Tuesday, September 11, 2012

(Book Review) THE SACRIFICE OF JESUS: UNDERSTANDING ATONEMENT BIBLICALLY

BOOK REVIEW

THE SACRIFICE OF JESUS: UNDERSTANDING ATONEMENT BIBLICALLY (Fortress, 2011) oleh Christian A. Eberhart (x + 170 hlm.)


Entah berapa banyak di antara kita yang turut menggeluti diskusi akhir-akhir ini mengenai masalah "atonement," doktrin pendamaian, yang dikembangkan oleh Anselmus dari Canterbury, yang menggambarkan Allah sebagai Bapa yang murka dan menuntut kurban niscaya dari satu pribadi tanpa dosa.

Dalam konteks Indonesia, berita santer melawan doktrin atonement adalah buku Ioanes Rakhmat yang ditanggapi oleh Joas Adiprasetya. Dalam spektrum diskusi lebih luas, dua teolog sistematika AS juga menerbitkan buku melawan pandangan atonement Anselmian. Yang satu dari seorang teolog Anabaptis-Mennonite, J. Denny Weaver dari Bluffton University, Ohio, dengan buku The Nonviolent Atonement (2nd. ed.; Eerdmans, 2011), dan yang lain teolog Baptis, S. Mark Heim, Saved from Sacrifice: A Theology of the Cross (Eerdmans, 2006).


Buku saku yang saya beli pada 25 Januari lalu di Baker Book House, Grand Rapids, MI, memberikan sumbangsih yang menarik. Diterbitkan dalam seri Facets (Augsburg Fortress) yang membahas tema-tema teologis namun ringkas dalam penyajian, buku ini membedah teologi pengurbanan Yesus dari sisi biblis. Penulis adalah guru besar PB di Lutheran Theological Seminary, Saskatoon, Saskatchewan, Canada, dengan gelar doktoral dari Universitas Heidelberg, Jerman. Beliau telah menulis secara ekstensif mengenai teologi kurban di dalam PL dalam bahasa Jerman dan Inggris.


Alasan Eberhart menulis yaitu menyikapi makin banyak orang Kristen yang sulit menerima konsep kekerasan yang dikenakan pada kurban Kristus. Sang penulis juga mengetengahkan tesis mengenai "non-violent image of atonement", bukan paparan dogmatis, atau filosofis, tetapi menggali kembali kekayaan konsep ritual dan pengurbanan di Kitab Suci. Ia menyimpulkan dalam 5 poin (hlm. 131-134):


1. Penyembelihan hewan tidak memiliki makna penting untuk ritual pengurbanan pada kultus Israel kuno. Di sisi lain, ritual peneraan darah tidak menyiratkan vicarious death (kematian yang menggantikan tempat umat) tetapi penyucian melalui hidup hewan, yaitu darahnya.


2. Ritus kurban muncul sebagai cara untuk mendekati tempat kudus dengan tujuan untuk berjumpa dan berkomunikasi dengan Allah. Lebih lagi, kurban merupakan sarana pemurnian dan pengudusan dalam peribadahan (expiation).


3. Soteriologi PB tidak berfokus secara eksklusif pada kematian Yesus tetapi juga kehidupan dan misinya. Hal ini diterangkan dengan simbol rahasia kekristenan kuno yaitu ICHTYS yang merupakan akronim gelar Yesus, yang menyiratkan kehidupan dan misinya, bukan sekadar kematiannya.


4. Kematian Yesus bagi kekristenan perdana memang mengandung keselamatan, tetapi gambaran yang dipakai bukan sama dengan perkembangan terkemudian yang diambil dari konteks sekular (diplomasi dan ekonomi).


5. Menurut teologi Kristen perdana, Allah mengambil inisiatif untuk menempatkan Yesus sebagai "tempat pendamaian" (place of atonement) yang dapat dimasuki oleh semua umat manusia, dan Allah adalah Dia yang mendamaikan dunia dengan menyediakan sarana efektif bagi pengampunan. Di dalam Yesus, Allah trinitas memilih untuk berjumpa dengan umat manusia sehingga kasih ilahi dapat dikenali dan dibagikan kepada dunia.

No comments:

Post a Comment