Sunday, April 26, 2009

TEOLOG ITU “PAK NO” NAMANYA

TEOLOG ITU “PAK NO” NAMANYA



Tak seorang pun menyebut dia teolog. Bahkan dia pun tidak tahu apa itu teolog atau istilah teologi. Sangat susah untuknya yang hanya lulusan Sekolah Rakyat. Tak pernah ia duduk dalam ruang kuliah teologi dan laboratorium seminari yang penuh buku tebal berharga mahal. Ketimbang berpikir susah, lebih baik ia mengerjakan pekerjaan tiap-tiap hari saja.



Namanya Sudiono. Panggilan akrabnya Pak No. Perawakannya tinggi dan ramping. Rambutnya yang agak ikal itu sudah banyak yang memutih. Nampak jelas, sudah hampir 60 tahun ia hidup di dunia ini. Wajahnya oval. Bola matanya yang satu tidak bisa melihat lagi karena ada kerusakan—sudah sangat lama ia hidup hanya dengan 1 bola mata. Suaranya melengking, dan cukup keras. Dari jarak 25 meter, suara sang bapak dapat cukup jelas tertangkap. Namun senyum keramahan tak pernah hilang dari wajahnya!



Ada sesuatu yang menarik dari sosok yang tiap hari pasti berjumpa denganku. Bila menyelesaikan tugas rutin, lap pembersih hampir selalu ia sampirkan di salah satu pundaknya. Kalau ia mengangkat sesuatu yang berat, tak pernah benda itu diletakkan di depan dadanya atau dipikulnya, tetapi diletakkan di panggulnya. Mirip kaum Hawa kalau mengangkat sesuatu, pikirku.



Aku menerima kabar bahwa konon kabarnya, pria paruh baya ini memiliki masa lalu yang sangat berbeda. Semasa mudanya, ia dulu tidak pernah memakai celana. Ia berdandan seperti perempuan. Memakai kain atau jarik, dengan rambutnya pun panjang diikat di belakang. Tak ubahnya seperti seorang gadis desa tempo-tempo silam. Apakah benar demikian, terus terang tidak pernah kutahu kebenarannya.



Namun siapa pun dia di masa lampau, aku yakin Allah tidak memandang masa lalu dan menghukum masa lalu itu. Tidak. Allah yang kukenal adalah Allah yang mengampuni. Ia adalah Allah yang mengubah dari dalam. Ia bertindak di dalam Mesias Yesus untuk memulihkan tatanan yang terjungkir balik. It’s not what someone was, but what he could be, that’s how God’s grace saw him/her! Perubahan hidup itu yang membuat Pak No tiap-tiap Minggu tetap ngabekti (“berbakti”) dalam ibadah tiap Minggu, sebelum melakukan tugas rutin rumah tangga gereja sebagai koster.



Siapa pun yang dekat dengan Pak No, pasti segera memperhatikan bahwa senyum keramahan tidak pernah lepas dari mukanya yang telah banyak kerutan karena faktor usia. Rumahnya kira-kira setengah kilometer dari gereja, namun ia sudah mulai ngantor pukul 05.30. Di gereja kami, tiap hari ada doa pagi pada pukul 05.00-06.00, dan Pak No sudah siap bertugas menyelesaikan segala urusan rumah tangga gereja. Bila ada tamu menginap di kamar tamu gereja, Pak No selalu mengucapkan kata-kata yang wajib, “Kalau nanti mau minta apa-apa, tinggal bilang Pak No saja.”



Pak No seorang yang cepat kaki ringan tangan. Ia banyak membantu kami sebagai rohaniwan gereja. Kepada siapa pun pengerja gereja (hamba Tuhan), ia selalu memberikan hormat. Bahkan kepadaku yang jauh lebih muda, yang ia telah kenal sejak aku di remaja, ia tidak pernah berkata kasar. Demikian pun aku sangat menghormati Pak No, dan menghargai sedalam lubuk hatiku pengabdian bagi gereja ini. Kalau aku mau meminta secangkir kopi atau gelas bersih atau air minum galon yang habis, aku pasti menggunakan bahasa Jawa krama, yakni gaya halus dalam tingkatan bahasa Jawa. Memang, Pak No tidak mampu berbahasa Jawa halus sekali, ia hanya bisa krama andhap sampai krama madya, bahasa halus rendah dan menengah. Tapi yang jelas, aku tidak pernah mengeluarkan kalimat perintah, “Tolong buatkan kopi!” Aku berusaha untuk selalu mengatakan, “Nyuwun tulung, Pak No, penjenengan kagungan kopi kaliyan toya benter? Kula nyuwun wedang, Pak No.” (“Minta tolong, Pak No, Anda mempunyai kopi dan air panas? Saya minta minuman panas, Pak No.”)



Semua hamba Tuhan di gereja pun ternyata menghargai Pak No. Apabila kami mengadakan pertemuan di gereja, Pak No menyediakan seteko teh, seteko kopi susu, seteko kopi hitam ke dalam ruang rapat kami, dan ada saja rekan yang mengucapkan, “Matur nuwun, Pak No!” (“Terima kasih, Pak No!”) dengan sopan dan halus. Jelas, ini adalah tanda rekan-rekan pun menghargai sang koster.



Pak No adalah salah satu organ gereja yang tulus, lepas dari segala intrik dan politik. Tak jarang, kaum elit yang menyebut diri hamba Tuhan dan majelis penuh dengan strategi, politik, lobi-lobi, ketegangan, kemarahan, atau tata aturan yang njelimet. Mata hatinya hanya terarah pada satu hal, ngabekti marang Gusti (“berbakti kepada Tuhan”). Ia adalah pekarya gereja yang tidak pernah membaca Tata Gereja sebagai “Taurat Baru” untuk setiap tindakan dan keputusan gereja. Ia tidak pernah mengecap ketegangan rapat majelis, ataupun pertentangan kubu-kubu para “gajah-gajah gereja.”



Bagiku, Pak No adalah teolog. Kepada siapa saja yang menyempatkan diri untuk bercakap-cakap dengan dia, Pak No selalu mengeluarkan filosofi hidupnya. Filosofi yang kerap dilatari oleh budaya Jawa dan kejawen, namun yang telah “dibaptiskan” ke dalam iman Kristen. Ia tidak mencampuradukkan imannya. Tetapi, sebagai seorang Jawa, ia belajar untuk menjadi seorang Jawa yang Kristen. Filosofi yang padat dan menarik pasti ia miliki. Pak No bukan orang yang pelit berbagi pengetahuan, meski pengetahuannya terbatas.



Pak No pasti tidak pernah membaca buku sebanyak aku. Rumahnya yang kecil dan sempit tak mungkin dapat menampung buku-buku. Tiada guna untuknya. Tetapi Pak No selalu punya hikmat yang baru. Itulah sebabnya, aku kerap pakai waktu untuk keluar dari kantor yang sekaligus studiorum-ku, untuk berjumpa Pak No, duduk dekat dia ketika sedang santai atau sambil menyelesaikan tugasnya, dan aku menyimak kata-katanya. Suaranya yang melengking menambah aksen hikmat yang tersembunyi di balik uban putihnya.



Filosofi hidup Pak No sederhana saja. Adalah beda antara orang yang eling Gusti (“ingat Tuhan”) dengan orang yang ora eling Gusti (“tidak ingat Tuhan”). Kalau orang ingat Tuhan, maka hatinya selalu terarah kepada-Nya. Orang ini, bila dirundung masalah dan dukacita, tidak cepat-cepat menyalahkan Tuhan. Orang ini akan datang kepada Tuhan. Hidupnya penuh dengan ucapan syukur. Apabila orang masih bisa mengucap syukur, pastilah ia akan menikmati hidup yang berkecukupan, bahkan berkelimpahan.



Berbeda dengan orang yang tidak mengingat Tuhan. Hidupnya pasti kacau. Sebab, ke mana ia akan pergi untuk mencari kelegaan? Oleh sebab ia tidak memiliki sandaran, hidupnya penuh uring-uringan. Selalu menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, atau siapa saja yang ada di sekitarnya. Hidup selalu diwargai dengan ketidakpuasan.



Wis, paling enak kuwi nek manungsa gelem nenuwun karo Gusti! (“Sudah, paling enak itu kalau manusia mau bersyukur kepada Tuhan!”). Benar bukan? Itu mirip sekali dengan kata-kata rasul Paulus, “Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1Tes. 5:18). Betapa dalamnya teologi Pak No! Ia sampai kepada jantung pengajaran iman Kristen, bahwa inti hidup seseorang yang telah dimerdekakan dari kuasa dosa dan kutukan hukum maut adalah mengucap syukur.



Lihat, Pak No pun seorang teolog! Teolog yang bagiku sekelas dengan semua pakar teologi yang kebanyakan berasal dari belahan dunia Barat itu. Teolog yang tidak mempunyai buku teologi, tetapi menjadikan dirinya sebagai buku teologi yang dengan cuma-cuma dibagikan kepada orang lain. Teolog yang tidak pernah mengenyam bangku kuliah seminari, tetapi mengajarkanku teologi yang tak pernah kudapatkan hingga wisudaku. Teolog yang tak mampu berpikir sistematis, tetapi melampaui ahli-ahli Belanda dan Jerman dalam kedalaman berpikir dan keluasan untuk menguraikan gagasan. Teolog yang tidak menghabiskan waktunya di dalam studiorum, hanya untuk berkutat dengan eksegesis, latar belakang kitab, dogmatika, ilmu berkhotbah, ilmu konseling, tetapi yang benar-benar menginkarnasikan pemikirannya dalam karya dan tindakan sederhana namun bernilai kekal. Teolog yang tidak pernah membuka leksikon untuk mencari arti kata sphlangnizomai (“bela rasa”), namun berhasil mengejawantahkan kata itu tanpa keluhan dan putus asa.



2 comments:

  1. Mau tanya mas : Maksudnya kita (gereja) yang telah dimerdekakan dari kuasa dosa dan kutukan hukum maut seharusnya mengejawantahkan diri di dunia dengan ucap syukur/jd berkat ya?Gereja jd teolog yang mengejawantah di dunia?

    ReplyDelete
  2. Pak No !

    Say (Pak) No To Drugs
    Say (Pak) No To Sin

    Sae Sae Mawon To Pak No ?

    ReplyDelete