IKATAN PERJANJIAN DALAM KELUARGA KRISTEN
Pemberkatan pernikahan, sebagai langkah awal membangun sebuah keluarga memang merupakan suatu bentuk perjanjian antara seorang laki-laki dan perempuan. Firman Tuhan dengan jelas melarang dan menganggap suatu kekejian adanya pernikahan sesama jenis. Tetapi hendaklah kita pun mengingat, bahwa perjanjian itu bukan berhenti pada janji nikah mempelai laki-laki dan perempuan di hadapan Allah sebagai Saksi, tetapi sesungguhnya kedua insan yang telah melebur menjadi satu itu sedang mengikat perjanjian dengan Tuhan, Allah kovenan.
Dengan demikian, Allah benar-benar masuk dalam kehidupan pernikahan. Pernikahan itu dilambari oleh karena komitmen, anugerah, jaminan dan kasih dari Allah, yang mendahului komitmen mereka berdua. Kepatuhan mereka merupakan respons dari tindakan Allah tersebut. Maka, penyelewengan satu orang di antaranya dengan sendirinya merupakan pemberontakan terhadap perjanjian mereka dengan Allah. Dan untuk pelanggaran perjanjian ini, risikonya besar! Karena Allah tidak pernah main-main dengan perjanjian-Nya.
Ketika anak hadir di dalam keluarga Kristen, mereka perlu memahami bahwa anak itu pun bagian dari kovenan Allah. Memiliki keturunan termaktub dalam Mandat Budaya di Kejadian 1:28, “Beranakcuculah dan bertambah banyak, penuhilah bumi . . . .” Manusia diciptakan dalam gambar dan rupa Allah. Sekarang manusia mempunyai anak, yang juga merupakan gambar dan rupa Allah. Jadi memiliki keturunan berarti multiplikasi (pelipatgandaan) gambar Allah, agar mereka memenuhi bumi. Tanpa pemahaman bahwa anak adalah gambar dan rupa Allah, manusia bukannya “memenuhi bumi,” tetapi “menuh-menuhin bumi”!
Dalam kerangka kovenan, anak adalah wujud dari komitmen, anugerah, jaminan dan kasih Allah. Sekarang, orangtua pun dibimbing untuk meneladani Allah. Mereka berdua mewujudkan komitmen, anugerah, jaminan serta kasih kepada anak mereka. Pertama-tama, orangtua bukan diberi hak oleh Allah untuk membuat hukum, tetapi menyatakan keempat tindakan itu. Jika keempat hal itu dijalankan oleh orangtua, maka anak pun akan menyadari betapa besar kasih orangtuanya, rasa aman yang diberikan kepadanya, serta dorongan pemberdayaan atau motivasi agar ia menjadi maju dan bertumbuh dengan baik. Biarkan kepatuhan itu merupakan transformasi dari dalam, yang natural terjadi di dalam diri anak.
Bagaimana dengan disiplin? Sekali lagi disiplin (hukum) tidak bertentangan dengan kasih. Disiplin harus ditegakkan, tetapi kiranya kita tidak lupa, berikan kasih yang seimbang! Peraturan perlu mendukung penghargaan. Rotan jangan sampai lebih banyak daripada pujian.
Beberapa orangtua salah memahami mengenai penghargaan melalui pujian. Pujian memang kerap diberikan kepada anak pada waktu batita atau balita. Tetapi begitu memasuki usia sekolah, khususnya SD, ada orangtua yang menganggap bahwa anaknya sudah cukup besar. Tidak perlu lagi mendapat pujian. Pujian akan membuatnya besar kepala dan sombong, bisa-bisa lupa diri. Maka, pujian digantikan dengan disiplin yang ekstra keras. Orangtua mulai menegakkan kata “harus” kepada anak, dan menyusupkan agenda juga cita-cita pribadi kepada anak: “harus” belajar keras, “harus” kursus piano/biola/renang, “harus” di rumah bersama orangtua. Pujian? Nyaris tak terdengar!
Jika ini berlanjut, anak akan bertumbuh menjadi orang yang tertutup di rumah. Di tempat lain, ia merasa bebas lepas bak burung terbang dari sangkar. Tetapi hal ini rentan sekali! Lingkungan di sekitar kita bukan Kristen yang mengenal berita mengenai ikatan penjanjian. Itu berarti, siapa pun dapat dipengaruhi dengan begitu mudahnya. Syukur-syukur bila si anak masih mau aktif di gereja, di mana ia mendapatkan komunitas yang mengembangkan pola kehidupan kovenan. Bila tidak, maka ia berada dalam ambang bahaya. Hidupnya akan penuh dengan pola coba-coba, bereksperimentasi liar, mumpung tidak ada satpam atau reserse.
Jadi, di manakah sesungguhnya masalah di dalam keluarga? Kasih yang belum cukup dirasakan, yang tak berimbang dengan tuntutan dan kewajiban. Penghargaan yang minim, pemberdayaan serta motivasi yang hampir tidak ada; yang ada adalah kalimat, “Kamu harus . . . ! Jika tidak, AWAS!”
Berita perjanjian ini mengundang kembali gereja untuk menggemakannya dari mimbar-mimbar Minggu. Sadar atau tidak, berita-berita gereja teramat sering bernada moralis: menuntut orang untuk berubah, “harus” menjadi ciptaan yang baru, harus berbeda dari dunia, hidup dalam kekudusan dan kesucian supaya dapat membawa kesaksian yang hidup di dunia. Data dan fakta terbaru dari koran, televisi dan internet dipampangkan dari atas mimbar, dengan maksud untuk menunjukkan realitas dunia, dan untuk itu kita “dituntut” berbeda dari semua itu. Para pendengar pun bertambah frustrasi dengan kehidupan yang serba menakutkan.
Kiranya kita tidak salah paham, khotbah mengenai teguran, hardikan, dan tuntutan memang perlu, dan tetap relevan sampai Tuhan datang, jika teks Alkitab memberitakannya. Kekristenan tanpa teguran adalah “anugerah yang murahan.” Tetapi anugerah itu juga menguatkan, mendorong dan memberdayakan. Mimbar gereja harus membuat orang Kristen memahami bahwa mereka hidup di dalam kovenan Allah: komitmen, anugerah, jaminan dan kasih dari Allah, sehingga transformasi dari dalam pun terjadi, dan mereka sanggup menerapkannya dengan sukacita di dalam keluarga masing-masing.
TERPUJILAH ALLAH!