Friday, April 10, 2009

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (1)

Penulis Novel



Nikos Kazantzakis adalah seorang jurnalis, penulis novel dan teater, juga seorang filsuf, salah satu yang ternama di kalangan filsuf abad ke-20. Murid Friedrich Nietzsche, Henri Bergson dan Buddha; pengagum Kristus dan Lenin, dipuji-puji oleh Thomas Mann, Albert Schweitzer dan Albert Camus, karya-karyanya menampilkan sebuah jeritan hati yang mencari jawaban hakiki mengenai keberadaan.



Dilahirkan pada tanggal 18 Februari 1883 di Heraklion, di Pulau Kreta, ia menutup usianya di Freiburg, Jerman pada tanggal 26 Oktober 1957. Pada waktu ia dilahirkan, Kreta merupakan wilayah kekuasaan Dinasti Otoman dari Turki. Pulau ini berkali-kali berupaya untuk lepas dari Turki dan bergabung dengan Yunani.



Kazantzakis memulai studi hukumnya di Universitas Atena, dan melanjutkan di Paris pada tahun 1907 untuk bidang filsafat, di bawah bimbingan Henri Bergson. Sekembalinya ke Yunani, ia mulai menerjemahkan karya-karya filosofi. Pada tahun 1914 ia berjumpa dengan seorang penulis yang kemudian menjadi sahabatnya, Angelos Sikelianos. Bersama-sama mereka berkelana selama dua tahun di tempat-tempat di mana kebudayaan Kekristenan Ortodoks Yunani berkembang pesat. Hal ini dimotivasi oleh jiwa nasionalisme Sikelianos juga.



Ia menikah dengan Galatea Alexiou pada tahun 1911. Mereka bercerai pada tahun 1926. Kemudian ia menikah lagi dengan Eleni Samiou pada tahun 1945. Antara tahun 1922 sampai kematiannya pada tahun 1957, ia berpesiar ke Paris dan Berlin (dari tahun 1922 s.d. 1924), Italia, Rusia (1925), Spanyol (1932), dan kemudian ke Siprus, Aegina, Mesir, Gunung Sinai, Chekoslowakia, Nike (dan di sana ia membeli satu villa di dekat Antibes, di bagian Kota Tua yang berbatasan dengan pantai yang indah), China dan Jepang.



Ketika di Berlin, di mana situasi politik sangat berkecamuk, Kazantzakis berkenalan dengan komunisme dan menjadi pengagum Lenin. Ia tidak pernah benar-benar menjadi seorang komunis yang konsisten, tetapi ia sempat mengunjungi Uni Soviet dan tinggal dengan politisi dan penulis dari Oposisi Kiri, Victor Serge. Ia menyaksikan penobatan Joseph Stalin, namun kemudian surutlah kekagumannya kepada komunisme gaya Soviet. Di sekitar tahun ini, rasa nasionalismenya telah digantikan dengan suatu ideologi yang lebih universal.



Pada tahun 1945, ia menjadi seorang pimpinan partai kecil berhaluan kiri nonkomunis. Ia sempat masuk ke pemerintahan Yunani sebagai menteri, namun tanpa pengesahan yang jelas. Setahun kemudian, ia mengundurkan diri.



Pada tahun 1946, Perserikatan Penulis Yunani merekomendasikan Kazantzakis dan Angelos Sikelianos dihadiahi Nobel Kesusastraan. Pada tahun 1957, kesempatannya direbut oleh Albert Camus hanya dengan selisih 1 suara. Camus di kemudian hari mengatakan bahwa Kazantzakis layak menerima anugerah itu “seratu kali lipat” daripada dirinya sendiri. Ada indikasi, sosok Kazantzakis cukup terpandang di antara para filsuf eksistensialis.



Pada akhir tahun 1957, meski menderita leukimia stadium lanjut, ia tetap melakukan perjalanan ke China dan Jepang. Ia jatuh sakit pada penerbangan menuju kembali ke tanah airnya. Ia berbelok ke Freiburg dan di sana meninggal dunia. Ia dikuburkan di tembok yang mengitari kota Heraklion, sebab Gereja Ortodoks melarang jasadnya dimakamkan di sebuah pekuburan umum. Kalimat yang tertulis di batu nisannya adalah: Den elpizō tipota. De phobumai tipota. Eimai leuteros. Yang artinya, “Aku tidak berharap apa-apa. Aku tidak takut terhadap apa-apa. Aku bebas.”



Di sepanjang kehidupannya, ia banyak menulis novel dan naskah teater. Karya pertamanya yang muncul di muka umum adalah Serpent and Lily (Yunani: Ophis kai Krino), di mana ia memakai nama samaran Karma Nirvami. Bagi Kazantzakis, karya paling pentingnya adalah sajak yang pajangnya 33.333 bait yang berjudul The Odyssey: A Modern Sequel. Karya ini mulai dibuat pada tahun 1924 dan terus mengalami perbaikan sebanyak tujuh kali sebelum diterbitkan pada tahun 1938.



Menarik untuk diamati, sejak mudanya, Kazantzakis tak pernah berhenti melakukan pengembaraan spiritual. Dibayang-bayangi oleh problematika metafisik dan eksistensial, ia berusaha mencari pelepasan dengan pengetahuan, dengan berpesiar, berkontak dengan begitu banyak orang, dan banyak lagi pengalaman spiritual. Sangat nyata pengaruh Friedrich Nietzsche pada tiap-tiap karyanya. Pengaruh yang paling besar adalah karya-karya ateisme Nietzsche dan konsep mengenai super-insan (Übermensch). Dalam pada itu, problematika religius pun terus menghantuinya. Untuk mencapai kesatuan dengan Allah, Kazantzakis masuk ke dalam sebuah biara untuk tinggal di sana selama enam bulan.



Pergulatan eksistensialnya seperti dinampakkan dalam buku The Saviors of God (1927; Inggris 1960):



Kita telah melihat lingkaran tertinggi kekuatan-kekuatan yang berspiral. Kita telah menamai lingkaran ini Allah. Kita pun dapat menamainya yang lain seturut keinginan kita: Samudra, Misteri, Kegelapan Absolut, Terang Absolut, Materia, Roh, Pengharapan Asasi, Keputusasaan Asasi, Keheningan.



Kita datang dari satu samudra gelap, kita mengakhirinya dalam satu samudra gelap, dan kita sebut sesuatu yang terang itu kehidupan di antaranya (interval life).



1 comment:

  1. Thanks Anda sudah beberapa kali berkunjung ke The Freethinker Blog.
    Saya membaca beberapa blog posts Anda di blog Anda ini. Menarik.

    Shoutbox Anda harus ditunggu sangat lama. Mungkin perlu ganti yang lain.

    Saya sudah dua bulan ini mengelola sebuah blog baru (The Critical Voice Blog), alamatnya: http://ioanesrakhmat2009.blogspot.com
    Saya post ke blog kedua ini refleksi kritis saya terhadap kekristenan. Mungkin bagi Anda terlalu kritis, sampai kekristenan kehilangan substansinya. Coba Anda beri tanggapan di situ.

    Salam,
    Ioanes Rakhmat

    ReplyDelete