerless effort compared with the ever-living monument arranged by the Heavenly Father to remind men through the centuries of the love that saves, lifts, and redeems life. For a fullness of time the divine Architect of the universe caused the light of the divine love to shine upon a child in a stable. Henceforth through all the centuries of time men shall stand in humility and awe at the remembrance of this event. It was an event that enthroned love as the divine law of life.

Love came down at Christmas,
Love all lovely, Love Divine;
Love was born at Christmas,
Star and angels gave the sign.

Worship we the Godhead,
Love incarnate, Love Divine;
Worship we our Jesus;
But wherewith for sacred sign?

Love shall be our token,
Love be yours and Love be mine,
Love to God and all men,
Love for plea and gift and sign.

Can this love redeem us today from our follies, our stupid hatreds, our sins? Can it cope with the evil forces in our kind of world? Why not dispense with Christ and all this talk of love? The answer is easy: love is our only hope.

A top research chemist of Princeton, Hugh Scott Taylor, made a startling statement. He said that if we lumped all the sources of power available to men in 1939—steam, electricity, internal combustion engines, TNT, and so on—and called them one, then the potential power available to men just eight years later, in 1947, was forty million times that amount. Is there any counterbalancing power on earth equal to the job of controlling and directing that physical power for the weal instead of the woe of man? Yes, only one. Is it in the military, in the laboratory, in money? No. It is in the power of love. Here is God’s everlasting gift to men. No other gift do the weary-footed, fear-stricken children of men need more than this. It is a gift free to all for the asking. It is ours when we put Christ at the heart of Christmas.

This love is no weak and spineless thing. It does not spend itself in vague and quieting commonplaces. Nor does it exhaust itself in tarnished tinsel and phony Santa Clauses. It is gentle, kindly, forgiving, and comforting, to be sure. But it is also strong, vital, revolutionary. It is a love that disturbs our easygoing ways with a vision of God’s hopes and dreams. It is a love that flames in indignation against the ugly and vicious aspects of life which deny God’s love and hold in contempt the Christ of Christmas. It is a love that laughs. It is also a love that weeps in agony over the cruel inhumanities and the brutal exploitations of life. It is a love that disturbs our narrow ideas with the awareness that God’s gift is for all men. It is a love that gives and suffers in defense of its own against all who hold it in mockery and scorn.

When we put Christ into Christmas, this divine love is born again in our own hearts and homes and world. Without him life becomes stagnant and diseased, bitter and self-destructive. God at Christmas would remind us that love is still supreme. He would have us know that only in its light and power does life have a chance to be cleansed and purified, redeemed and restored.

Christ of all the Christmases there have been, hear my
Prayer fot those who have no Christmas.
For the darkened millions who go to bed hungry
tonight, and all the nights.
For the children in whose homes the candles have been
put our these days by war, and pestilence and fear.
For boys and girls whose hands press against store windows
while their eyes devour the glories they can never touch.
For those whose hearts are torn by hate, twisted by prejudices,
crippled by narrowness and pride.
For these who have no Christmas this day, Christ of deathless
love, let thy presence come with joy and healing in its wings.

—Percy R. Hayward, “For Those Who Have No Christmas” in Young People’s Prayers


December 18, 2007

Put Christ into Christmas! (3)

Second, when we but Christ into Christmas, our spirit are lightened by the reawakening of our sense of joy. One of the most dramatic scenes in European history occured when Charles VIII demanded ransom from the free city of Florence. Capponi, the mayor, refused to give a groat. Charles thundered threats. “I will have my trumpets blown,” he blustered.

Capponi’s answer is immortal. “Blow your trumpets,” he shouted. “Blow your trumpets, and we will ring our bells!”

Charles went silent after this, for at the ringing of bells the hidden army of Florence would spring into being.

This story suggests the resources of the Christian in the face of the blustering threats of life. “Behold, I bring you good tidings of great joy, . . . for unto you is born this day in the city of David a Saviour, which is Christ the Lord.” Thank God that ever since that heavenly announcement the Christian has had the bells of joy ringing their music of faith and hope in his heart.

There is so much to weight us down, to burden our souls, to depress our minds, to undermine our spirits—so many doubts, so many heartaches, so many regrets, so many disappointment, so many mysteries, so many fears. In our moments of weakness their trumpets of defeat blow many a mournful blast. How shall we answer them save by the bells of joy that become real in our hearts when we put Christ into Christmas?

Almost every Christmas hymn has the dominant note of joy:

Dear Desire of every nation,
Joy of every longing heart.

Rejoice! Rejoice! Immanuel.

Joyful, all ye nations, rise,
Join the triumph of the skies.

Joy, joy, and hope, like flowers,
Spring in his path to birth.

Glad tidings of great joy I bring,
To you and all mankind.

Joy to the world! the Saviour reigns:
Let men their songs employ.

As with gladness men of old,
Did the guiding star behold;
As with joy they hailed its light.

Leading onward, beaming bright.
Till the air,
Everywhere,
Now with joy is ringing.

With them the joyful tidings first begun
Of God Incarnate and the Virgin’s Son.

Sing, choirs of angels, sing in exultation.

We rejoice in the light,
And we echo the song.

To you the joyous news we bring.

Good Christian men, rejoice,
With heart and soul and voices;
Give ye heed to what we say:
Jesus Christ is born today.

Who said that the Christian faith is a long-faced, grim, gloomy affair of negative restrictions and sad-eyed resignation? There’s nothing dreary about the faith of the Christian when Christ s at the centre of Christmas! The Christian’s very birthright is joy and gladness, which are born at Christmas into the original blood stream of the Christian life. This is no surface happiness. It is the inner radiance and lightness of spirit enjoyed by those who live in the presence of the God of triumph and love, revealed in Jesus Christ.

Modern Christians need to recover this sense of joy. We have no right to be downcast and desolate. We ought to be ashamed of ourselves for being so grouchy and pessimistic. We must quit feeding on our doubts and miseries, and begin to cultivate the singing soul and the glowing heart. Our God is a living God, and in him is reason for buoyancy and cause for rejoicing. Joy is revived by a sense of the divine. Christmas is spotlighted by the renewal of joy.

Put Christ into Christmas! (2)

First, when we put Christ into Christmas, our hearts are reveived by a renewed sense of the divine at the heart of life. On February 24, 1948, one of the most unusual operations in medical history took place in Ohio State University’s department of research surgery. A stony steath was removed from around the heart of Harry Beshara, a man thirty years of age. When only a boy he had been shot accidentally by a playmate with a .22 caliber rifle. The bullet had lodged in his heart but begun to form over the protective covering of the heart and gradually was strangling of the ribs and moving the left lung to one side. Then the stony coating was lifted from the heart as an orange is peeled. Immediately the pressure on the heart was reduced, and it responded by expanding and pumping normally. “I feel a thousand per cent better already,” said the patient soon after the operation.

There is a parable of life here. Our hearts develop a hard protective coating because of accidents and incidents of life. They are coated by the deposits of a thousand deceits and rebuffs. They are hardened by the pressures of sensitive of the divine. Ever so gradually we find it easier to sneer than to pray. It becomes simpler to work than to worship. Self-satisfied, proud, often cynical, our hearts need a spiritual operation that only Christmas can perform when we dare to surrender our hearts’ burden before the cradle of Bethlehem.

In the shadow of a little town on the wondrous night of long ago a ragged little boy watched the procession of the kings and noblemen with their chest of rare gifts for the Christ Child. His eyes filled with tears. “If only a pearl would fall from the hand of a king, then I could go too. But I am ashamed to go. I have no gifts for the Saviour.”

He was about to turn and run into the hills. Suddenly, an angel appeared before him out of the night and said, “Give what is closest to your heart.” They say that a bright star, the Christmas star, appeared in the heavens over Bethlehem as a ragged boy placed a faded blue sack beside the rubies, the gold pieces, the myyrth and frankincense. It contained the things closest to his heart: a sea shell that whispered in his ears, a piece of rope used to climb high trees, a jagged slingshot made from a forked limb, and a butterfly preserved in candlewax.

“The tappering years have moulded many things since that night in Bethlehem.” During those years men have discovered a wondrous thing. When in quiet adoration they bring to the Master the things dearest to them, the tough coating of their hearts is lifted and stars appear in their skies again.

Phillips Osgood puts this idea in these words:

He who devotes his utmost to the immediate is the creature of the temporary and insignificant. Exclusively to identify my life with the materialistic will be to make myself the slave of the accidental. If the mundane thing to which I have harnessed myself goes to flinders, I myself go with it; I have no stance for the abiding . . . I stand or fall with the accidental—money, power, fame—if the accidental is my goal. But if I am caught up by the glories which shine in the highest realities; if I bind myself, no matter in what awesome humility, to the values which motivate the universe; if I take for my ideal such a life as that of the Christ who lives in God, the spirit behind all values, worths, beauties, and joys; if I, too, lift up my life to God, I shall be above the swirl of the accidental; I shall have the infinite coursing through me.

We are like the man in the fable who had a mania for building towers. He finally succeeded in building one tower with eleven thousand stairs. Nothing like it had been made before. He was very proud. He was about to congratulate himself on his accomplishment. Then the standing on top of his tower, he looked up and saw the stars above!

God grant us the grace at Christmas to pause in our stair building—our labour and our concerns—and look up and see stars. At least see the one star leading to the Christ of the Christmas. Our hearts are revived by a renewed sense of the divine at the heart of life.

Put Christ into Christmas! (1)

Behold, I bring you good tidings of great joy.
—Luke 2.10


On July 14, 1789, Jean Lenoir, a cobbler living in an obsure side street in Paris, wrote in his diary, “Nothing of importance happened today.” Just a short distance away was the Bastille, and on that very day mob had stormed it. They killed the troops, freed the prisoners, destroyed the building, and started the French Revolution. This event changed the whole course of the life of France.

So, too often, it is with us at Christmas time. Busy with routine details of the holiday season, we are apt to ignore the fact that Christmas marks the birthday of Jesus, the most revolutionary event in history. Long accustomed to the chores of Christmas, we oftentimes go through the motions of the celebration without being aware that Christmas can have any real meaning for our own hearts.

Consider then the importance of putting Christ into our Christmas. For it is important that we ourselves gather with the Wise Men and shepherds before the manger of Bethlehem that cradles the King. There is nothing quite so gaudily and noisily out of place as Christmas without Christ.

Monday, December 17, 2007

Doa Adven IV


Doa Adven IV

Baruilah sukacita panggilan-Mu di dalam diri kami, ya Tuhan.

Tinggallah bersama kami, Tuhan, Imanuel!

Pancarkanlah Roh cinta kasih-Mu ke dalam hati kami: Jangan membiarkan siapa pun di antara kami menutup hatinya kepada sesama.

Tinggallah bersama kami, Tuhan, Imanuel!

Baruilah umat Kristiani dalam persatuan: Semoga kasih sayang-Mu dinyatakan oleh persaudaraan mereka.

Tinggallah bersama kami, Tuhan, Imanuel!

Topanglah mereka yang menderita jiwa dan raganya: Pulihkanlah mereka dalam damai dan kesehatan jasmani dan rohani.

Tinggallah bersama kami, Tuhan, Imanuel!

Sambutlah mereka yang wafat ke dalam kehidupan kekal, dan semoga mata mereka disinari dengan cahaya abadi-Mu.

Tinggallah bersama kami, Tuhan, Imanuel!

Doa Adven III


Doa Adven III

Kami bersyukur kepada-Mu, ya Allah, karena alam semesta yang mewahyukan cinta kasih-Mu.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa-Mu, dan yang dipanggil untuk hidup di dalam persekutuan dengan Dikau.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena janji akan kerajaan-Mu dalam keadilan, perdamaian, kekudusan dan belas-kasih.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena Kerajaan-Mu telah dinyatakan di tengah kami oleh Yesus Kristus, Putra-Mu.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena kelahiran dan hidup suci Putra-Mu, sabda dan tanda-tanda-Nya.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena sengsara dan kematian Putra-Mu, kebangkitan dan kemuliaan-Nya

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena Gereja-Mu yang dipanggil menjadi tempat persekutuan semua umat manusia,

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena kedatangan Kerajaan-Mu di dalam diri kami berkat karya Roh Kudus.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Karena kedatangan Kerajaan-Mu pada akhir masa, ketika Engkau akan menjadi segalanya di dalam semua orang.

Kami meluhurkan nama-Mu yang kudus.

Doa Adven II


Doa Adven II

Allah Bapa kami, kami bersyukur kepada-Mu karena engkau berkenan memanggil kami untuk mengenal dan mencintai-Mu, bahkan hidup dari-Mu.

Maranatha, Tuhan datang!

Engkau mengutus Putra-Mu yang terkasih, citra-Mu yang sempurna dan pantulan wajah-Mu sendiri. Dia menjadi sama dengan kami dalam segala hal kecuali dalam hal dosa.

Maranatha, Tuhan datang!

Di dalam Yesus, Engkau memberitakan Kabar Baik kerajaan-Mu; Engkau mengampuni kesalahan kami dan menyembuhkan luka-luka kami.

Maranatha, Tuhan datang!

Peliharalah kami dalam persekutuan kami dengan Putra-Mu; Buatlah kami selalu terjaga dalam menantukan hari kedatangan-Nya.

Maranatha, Tuhan datang!

Berikanlah damai-Mu, ya Tuhan, agar kami mampu saling membagikannya dalam kasih persaudaraan dan melayani sesama kami.

Maranatha, Tuhan datang!

Doa Adven I


Doa Adven I

O Kebijaksanaan yang keluar dari mulut Yang Mahatinggi, Engkau yang berkusasa atas semua yang ada dari Timur sampai ke Barat, Datanglah dan ajarlah kami jalan kebijaksanaan sejati.

Datanglah segera, ya Tuhan!

O Tuhan, Engkau yang menampakkan diri kepada Musa di tengah api semak duri bernyala dan memberikan hukum kepadanya di atas gunung Sinai, datanglah dan selamatkanlah kami dengan tangan teracung.

Datanglah segera, ya Tuhan!

O Bintang Kejora, Keindahan cahaya abadi dan Surya keadilan, datanglah dan sinarilah mereka yang berjalan dalam kegelapan dan di bawah bayang-bayang kematian.

Datanglah segera, ya Tuhan!

O Raja segala bangsa, Engkau yang mampu memuaskan keinginan mereka; Batu Penjuru, penyatu bangsa-bangsa yang bermusuhan: Datanglah dan selamatkanlah manusia yang Kauciptakan dari tanah.

Datanglah segera, ya Tuhan!

O Imanuel, Harapan dan Juruslamat para bangsa; datanglah dan selamatkanlah kami, Tuhan Allah kami.

Datanglah segera, ya Tuhan!

Roh dan Pengantin Perempuan berseru: Datanglah!

Amin, datanglah segera, ya Tuhan Yesus!

Saturday, December 15, 2007

Mengandalkan Allah Sumber Air Hidup


MENGANDALKAN ALLAH, SUMBER AIR HIDUP
YEREMIA 17.5-13; 2:3

Hidup manusia selalu berada dalam pertentangan antara mengandalkan Tuhan atau mengandalkan manusia. Kita selalu dibawa dalam tensi (tegangan) antara hidup yang berpusatkan kepada Allah, atau diri sendiri. Betapa sukarnya kehidupan, bukan? Bila jujur, malah kojur (Jawa, “celaka”); tetapi orang yang sifatnya "bulus," tipu sana-sini, malah mulus! Ah, haree geneee . . . masih menjadi orang yang hidupnya lurus? Mana tahan?!

Ratapan nabi Yeremia terhadap umat Allah terdengar memilukan. Dari standar manusia, dan gereja modern, nabi satu ini gagal. Ia tidak punya massa, atau paling tidak pelanggan yang terkesima, terpana dengan berita-beritanya, tengah duduk di sekitar kakinya. Berita yang ia bawa selalu memerahkan telinga. Ia tak pernah tedheng aling-aling!

Pernahkah Anda dengar pelayan firman mengatakan dari mimbar, “Terkutuklah orang . . . .”? Ah, pendeta kok mengumpat! Reaksi orang pasti demikian, bukan? Namun Yeremia, Yohanes Pembaptis, Tuhan Yesus dan rasul Paulus di PB, melakukan itu. Alasannya jelas, karena umat telah mengandalkan hikmat manusia, kecakapan manusia untuk mengutak-atik akal dan rencana untuk memegahkan diri. Tak kurang raja-raja Yehuda pada zaman Yesaya, mereka telah mengandalkan kekuatan militer. Sesungguhnya, mereka tengah merancang kematian untuk dirinya sendiri!

Perhatikan kata “licik”; kata Ibraninya ‘aqobh (bdk. 2 Raj. 10.19 dipakai “akal”). Dari kata ini muncul kata yakobh atau “Yakub,” seseorang yang “menipu, merampas, mengeksploitasi, merekayasa.” Nabi membedah hati manusia yang tidak mengandalkan Tuhan. Akar dari dosa adalah menggeser kepatuhan kepada Allah! Hendaklah kita ingat, kesalahan yang satu selalu melahirkan dosa yang baru.

Di tengah berita yang “keras,” firman Tuhan memberikan pengharapan. Titik akhir kehidupan seseorang ditentukan oleh objek keyakinannya. Berbahagialah orang yang mengandalkan Yahweh! Menarik bila kita cermati: dari dulu, Palestina adalah tanah yang gersang dan tandus. Air sangat berharga, dan barang langka. Tak ada kehidupan bila tanpa air. Allah pun tak kurang dari pentingnya air bagi kehidupan! Bila demikian, “kita mengandalkan siapa” sungguh-sungguh merupakan urusan hidup dan mati. Pilih mengandalkan Allah? Atau, mengandalkan diri sendiri? Tidak ada pilihan ketiga!

Memasuki Minggu Adven III, marilah bersukacita di dalam Allah! Kedatangan Tuhan Yesus kian dekat. Sumber air kehidupan itu sedang mengalir mendekat. Juruselamat sedang datang! Telah siapkah kita untuk menyambut-Nya? Mari, kita tanggalkan kedukaan dan keputusasaan, gantikan dengan pengharapan. Arahkan hati kepada Allah! Terpujilah Allah!

Wednesday, December 12, 2007

«Libérer le fond de bonté»--Paul Ricoeur

Irruptions de bonté

Qu’est-ce que je viens chercher à Taizé ? Je dirais une sorte d’expérimentation avec ce que je crois le plus profondément, à savoir que ce qu’on appelle généralement la religion a à faire avec la bonté. C’est un peu oublié, en particulier dans plusieurs traditions du christianisme. Je veux dire qu’il y a une sorte de resserrement, de renfermement sur la culpabilité et le mal. Non pas du tout que je sous-estime ce problème, qui m’a beaucoup occupé pendant plusieurs décades. Mais, ce que j’ai besoin de vérifier en quelque sorte, c’est qu’aussi radical que soit le mal, il n’est pas aussi profond que la bonté. Et si la religion, les religions, ont un sens, c’est de libérer le fond de bonté des hommes, d’aller le chercher là où il est complètement enfoui. Or ici à Taizé, je vois des irruptions de bonté dans la fraternité entre les frères, dans leur hospitalité tranquille, discrète, et dans la prière, où je vois des milliers de jeunes qui n’ont pas d’articulation conceptuelle du bien et du mal, de Dieu, de la grâce, de Jésus-Christ, mais qui ont un tropisme fondamental vers la bonté.

Le langage de la liturgie

Nous sommes accablés par les discours, par les polémiques, par l’assaut du virtuel, aujourd’hui, il y a comme une zone opaque, et il y a cette certitude profonde à libérer, à délivrer: la bonté est plus profonde que le mal le plus profond. Il faut non seulement sentir cela, mais lui donner un langage, et le langage donné à Taizé, ce n’est pas le langage de la philosophie, ni même de la théologie, mais le langage de la liturgie. Et pour moi, la liturgie, ce n’est pas simplement de l’action, c’est une pensée. Il y a une théologie cachée, discrète, dans la liturgie, qui se résume dans cette idée que «la loi de la prière, c’est la loi de la foi».

De la protestation à l’attestation

Je dirais que la question du péché a été comme déplacée du centre par une question, en un sens peut-être plus grave, qui est la question du sens et du non-sens, de l’absurdité. (…) Nous sommes de la civilisation qui effectivement a tué Dieu, c’est-à-dire qui a fait prévaloir l’absurde et le non-sens sur le sens. Je pense qu’il y a là une protestation profonde, et j’emploie le mot protestation comme très proche d’attestation. Je dirais que l’attestation, maintenant, procède de la protestation, et que le néant, l’absurde, la mort, ne sont pas le dernier mot. Et alors cela rejoint ma question de la bonté, parce que la bonté n’est pas seulement la réponse au mal, mais c’est aussi la réponse au non-sens. Dans protestation il y a le mot testis, témoin ; on «pro-teste», mais avant qu’on puisse «a-tester», et je dirais qu’à Taizé, on fait le chemin de la protestation à l’attestation, et ce chemin passe par ce que je disais tout à l’heure: la loi de la prière, la loi de la foi. Parce que la protestation est dans le négatif encore: on dit non au non. Et là, il faut dire oui au oui. Il y a donc un mouvement de bascule de la protestation à l’attestation. Et je pense qu’il se fait par la prière. J’ai été très touché ce matin, par les chants, ces prières en forme de vocatif: «Ô Christ…». C’est-à-dire que nous ne sommes ni dans le descriptif, ni dans le prescriptif, mais dans l’exhortatif et dans l’acclamation! Et, je pense qu’acclamer la bonté, c’est l’hymne fondamental.

«Qui nous enseignera le bonheur?»

J’aime beaucoup le mot bonheur. Longtemps, j’ai pensé que c’était soit trop facile, soit trop difficile de parler du bonheur. Et j’ai dépassé cette pudeur. Ou plutôt je l’approfondis, cette pudeur, en face du mot bonheur. Je le prends dans toute la variété de ses significations, y compris celle des Béatitudes. Je dirais que la formule du bonheur c’est: «Heureux celui qui…» Alors, le bonheur, je le salue comme justement une «re-connaissance», dans les trois sens du mot: je le reconnais comme étant mien, je l’approuve chez autrui, et j’ai de la gratitude pour ce que j’en ai connu, ces petits bonheurs, parmi lesquels ceux de la mémoire, pour me guérir des grands malheurs de l’oubli. Et c’est là que je fonctionne à la fois comme philosophe, nourri des Grecs, et lecteur de la Bible et de l’Évangile, où on peut suivre le parcours du mot bonheur, mais dans les deux registres. Parce que le meilleur de la philosophie grecque est une réflexion sur le bonheur, le mot grec eudaimon—on a parlé de l’eudémonisme philosophique, chez Platon, chez Aristote—, et je m’y retrouve très bien avec la Bible. Je pense tout d’un coup au début du psaume 4 : «Ah! qui nous enseignera le bonheur ?» C’est une question un peu rhétorique, mais qui a sa réponse dans les Béatitudes. Et les Béatitudes, c’est l’horizon de bonheur d’une vie sous le signe de la bienveillance, parce que le bonheur, ce n’est pas simplement ce que je n’ai pas, ce que j’espère avoir, mais aussi ce que j’ai goûté.

Trois figures du bonheur

Je réfléchissais récemment sur les figures du bonheur dans la vie. Je dirais qu’à l’égard de la création, de ce beau paysage en face de moi, le bonheur, c’est l’admiration. Et puis, deuxième figure, c’est à l’égard des autres, dans la reconnaissance des autres, et sur le modèle nuptial du Cantique des cantiques: c’est la jubilation. Et puis, troisième figure du bonheur, tournée vers le futur, c’est «l’expectation»: j’attends encore quelque chose de la vie. J’espère avoir le courage devant le malheur que je ne connais pas, mais je m’attends encore à du bonheur. J’emploie le mot «expectation», je pourrais en employer un autre, je pense à la première épître aux Corinthiens, dans le chapitre précédant le fameux chapitre 13 sur la charité qui comprend tout, qui excuse tout, etc. Le chapitre précédent commence par: «Aspirez au don le plus grand.» «Aspirez, aspirez». Je dirais donc que c’est le bonheur d’aspiration qui complète le bonheur de jubilation et le bonheur d’admiration.

Un service joyeux

Ici, ce qui me frappe d’abord dans tous les petits services quotidiens de liturgie, dans les rencontres de toutes espèces, les dîners, les conversations, c’est l’absence complète de relations de domination. J’ai quelquefois l’impression que, dans cette espèce d’exactitude patiente et silencieuse de tous les actes des membres de la communauté, tout le monde obéit sans que personne ne commande. De cela résulte une impression de service joyeux, comment dirais-je, d’obéissance aimante, oui, d’obéissance aimante, qui est donc tout le contraire d’une soumission et tout le contraire d’une errance. Ce chemin généralement étroit entre ce que je viens d’appeler soumission et errance est ici largement balisé par la vie communautaire. Or c’est de cela que nous, les participants, –non pas ceux qui assistent, mais qui participent–, comme je crois l’avoir été et l’être ici, nous bénéficions. Nous bénéficions de cette obéissance aimante que nous avons précisément à l’égard de l’exemple donné. La communauté n’impose pas une sorte de modèle intimidant, mais, comment dirais-je, une sorte d’exhortation amicale. J’aime ce mot d’exhortation parce que nous ne sommes pas dans l’ordre du commandement, et encore moins de la contrainte, mais nous ne sommes pas non plus dans l’ordre de la méfiance et de l’hésitation, qui est le lot aujourd’hui de la vie dans les métiers, dans la vie urbaine, dans le travail comme dans les loisirs. C’est cette tranquillité partagée qui pour moi représente le bonheur de la vie auprès de la communauté de Taizé.

"Expérience spirituelle et ouverture créatrice sur le monde"

Écrivain et théologien, professeur à l’Institut de théologie orthodoxe Saint-Serge à Paris, Olivier Clément s’efforce en particulier de faciliter la rencontre entre l’Orient et l’Occident chrétiens. Cet article est tiré de "Taizé : Un sens à la vie".

Je me souviens d’un jeune intellectuel japonais qui était venu soutenir une thèse à Paris sur Nicolas Berdiaev et les intellectuels russes du début du XXe siècle qui avaient été adeptes du marxisme et qui s’en étaient finalement dégagés. Je lui avais demandé pourquoi il avait choisi ce thème, et il m’avait répondu : «Moi aussi, j’étais marxiste, et j’ai cessé de l’être, désormais.» Nous avions échangé, et je lui avais posé la question suivante: «Est-ce que cela vous amène à approfondir le bouddhisme ou le shintoïsme?» Il m’avait alors répondu: «Non, cela ne m’intéresse pas. Ce qui m’intéresse, c’est un christianisme comme celui de Berdiaev: un christianisme qui permettrait à la fois d’avoir une expérience spirituelle profonde et de s’ouvrir sur le monde d’une manière créatrice.»

C’est le lien entre une expérience spirituelle profonde et une ouverture créatrice sur le monde qui est au cœur des rencontres animées à Taizé, celles-ci s’articulant depuis de nombreuses années autour du thème «vie intérieure et solidarités humaines». Et c’est ce christianisme-là qui doit être visé, car plus on devient un homme de prière, plus on devient un homme de responsabilité. La prière ne libère pas des tâches de ce monde: elle rend encore plus responsable. Rien n’est plus responsable que de prier. Cela, il faut véritablement le comprendre et le faire comprendre aux jeunes. La prière n’est pas un divertissement, elle n’est pas une sorte de drogue pour le dimanche, mais elle nous engage dans le mystère du Père, dans la puissance de l’Esprit Saint, autour d’un Visage qui nous révèle tout visage, et nous fait finalement serviteurs de tout visage.

Si se faire serviteurs de tout visage peut prendre la forme concrète d’une présence auprès de ceux qui souffrent d’abandons humains, de la pauvreté–comme c’est le cas, par exemple, pour une vingtaine de frères de Taizé qui vivent dans des quartiers déshérités sur d’autres continents–, cela nous appelle aussi à être des gens inventifs, créateurs dans tous les domaines, y compris le domaine économique, le domaine d’une civilisation planétaire, le domaine culturel, etc. Le christianisme doit être créateur, et il a été prodigieusement créateur historiquement. Il suffit pour s’en rendre compte de regarder les églises romanes de villages de campagne, sans parler de Notre-Dame de Paris ou de l’icône de la Trinité de Roublev! Quelle puissante création! Et il n’y a pas besoin d’une étiquette pour créer. Dostoïevski ne disait pas qu’il était un romancier chrétien. Or il est un de ceux qui ont fait franchir un pas extraordinaire à la sensibilité, à la pensée et, j’ajouterais même, à la théologie chrétiennes. Nombreux sont ceux qui le lisent actuellement, il est l’un de «pères» de la modernité, tout autant que Freud, Nietzsche et hier Marx. Alors aux chrétiens de recommencer et de poursuivre cette création dans le monde comme il va, sans se lamenter. Le monde n’a pas besoin de chrétiens pleurnichards, mais de chrétiens créateurs.

Wednesday, December 5, 2007

Abdi Dalem, Jangan Mau Ketinggalan!

Meskipun abdi dalem keraton,
dalam kemajuan teknologi ya nggak kalah dunkz!

Ibadah Doa Taize

Pdt. Stefanus Christian Haryono memberi penjelasan tentang Taize

Hhhmm, agak gelap! Yach namanya juga Doa Taize

Ibadah Doa Quaker

Semua hening! Silence, itulah kata kunci doa Quaker

Seorang Quaker dari Filipina

Janet Scott dari Inggris, seorang Quaker

Seorang peserta dari Australia

Nah, kalau ini adalah peserta Mennonite dari Korea

Tuesday, December 4, 2007

Outing . . . ke Keraton Surakarta!!! 3

Wisata religius dilanjutkan ke kediaman Gusti Pangeran Dipokusuma, untuk mengadakan dialog antaragama.
Ini adalah tempat untuk samadi. Gambar kiri tersusun dari keramik, menggambarkan Sri Susuhunan Paku Buwana XI, dan sebelah kanan adalah istri. Tempat yang tertutup di tengah foto ini sering dianggap wingit, sakral dan bahkan keramat, karena tempat ini biasanya dipakai untuk persemayaman jenasah Paku Buwana.

Pdt. Dr. Paulus Sugeng Widjaja berbicara kepada Dale Hess dari Australia

Outing . . . ke Keraton Surakarta!!! 2

Memasuki bagian dalam keraton, bau tercium adalah kemenyan yang dibakar, serta terdengar suara gamelan keramat mengalun melantunkan lagu-lagu karya Paku Buwana yang sudah kuno.

Lukisan Paku Buwana X naik kereta kencana

Di bangsal Sasana Handrawina, tempat jamuan resmi untuk para tamu. Delegasi HPCIC memberikan kenang-kenangan untuk Sri Susuhunan Paku Buwana XIII berupa tempat pembakaran ratus (dupa) yang harum, khas Jepang, buatan seniman Hiragawa yang masih berusia 38 tahun.

Peserta melihat-lihat museum keraton.

Outing . . . ke Keraton Surakarta!!!

Di gerbang depan
Di pintu disambut oleh Gusti Pangeran Puger
Di depan pintu dalam keraton, sandal harus dicopot!

Keraton Surakarta didirikan oleh Sri Susuhunan Paku Buwana II pada tahun 1745.

Hari Kedua: Religious Pluralism

Yoshihiro Inamine, Presiden Asia Mennonite Conference menanggapi penyaji mengenai religious pluralism.
Hhuiih, ngotot juga nih orang Jepun masalah pluralism, inclusivism, and exclusivism, hehheee . . .

Penyaji makalah religious pluralism adalah Pdt. Dr. Aristarchus Sukarto, rektor Universitas Krida Wacana, Jakarta dan Ketum Sinode GKMI. Perlu disimak buat orang yang masih curiga dengan yang namanya pluralism.

Hari Pertama: Injustice

Diskusi mengenai injustice dipimpin oleh Janet Scott, seorang Quaker dari Inggris. Sebelah kanannya Joe Vallentine, nominee Nobel Perdamaian, dan Jarrod McKenna, seorang pengajar yang aktif mengajarkan perdamaian transformasi konflik ke anak-anak kecil. Jarrod juga cerita pengalamannya waktu ada demonstrasi. It's really moving!
Delegasi dari Gereja Injili di Tanah Jawa, gereja Mennonite tertua di Indonesia. Di depannya Dr. Gerry Guiton


Para peserta serius. Perempuan yang dekat dengan kita adalah Joe Vallentine, salah satu nominee Nobel Perdamaian Dunia. Dia mengabdikan diri untuk anti-Nuklir.

Dr. Gerard Guiton menyampaikan bahwa Kerajaan Allah adalah di dalam hati. Hhhmm, Quaker bangettt!

Diskusi Kelompok Pra-acara


Dari Brethren

Peserta dari Friends atau Quaker

Acara Pembukaan HPCIC

Tarian Pembukaan, iring-iringan penari akan melepas sepasang merpati sebagai tanda perdamaian
Hadirin menyaksikan film singkat pembukaan Peace in Our Land

Pdt. Dr. Paulus Sugeng Widjaja (Mennonite, Ketua SC), Pdt. Darryl Sankey (Brethren) dan Dr. Gerry Guiton (Friends) akan menabuh gong pembukaan


Gusti Pangeran Dipokusumo dari Keraton Surakarta juga hadir dalam acara pembukaan

Pdt. Dr. Mesach Krisetya sebagai pengkhotbah di Opening Service

Didampingi oleh Pdt. Timotius Adhi Dharma, sebagai Ketua Organizing Committee

Monday, December 3, 2007

Historic Peace Churches International Conference



Latar Belakang Historic Peace Churches International Conference, Lorin Hotel Surakarta, 2-7 December 2007, by Mennonites, Brethren and Friends

Wednesday, November 28, 2007

A HISTORY OF MENNONITE CHURCHES IN INDONESIA 2


A History of Jemaat Kristen Indonesia (JKI)

Eventhough JKI was the youngest Mennonite congregation in Indonesia after GITJ and GKMI, yet it experienced the fastest growth. Within 40 years period, JKI now has 55 churches, 110 branches and 10 churches abroad. Statistics of 2002, it has 9723 members and 2332 children. Currently, the total number predicted are 15,000 members.

The moderator of JKI synod, Rev. Dr. Adi Sutanto really believes that the moment is time for harvest, as once said by Fuller professor of Church Growth, Donald McGavran, “Now the most important task of the church is effectively multiplying members among the people that is open on this earth.” This is why JKI has emphases on evangelism and congregational development. JKI Synod gives full freedom to the local congregations to develop ways of reaching out souls for the Lord Jesus Christ. The history and development of JKI can be briefly told as follows.

The revival of religiosity among youth surrounding Mount Muria in 1960-1970s has quickened the spirit of evangelism among youth in GKMI. The Neo-Revival Movement which invited preachers such as John Sung, Dzao Tze Kwang etc. has given birth to a new missionary generation among the youth. They organized groups and were motivated to serve. Among the active group was the youth group of GKMI Bangsri, which was called Sangkakala Family (Keluarga Sangkakala). The development of the ministry among the youth seemed unaccomodated by seniors in GKMI circle. Then Sangkakala Family began to hold a service once in a week. The service aimed at fanning into flame the ministry zeal. They also organized more dynamic and creative ministry activities. Yet in other hand, from GKMI circle, the fellowship and service developed by Sangkakala Family was regarded wild-sectarian fellowship which decrease the number of GKMI members.

The climax of parting of ways between GKMI and Sangkakala Fellowship happened at the Malam Oikumene (Ecumenical Night), on 1-3 March 1979 in Semarang. The program drew not less than 400 youth. They repented and dedicated their hearts to believe in Christ. Five months later, there was a Revival service that invited Ev. Jeremia Rim as preacher. There are 2186 persons that accepted new life. Since then there were revival services in Kudus, Pati, Tayu, Jepara, Salatiga, Magelang, Yogyakarta Surakarta and other areas as well as surrounding villages.

The movement increases in number, and was realized that it need a legal organization to protect it. It is impossible to take GKMI name, since the youth movement was outside of GKMI Synod’s structure and program. They like to take name of interdenominational fellowship. Yet after they has certain pattern and vision, they organize a foundation. That’s why on 1 November 1979, the Sangkakala Foundation was listed to the Department of Religion of Republic Indonesia Central Java Office, No. L.K/5/179.79 and on 4 May 1983 the Sangkakala Foundation was affirmed by the Department of Religion of Republic Indonesia Central Office at Jakarta, No. Y/H/068/83.

The foundation aimed at Evangelism and Social Ministry, which must be understood in a broad sense. As the time went on, they shape their vision at implanting new churches, schools, medical clinic, etc.

There is then urgent needs to be a mature church, for people who were the fruit of Sangkakala Ministry were to be nurtured and got further ministry. Thus, on 4 March 1979 at the house of Mrs. R. E. Christiani in Ungaran, sacrament of baptism was held to new born people. That was the foundation of Jemaat Kristen Indonesia (JKI). They use name of JKI Marantha. Its first members are 40. And service was held at 107 Gatot Subroto St., in the house of Mr. Sugiharto. In the month of March, 1983, the congregation bought a large building on 21 Brigjen Sudiarto St., and the building was used as church building up to now.

Fellowships that flourished due to evangelism and movie ministries, and became mature JKI churches are Sampeten Fellowship (Boyolali), Banyumanik (Semarang), Kelet (Jepara), Semarang and even reaches the Los Angeles (USA).

(2911071300)

A HISTORY OF MENNONITE CHURCHES IN INDONESIA 1



A History of Gereja Kristen Muria Indonesia

The foundation of Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) was not endorsed by the Dutch Mennonite board of mission (DZV). GKMI was begun with the story of a sternly stricted rich merchant who lived in a little town, Kudus, in Central Java province. His name was Tee Siem Tat. Tee’s personal encounter with Jesus Christ happened when Tee and his wife, Djoen Nio visited their uncle in Rembang, Oei Biauw An. They were introduced to Leutenant Tanuhatu, a Salvation Army priest in Rembang. At that time, Tee was suffering from a long time sickness. Tee has consumed traditional medicine, saw traditional physicians, prayed to ancestor’s spirits and gods, as well as to the modern doctors. But all were vain. When he heard the Gospel and was prayed, however, he felt extraordinary recovery in soul and body.

Having acknowledging Christianity, Tee felt life’s change which brought him to faith in Jesus Christ. Leutenant Tanuhatu was a spiritual mentor for his family. A word that came out of Tee’s mouth was, “Freely you have received, freely give!” (Matt. 10:8, NIV). Uttering that word, Tee freed birds to the air. Since then, Tee became an evangelist with healing gift. He was ever asked to pray for a daughter of his good colleague, Sie Giok Goen, who suffered from eyes illness. Tee gave testimony of his own life’ experience, and prayed for her’s eyes. She got recovered. The whole family received the Lord Jesus, even Sie Giok Goen became messanger to the Gospel of Christ.

Tee’s ministry flourished among the Chinese people, and this motivated Tee to find a church to nurture the Chinese community he won for Christ. Tee tried the Salvation Army, yet he found obstacles due to the baptism rite with flag. He approached the Seventh Day Adventists group, but he did not find any justification for their strict practices of clean/unclean food and obedience to the Sabbath day. He acknowledged that Christ’s grace was sufficient. Salatiga mission had ever visited and ministered Tee’s group, but in virtue of distance and effectivity, then in 1919, Salatiga Mission Camp wrote letter to DZV Mennonite mission which resided in Margorejo (Tayu) to approach Tee’s group. At that time, Mennonite mission has concerns to this group.

Tee’s group decided to join the Mennonite denomination. Tee and his group found teaching that matched with their faith that gave weight the Gospel of Jesus Christ. Three years later, on 6 December 1920, Tee and colleagues consisted of 25 persons (16 from Kudus, 6 from Mayong and 3 from Tanjung) received baptism, ministered by Nicollai Thiessen of DZV. The increase of members was rapid and reached to surrounding areas, such as Tanjungkarang (4 miles from Kudus) and Mayong (12 miles from Kudus). On 27 September 1925, Kudus group took a brave decision to organize themselves, by choosing elders. They asked licence to the Dutch goverment and two years later, on 3 February 1927 the staatblad was issued to acknowledge the Chinese Christian community, and named Chineesche Doopsgezinde Chritengemeente.

In the year of 1926, Tee began to raise funds to build a new church building, after knowing that his proposal was rejected by the DZV. Since then, Tee strengthened his zeal not to beg from outside. Tee sold his land, and looking for opportunity to raise funds from members and guests from the surrounding Mount Muria, even to other towns. The fund which was collected within a year, was to build a church. The dedication was held on 16 February 1928.

A good development happened in a missionary conference on 20 March 1930 at Schmitt’s home (a DZV missionary from Russia). The conference talked about who to be responsible to the Chinese Christian groups in Jepara and Pati, Juwana and Tayu. The decision was that the Chinese groups in Semarang residency was under Tee Siem Tat and Oei Tjien Gie ministry, for the held legal permissions to evangelize the Chinese people in Semarang residency. From that moment, the ministries to Chinese people in Semarang residency was under the responsibility of Tee’s congregation.

Having legal permission in his hand, Tee visited Jepara. There were few Chinese people that had been evangelized since 1914. Evangelism in Jepara was not easy. Yet Tee could win Sie Giok Gian, Tee’s wife’s nephew. Sie Giok Gian later became a pioneer of ministry to the Chinese people in Jepara, since he was admired by the Chinese people. The congregation started with 14 persons in 23 July 1934. The number of members was increased rapidly, even they won could build church building at Yos Sudarso Street. The congregation use the building up to now.

The opening of new congregations also happened in Pati to Rembang. In Pati, Tee opened a new congregation among the Chinese people. Its first service was started with 5 persons. Yet this little congregation was very zealous in mission, so that only in a year time, the Pati congregation had reached 20 people. Eventually, they could buy a land and built a church, known as GKMI Pati.

Tee Siem Tat began urban mission approach among Chinese people. After Kudus, Jepara and Pati, little towns surrounding Mount Muria, then Tanjungkarang, Bangsri, Welahan, Demak were the target ministry. Tee also started inter-tribal ministry. Tee wrote letter to 4 Mennonite missionaries to bring ministry to the Chinese, Ambonese, Manadonese as well as to Javanese in Semarang residency. It seemed that Mennonite Mission was not in approval with Tee’s concern, and hoped that Tee brought ministry only to the Chinese.

This disagreement between the Mennonite Mission and the Chineesche Doopsgezinde Christegemeente brought Tee to make a bold decision, to be independent from the Mennonite Mission in every resources. In Tee’s view, the Church must be open. To be a tribal church is unbiblical. The church must be brave to go out to serve all people from all nations.

Tee Siem Tat passed away on 2 October 1940, and he left great fruits of his ministry: 8 congregations in Mount Muria (Kudus, Tanjungkarang, Mayong, Jepara, Bangsri, Welahan, Pati, and Demak). Tee’s leadership was replaced by his sons and son in law. In his deathbed, Tee gathered Tee Yan Poen, Tee Yan Siang and his son in law Tan King Ien.

Under the leadership og Tan King Ien and Tee Yan Poen, the Chinese congregations surrounding Mount Muria was united in the year of 1941. The formation of this Muria class has deep impact to the political situation in Indonesia, since there were wars between Dutch troops and Japanese troops before the dawning of the independence of Indonesia in 1945. The formation became a bond and providence to the Chinese congregations, and this was establised in a Church Order that was decided in a conference held on 18-22 April 1948. That Church Order was about the common fellowship of the class of Moeria.

That conference was regarded as the first conference of Muria class, and since then the Chinese congregations started a new way of organizing the church. They were independent and mature congregations, and their relationship to the Mennonite Mission minimized. Meanwhile, the Indonesia political climate had changed by the proclamation of the independence of the Republic of Indonesia on 17 August 1945.

At the year of 1958, the name Gereja Kristen Mennonite Tionghoa was changed to Gereja Kristen Muria Indonesia. The change of name open a new era for the Chinese Mennonite community to internalize spirit of nationalism and to struggle for the church mission to spread the Gospel and to build the holy and catholic-universal church. This was proved with the acceptance of the Rev. Soedarsohadi Notodihardjo as the first Javanese pastor to minister the Kudus Chinese congregation. This goes hand in hand with Tee’s firm principle and his protegé’s that the vision of the Chinese congregation must not be restricted to one tribe, but reach to other tribes. Since then, GKMI developed ministry beyond Mount Muria, and reached other islands in Indonesian Archipelago.

Begun at 1958, the wheel of leadership in GKMI moved from Kudus congregation as a mother church, to a Fellowship of Gereja-gereja Kristen Muria Indonsia (Indonesia Muria Synod). At synod level, GKMI started a system of church organization and the development of human resources, to face the dawning of a mature-independent and militant ministry. In the era of 1940-1960s there were 5 mature churches (Tayu, Blora, Pecangaan, Semarang and Mlonggo), but there were plenty of fellowship groups in Keling, Tanjungkarang, Jekulo, Juwana, Gabus, Winong, Buyaran and Sukodono.

In the era of 1960-1980s, the number of GKMI became 6 churches. In this period range of 1960-1970s there was no increase of number of churches, since there were the heat of political climate. Yet in the period of 1980-2000s, GKMI increased with 27 new mature churches. Currently, the total number of mature churches are 47 with about 90 branches.

(2911071200)

Tuesday, November 27, 2007

The Unpredictable Rhythm


The Unpredictable Rhythm


Ritme atau rhythmus adalah pola yang tetap dan berulang. Atau, pola perubahan yang teratur. Hidup yang beritme berarti hidup yang teratur, yang berpola tetap. Mengatur pola yang teratur dalam hidup sangat penting. Tak kurang dari olah spiritualitas, orang-orang yang berjuang untuk mengatur ritme dalam hidupnya. Mengatur ritme sangat besar manfaatnya. Anda akan relatif mampu untuk melihat dan merancang masa depan. Tetapi, dibutuhkan disiplin tinggi untuk melakukannya.

Kendati demikian, hidup yang teratur sering membuat lelah. Hidup menjadi gampang ditebak. Mekanis sekali, dengan jadwal dari pagi hingga sore, yang besok pun akan kembali berulang seperti itu. Tadi malam, saya bercakap-cakap dengan salah satu pengurus komisi remaja di kantor. Dia berbagi cerita mengenai kebosanannya dengan irama hidup sekolah. "Tiap hari ya gitu wae terus! Apalagi kalau ketemu dengan guru yang mboseni."

Hidup yang beritme ternyata tidak mudah diikuti. Akhirnya membosankan. Hidup sangat mudah diprediksi. Ya, bagi para Gen-X'ers yang hidupnya penuh tawaran baru yang cepat berubah, dalam suatu kultur blitz yang serba gebyar, tetapi cepat diganti, hidup yang beritme tidak mudah.

Para rohaniwan pun perlu perlu jujur. Seberapa banyak di antara kita yang masih melakukan disiplin saat teduh, merenungkan Kitab Suci bukan untuk mempersiapkan khotbah dan ceramah, bukan oleh sebab tuntutan profesi dan gelar yang telah lekat di dada, tetapi karena kesukacitaan berjumpa secara pribadi dengan Allah? Nyatanya, ritme jadwal sehari, telah menyita waktu kita. Tak banyak waktu pula bagi kita untuk membaca buku, membiarkan kita "dibaca" oleh wacana yang ada di hadapan kita, ketimbang "membaca" buku itu.

Saya dapat memahami perasaan adik remaja itu. Itulah yang saya alami dahulu. Bobotnya saja berbeda, yang disebabkan percepatan kemajuan zaman.

Selama syering itu terjadi, musik Taize terus mengalun memenuhi ruangan kantor: Alleluia, Magnificat anima mea, Mon ame se repose, Bleibet hier, Nunc dimittis, Jesus remember me bertaut bersambung. Setelah adik remaja itu meninggalkan ruangan kantor, yang tertangkap oleh pendengaran saya adalah lagu-lagu Taize. Lagu-lagunya pendek, dan diulang-ulang. Katanya itu-itu saja. Ritmenya sama. Tetapi, mengapa saya menikmati lagu-lagu itu? Demikian yang dialami oleh ratusan ribu anak muda di seluruh dunia ketika mendengar lagu-lagu Taize.

Ah, saya ketemu jawabannya! Lagu itu tidak jelas di mana mulainya dan kapan berhentinya. Cobalah Anda menyimak lagu-lagu himne Barat, atau musik-musik klasik anggitan komponis ternama. Intronya jelas. Iramanya jelas. Akornya rapi. Di mana harus diakhirinya pun sudah pasti. Dalam hemat saya, satu kekurangan dalam lagu himne Barat dan musik klasik, musik itu menjadi satu sistem yang tertutup. Ada kesan, dogmatis sekali. Apakah ini yang membuat banyak orang pengagum musik klasik menjadi dogmatikus? Saya tidak berani menyimpulkan karena belum ada studi empiris mengenai hal ini.

Beralih kepada lagu Taize, yang semuanya merupakan pengantar doa, ada sesuatu yang berbeda. Dengan awal dan akhir yang tidak jelas, sesungguhnya ada ruang untuk misteri di sana. Ada tema yang mengikat. Dalam ibadah Taize lagu disusun antara satu dengan lain membentuk sebuah bangunan yang indah. Tetapi tidak membosankan.

Ya, bila ritme hidup telah sedemikian teratur, dan tertutup, orang tidak siap dengan kejutan-kejutan hidup. Di pihak lain, para Gen X'ers yang terlampau banyak kejutan, buat mereka hidup itu penuh misteri. Bila kita sempatkan waktu untuk bertanya kepada anak muda, apa cita-cita mereka, kebanyakan mereka tidak dapat menjawab.

Yang dibutuhkan di sini bukanlah semangat either-or. Yang ini, bukan yang itu. Kiranya kita tidak jatuh pada polarisasi hidup. Malahan, olah spiritualitas itu harus kita perjuangkan, dengan cara menata kembali hidup kita, tetapi memberikan ruang bagi Sang Misteri. Inilah yang saya sebut sebagai the unpredictable rhythm. Ada ritme, tetapi ritme itu tidak terduga. Tiba-tiba berhenti. Tiba-tiba dimulai, dan ada sebuah ritme baru dicipta. Tak perlu menunggu sampai semangat mengerjakan ritme itu menurun, kita telah siap dengan ritme yang baru. Mulailah hari dengan sesuatu yang tidak terduga, dan berhentilah ketika kita merasa putus asa.

TERPUJILAH ALLAH!

Wednesday, November 21, 2007

Apa Guna Pengalaman Rohani?


P: Apa guna pengalaman rohani bagi kehidupan Kristen?

Iman Kristen dimulai dengan pemberitaan mengenai Kabar Baik. Kabar baik itu seperti yang diberitakan oleh Tuhan Yesus, “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk. 1:14; Mat. 4:17). Ke mana Tuhan Yesus pergi, Ia mengaku bahwa panggilan hidupnya adalah untuk memberitakan Injil dan mengusir setan (Mrk. 1:38-39). Yesus pun di kemudian hari memanggil 12 murid dan mengutus mereka berdua-dua, dan mereka harus memberitakan bahwa orang harus bertobat (yaitu, percaya kepada Injil Kerajaan Allah), dan mengusir setan serta menyembuhkan banyak orang (Mrk. 6:6b-13).

Kita dapat simpulkan, inti iman Kristen adalah Injil Kerajaan Allah. Artinya, pemberitaan bahwa Kerajaan Allah sudah datang. Yaitu bahwa pada masa sekarang, pemerintahan Allah nyata atas bumi. Jikalau Allah kini yang memerintah, maka tidak ada kuasa lain yang sanggup mengalahkannya. Tidak ada kuasa lain juga yang sama-sama memerintah selain kuasa Allah. Rasul Paulus tambah menegaskan bahwa Injil itu adalah tentang Anak Allah, yang dibangkitkan dari antara orang mati, dan bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa (Rm. 1:4). Inilah klimaks berita mengenai Kerajaan Allah. Kekristenan tanpa berita mengenai kebangkitan Tuhan Yesus Kristus (1Kor. 15:12-27), adalah Kekristenan yang patut dipertanyakan.

Lalu, bagaimana dengan pengalaman rohani, yang sifatnya pribadi dan unik? Marilah kita kembali kepada Firman Tuhan sebagai satu-satunya dasar pijakan yang dapat dicek, diricek dan dikroscek oleh setiap orang Kristen. Salah satu pengalaman pertobatan yang menarik di Alkitab adalah yang terjadi atas seorang eks-Farisi, pengajar Taurat, pernah duduk di kaki Profesor Alkitab Ibrani yang ternama pada waktu itu, Gamaliel I. Ya, dia adalah rasul Paulus. Ia dijumpai oleh Tuhan secara pribadi, dengan pengalaman khusus (Kis. 9:1-9). Dua kali dicatat dalam Perjanjian Baru, ia menceritakan kesaksian pertobatannya kepada orang lain (Kis. 22:3-16 dan 26:18). Bila kita perhatikan, Paulus tidak berbicara kepada orang Kristen, tetapi kepada orang-orang Yahudi dan; kedua, kepada Raja Herodes Agripa.

Kesaksian pribadi sangat berguna menjadi jalan masuk kepada pemberitaan Injil. Tetapi ternyata, kepada orang yang tidak percaya (orang yang belum bertobat), kesaksian hidup itu menjadi efektif. Kendati demikian, tujuan dari rasul Paulus yang terutama ialah “Tetapi mula-mula aku memberitakan kepada orang-orang Yahudi di Damsyik, di Yerusalem dan di seluruh tanah Yudea, dan juga kepada bangsa-bangsa lain, bahwa mereka harus bertobat, dan berbalik kepada Allah serta melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sesuai dengan pertobatan itu” (Kis. 26:20). Bagaimana cara kerinduan Paulus itu dicapai? Berita apa yang ia sampaikan? Sangat menarik bila kita perhatikan, “Dan apa yang kuberitakan itu tidak lain daripada yang sebelumnya telah diberitahukan oleh para nabi dan juga oleh Musa [orang yang paling penting di Perjanjian Lama], yaitu bahwa Mesias harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang pertama yang bangkit dari antara orang mati dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada bangsa-bangsa lain” (Kis. 26:22b-23).

Ternyata, apa yang disampaikan oleh rasul Paulus dalam beritanya, bukan cerita yang baru. Dapat kita lihat bersama, bukan pula pengalaman seseorang yang unik, tetapi berita yang lama sekali: mengenai kedatangan Mesias dan di dalam siapa hal itu digenapi. Ia hanya mewarisi apa yang diberitakan oleh leluhur iman. Warisan itu ia pelihara, dan ia ceritakan kepada orang lain, yang belum percaya. Sekarang Paulus bawa dalam pemberitaan Injil, dan inilah yang terus ia beritakan dengan konsisten (tidak berubah), dan konsekuen (membawa risiko-risiko buat hidupnya). Paulus harus menahan diri untuk menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya yang unik.

Karena itulah, setelah menjalani panggilannya sebagai rasul Kristus selama lebih dari 17 tahun, ada orang yang mengatakan, Paulus tidak punya pengalaman rohani. Berita yang ia sampaikan kering, hampa. Ia bukan tergolong 12 rasul. Ia nggak pernah berjumpa dengan Tuhan Yesus secara langsung (di Kisah Para Rasul hanya dikisahkan ada “sinar terang”). Ah, bila demikian, apa benar ini rasul yang sejati? Jangan-jangan Paulus berdusta.

Rasul Paulus bersaksi, “Aku harus menahan diri, supaya jangan ada orang yang menghitungkan kepadaku lebih daripada yang mereka lihat padaku atau yang mereka dengar daripadaku” (2Kor. 12:6). Paulus sangat berhati-hati. Pengalaman sangat subjektif sifatnya, sehingga punya banyak sisi yang dapat dinilai macam-macam oleh orang lain. Karena itu, menurut Paulus, biarlah orang melihat Paulus apa adanya—kelemahan-kelemahan yang ia miliki (2.Kor. 12:5, 9, 10; 11:30). Tetapi orang mendengar sendiri dari rasul Paulus apa yang ia beritakan, yaitu tentang salib dan konsekuensi yang ia hadapi karena berita salib Kristus (11:23-33).

Tetapi memang, Paulus sedang dikejar para lawannya masalah citra (yang nampak di permukaan, di hadapan orang-orang, yang menambah “nilai jual” seseorang). Karena itulah, ia dengan “terpaksa” (2Kor. 12:11) menceritakan satu pengalaman yang unik, yang diharapkan oleh orang-orang pada waktu itu: di bawa oleh Tuhan sampai ke surga tingkat ketiga, masuk Firdaus. Sangat dapat dipahami. Ketika orang diperhadapkan pada tantangan masalah citra (“Mampu apa dia?” atau “Punya apa dia?”) maka orang akan tergoda untuk menjawabnya.

Dalam pada itu bila kita perhatikan, Paulus tidak pernah berani mengatakan bahwa hal itu pasti benar. Mari perhatikan kalimat “entah di dalam tubuh, aku tidak tahu, entah di luar tubuh, aku tidak tahu, Allah yang mengetahuinya” (2Kor. 12:2, 3). Ia tidak pasti dengan pengalaman tersebut: benar-benar ia dibawa oleh Tuhan ke surga, atau hanya mimpi. Ia tidak berani memutlakkannya: Ini pasti benar! Ini pasti berasal dari Allah! Dan patut kita perhatikan, rasul Paulus tidak pernah mengulang lagi kisah pengalaman hebatnya ini di mana pun. Bahkan pengalaman yang menarik lainnya pun, enggan ia ceritakan. Hal ini akan jelas bila kita mengambil waktu untuk membaca ke-13 suratnya (nyaris separuh bagian dari PB!) dan “biografi”-nya di Kisah Para Rasul.

Bila seseorang yang kenyang pengalaman di ladang Tuhan, enggan untuk memutlakkan pengalaman rohani, maka hendaknya kita kini dan di sini perlu belajar menghayati, iman Kristen lebih dari sekadar berisi mengenai pengalaman-pengalaman orang percaya. Rasul Paulus menasihati Timotius untuk memelihara “harta yang indah,” yakni warisan iman Kristen (2Tim. 1:14), yang tak lain adalah Injil yang mematahkan maut dan mendatangkan hidup yang tak dapat binasa (2Tim. 1:10). Sudahkah Anda percaya kepada Injil?