Friday, April 10, 2009

THE LAST TEMPTATION OF CHRIST: SEBUAH CATATAN PINGGIR (4)

Pengajaran



Bila seksama diamati, tema yang dikembangkan oleh Nikos Kazantzakis nampaknya diambil dari kalimat Yesus di Getsemani, “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini daripada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.” Bagaimana bila Yesus mempunyai kesempatan untuk menghindarkan misi yang paling ultimat dalam hidupnya, yaitu salib?



Namun demikian, karena film ini tidak didasarkan pada catatan-catatan Injil, tetapi sebuah novel imajinatif, maka sebenarnya hal ini tak perlu terlalu merisaukan kita. Yesus yang ditampilkan tentu berbeda dengan Yesus yang kita jumpai dalam halaman-halaman Injil. Kita harus ingat, potret Yesus Kristus dalam Injil adalah Allah sejati dan manusia sejati. Sedangkan Yesus dalam film ini adalah Yesus yang bukan saja manusiawi, tetapi Yesus yang dapat berdosa, Yesus yang menjadi bagian dari umat manusia berdosa. Dengan demikian, kita tidak akan pernah berjumpa dengan masalah kebersatuan Allah dan Kristus sejak kekekalan, kepatuhan total kepada misi Allah Bapa.



Kita tidak pernah menemukan arti penebusan di film ini, bahwa Sang Kristus menyerahkan nyawa-Nya sebagai “penebusan” (arrabon) bagi banyak orang (Mrk. 10:45). Kristus dalam Last Temptation tidak sedang menebus dosa. Ia bergumul dengan dirinya sendiri, dengan emosi, perasaan, dan kehendaknya. Tema mesianik yang maju sebagai tokoh yang diharapkan orang Yahudi sempat beberapa kali dimunculkan, tetapi pada akhirnya Sang Mesias yang tampil itu adalah Mesias yang mengerjakan misi salib karena pergumulan eksistensial.



Dalam tiap-tiap babak kehidupannya, Yesus juga dipotret sebagai orang yang mencari makna hidup. Ia tidak tahu bahwa ia adalah Mesias. Bahkan ia terus mencari jati dirinya. Kerap kali ia mengalami Angst, rasa takut yang luar biasa. Ia sering menyepi di padang gurun untuk bertapa dan bergulat untuk menaklukkan pencobaan yang terus muncul dari hatinya.



Tesis dasarnya adalah “pergumulan setiap manusia.” Bila kita menyimak tuturan Kazantzakis di bagian akhir novelnya, kita akan tahu apa yang sedang dikomunikasikannya:



It was the Last Temptation which came in the space of a lightning flash to trouble the Savior’s last moments.



But all at once Christ shook his head violently, opened his eyes and saw. No, he was not a traitor, glory be to God! He was not a deserter. He had accomplished the mission which the Lord had entrusted in him. He had not married, had not lived a happy life. He had reached the summit of sacrifice: he was nailed upon the Cross.



Content, he closed his eyes. And then there was a great triumphant cry: It is accomplished!



In other words, I have accomplished my duty, I am being crucified. I did not fall into temptation . . .



This book was not written because I wanted to offer a supreme model to the man who struggles; I wanted to show him that he must not fear pain, temptation or death—because all three can be conquered, all three have been conquered. Christ suffered pain, and since then pain has been sanctified. Temptation fought until the very last moment to lead him astray, and Temptation was defeated. Christ died on the Cross, and at that instant death was vanquished forever.



Every obstacles in his journey became a milestone, an occasion for further triumph. We have a model in front of us now, a model who blazes our trail and gives us strength.



This book is not a biography, it is a confession of every man who struggles. In publishing it I have fulfilled my duty, the duty of a person who struggled much, was much embittered in his life, and had many hopes. I am certain that every free man who read this book, so filled as it is with love, will more than ever before, better and ever before, love Christ.



Di mata Kazantzakis, Yesus adalah sosok yang mewakili pergulatannya (dan pergulatan hidup setiap insan) yang memiliki problem-problem metafisik dan eksistensial. Yesus yang selalu mencari jawaban atas pertanyaan yang selalu menghantuinya, yang sering menceraikan kesadarannya akan tugas dan asal-muasalnya, serta keinginan manusiawinya untuk menikmati kehidupan, untuk mencintai dan dicintai, dan untuk memiliki keluarga yang bahagia. Yesus tampil sebagai figur yang tragis yang di akhir kehidupannya mengorbankan harapan-harapan dan kenikmatan hidup. Kristus bukan tak dapat berdosa, bagi Kazantzakis, ataupun Allah yang tiada berasa. Yesus adalah manusia yang penuh hasrat dan emosi, yang telah diberi satu misi, dengan maksud utama supaya ia harus berjuang untuk terus memahaminya. Ia harus berhadapan dengan kesadaran dan perasaannya sendiri, dan mengorbankan kehidupannya demi mencapai kepenuhannya. Ia tetap dapat ragu-ragu untuk mengambil keputusan, takut dan bahkan memiliki rasa bersalah. Akhirnya, ia adalah Anak Manusia, seseorang yang pergulatan batinnya mewakili seluruh umat manusia.



Banyak kaum konservatif Yunani mengutuk karya Kazantzakis. Namun ia menjawab dengan kalimat yang menarik, “You gave me a curse, Holy Fathers, I give you a blessing; may your conscience be as clear as mine and may you be as moral and as religious as I” sebelum Gereja Ortodoks Yunani mengucilkannya pada tahun 1955.



Di mata Gereja Katolik Roma, novel The Last Temptation termasuk buku yang terlarang! Kazantzakis bereaksi dengan mengirim sebuah telegram kepada Takhta Suci di Vatikan dengan mengutip bapa gereja St. Tertulianus, “Ad tuum, Domine, tribunal appello.” (Ind.: “Aku letakkan permohonanku di panggung-Mu, Tuhan”; Yunani: “Sto dikastērio sou askō ephesē, ō Kuriē.”)



No comments:

Post a Comment