Wednesday, April 11, 2012

Bahasa Iman, Ekspresi Keindahan


Hari ini kita merenungkan kalimat pertama Pengakuan Iman Rasuli, “Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa, Khalik langit dan bumi.”  Memang, tidak semua GKMI mendaraskan pengakuan iman ini dalam liturgi ibadahnya.  Bahkan mungkin cendekiawan Anabaptis-Mennonit memiliki keberatan moral dengan kredo ini.  Namun, sebenarnya keberatan itu dilontarkan berdasarkan titik berat kepada Kristologi, dan bukan Patrologi—doktrin tentang Allah Bapa.  Kaum Anabaptis-Mennonit dapat mengaminkan kalimat ini, bersama dengan semua kaum percaya di muka bumi.

Pada hari ini, kita akan belajar menghayati bagaimana Gereja Tuhan dulu dan kini menghayati kalimat ini.  Kita akan menyoroti tiga tradisi besar: Katolik, Protestan dan Ortodoks Timur.  Sekalipun kaum Anabaptis mengaku bukan Protestan ataupun Katolik, namun dalam gerak bersama gerakan keesaan gereja, maka perlu pula kita belajar dari dua tradisi tradisi besar Kekristenan, yang di dalam dan melaluinya Tuhan Gereja telah bekerja menjaga dan memelihara Tubuh-Nya di atas bumi.

Penjelasan Teks

Pendahuluan

                Pada tahun 1967, Lynn White Jr. menulis satu artikel “The Historical Roots of Our Ecological Crisis” yang di dalamnya ia membedah bahwa akar kerusakan ekologis masa kini adalah tradisi Yahudi serta Kristen.  Di sisi lain, dua cendekiawan, F. Marxer dan Andreas Traber dalam tulisn bersama mengetengahkan masalah yang berkebalikan dengan Lynn White.  Mereka menemukan bahwa pandangan Tahudi-Kristen mengenai ciptaan dan lingkungan hidup sangat bermakna dan bermanfaat untuk pelestarian alam.

                Mana yang benar?  Pasti kita akan membenarkan pandangan Marxer-Traber, bukan?  Namun masalah tidak cukup di sini, sebab di dalam tradisi Yahudi-Kristen, kita mendaraskan secara rutin pengakuan iman, “Aku percaya kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa.”  Kita percaya bahwa segala sesuatu di muka bumi ini diciptakan oleh Allah.  Nah sekarang, bagaimana orang Kristen sendiri memahaminya? 

Dalam Kekristenan, ada tiga tradisi besar—Ortodoks Timur, Katolik Roma dan Protestan—Gereja Ortodoks Timurlah yang mempertahankan pengajaran yang mendalam mengenai sifat kekudusan alam alam semesta.  Gereja Ortodoks ini disebut Timur karena letaknya terutama di Eropa Timur dan pesisir Laut Mediterania.  Mendapat pengaruh dari Gereja Bizantium atau Konstantinopel (Istanbul, Turki), Gereja ini mengaku merupakan pewaris tradisi rasuli.  Mereka percaya bahwa alam itu suci oleh sebab alam mengungkapkan Kesucian Terakhir (Allah) yang menciptakan segala sesuatu.  Alam ini suci karena asalnya dari Allah yang Mahasuci.  Maka, terdapat kecenderungan bahwa semua makhluk memiliki tanda-tanda kesucian.  Tradisi ini hidup dan berkembang di dalam liturgi yang sangat detail.  Itulah sebabnya, di dalam liturgi, mereka mencium Alkitab, atau mencium ikon (gambar suci), bukan karena mereka menyembah Alkitab maupun gambar itu, tetapi mereka menghargai Allah yang bekerja di dalam dan melalui benda-benda di alam raya.

Sedangkan tradisi Katolik Roma menitikberatkan pada Allah yang menjadi manusia.  Firman yang mendaging.  Alam dan seisinya kudus sebab ditebus oleh tubuh Yesus, dan oleh sebab itu kini benda-benda merupakan sarana bagi anugerah Allah diberikan kepada semua manusia.  Di balik semua yang kelihatan, ada kuasa penebusan yang dikerjakan oleh tubuh Kristus di atas salib.  Nah, kita sekarang tahu, mengapa di salib Katolik, kita selalu melihat patung tubuh Yesus tergantung.  Kita melihat pentingnya tubuh Kristus dalam mengklaim kembali kebaikan alam ciptaan.

Protestan Barat, yang dimulai dengan Gerakan Reformasi di Abad ke-16 menjauhkan diri dari teologi yang mensakralkan benda di dunia dan makhluk ciptaan.  Kaum Protestan menitikberatkan keyakinan iman di dalam hal yang sifatnya roh dan kedaulatan Allah.  Allah yang Roh adanya berdaulat dan semua yang tampak berpotensi untuk mengarah kepada pemberhalaan.  Mereka memandang iman melalui pendengaran, dengan dasar Roma 10:17, sebagai yang segalanya.  Konsekuensinya, mereka menjauhkan diri dari semua bentuk pensakralan benda-benda.  Cobalah perhatikan gedung tempat ibadah kaum Protestan.  Tak ada satu pun hiasan kecuali salib.
Paham Kaum Anabaptis-Mennonit
Pertama-tama, kita mengaku memiliki iman yang sama dengan ketiga tradisi besar Kekristenan yang lain.  Berdasarkan Alkitab, kita percaya bahwa Allah adalah Pencipta bumi.  Kita percaya bahwa Kristus sudah mengerjakan penebusan yang final.  Namun, kita pun mengaku bahwa tradisi Anabaptis-Mennonit yang lebih dekat dengan tradisi Protestan ini seringkali mengutamakan hal yang sifatnya rohani, yang tidak kasat mata.  Kadang-kadang kita berprasangka bahwa jiwa seolah-olah lebih penting daripada tubuh, roh harus diprioritaskan ketimbang hidup sehari-hari.  Akibatnya , kehidupan ini hanya berorientasi pada masa setelah kita mati untuk masuk surga.  Gereja tak terkecuali, lebih mengutamakan menjaring jiwa-jiwa ketimbang memikirkan yang lebih holistik.

Tetapi, puji Tuhan, tidak semua Anabaptis, sama juga tidak semua orang Protestan, seperti ini.  Di belahan Amerika Utara, kelompok Amish dan Mennonit yang tinggal di daerah pedesaan memandang penting lingkungan.  Mereka memahami bahwa lingkungan ini merupakan bagian dari Kerajaan Allah, yang akan hadir di muka bumi.  Jika Kerajaan Allah akan hadir di muka bumi ini, maka penciptaan dan sejarah manusia merupakan dua hal yang saling bertalian erat.
Kerajaan Allah yang seperti apa yang akan mewujud di bumi?  Yaitu “pemerintahan Allah yang penuh damai sejahtera.”  Sebagaimana yang dikatakan oleh pemikir Anabaptis Walter Klaassen, bahwa Kerjaan Allah dalam pemikiran Anabaptis-Mennonit merupakan perpaduan antara yang sifatnya personal dan korporat (kelompok), demi terujudnya kuasa Allah yang penuh damai, tanpa melawan dengan kejahatan.  “Kesediaan untuk tunduk tanpa membalas kejahatan berarti mengetengahkan realitas pemerintahan Allah yang membuat kita cukup ketika memiliki Allah dan Anak Domba sebagai terang kita; terang ilahi ini akan memampukan bangsa-bangsa untuk menemukan jalannya tanpa senjata untuk menyerang dan menguasai . . . .”  Klaassen menyimpulkan bahwa ketika kita berkata Ya terhadap Wahyu 22:2, maka kita ini adalah daun-daun yang menyembuhkan bangsa-bangsa.

Implikasi

                Pertama, kaum Anabaptis-Mennonit meyakini bahwa tata pemerintahan Allah akan hadir di bumi, dan jika hal itu terjadi maka hadirlah damai sejahtera yang sesungguhnya.  Itulah sebabnya, kaum Mennonit sangat bersemangat dalam karya-karya kemanusiaan melalui: Mennonite Central Committee, Mennonite Disaster Service, Voluntary Service, Christian Peacemaker Teams dan lain-lain.  Program-program ini diakui oleh seluruh dunia.  Program-program ini perlu mendapat dukungan dari kita yang masih muda.

                Kedua, dalam praktik kegerejaan dan program, perlu menumbuhkan kesadaran untuk cinta lingkungan.  Dalam liturgi ibadah, perlu sekali lagu-lagu yang tidak berorientasi vertikal semata-mata, tetapi juga meliputi lagu yang bertemakan keindahan alam, penebusan ciptaan, kasih Tuhan atas semua makhluk.  Salah satu lagu yang kita hafal baik adalah “Kepada Allah B’ri Puji,” dan perhatikan liriknya: Kepada Allah b’ri puji, semua makhluk di bumi, pada-Nya kub’ri pujian.  Bapa Anak dan Roh Suci.  Amin.”  Sayangnya, lagu pujian kontemporer sekarang ini terlalu melankolis, bahkan cenderung cengeng.  Kalaupun ada lagu-lagu kontemporer yang bertema alam, tampaknya masih merupakan salinan dari lagu Barat.  Di mana para penggubah lagu Kristen Indonesia?

                Ketiga, Kerajaan Allah yang penuh damai tadi perlu dimulai dari diri sendiri dan komunitas.  Secara pribadi, perlu tumbuhnya kesadaran bahwa masing-masing warga jemaat adalah agen-agen bagi hadirnya Kerajaan Allah.  Secara gerejawi atau komunal, perlu digiatkan program-program bagi pemeliharaan ciptaan.

No comments:

Post a Comment