Tuesday, September 25, 2007

Masa Depan Pengharapan?


MASA DEPAN PENGHARAPAN? CATATAN SIDANG MPL II

***

Suasana indah, tempat yang indah. Nampaknya sekarang menjadi pilihan panitia-panitia persidangan sinode. Diawali oleh Sidang Raya 2004 yang diadakan di Hotel berbintang lima, dilanjutkan dengan MPL I di Wisma Kinasih, Caringin Bogor, dan yang terakhir MPL ke II di Dhyana Pura Resort, 28-31 Agustus 2007. Memang, tempat yang dipakai bukanlah yang paling mewah. Tetapi bolehlah dikatakan lux juga untuk persidangan suatu sinode, khususnya yang berdenominasi Mennonite. Hmm, kaum Mennonite pun perlu rekreasi sebagai bagian dari olah spiritualitas. Bolehlah kita pun menanti, di mana sidang MPL III mendatang akan dilaksanakan.

Kendati demikian, patutlah apresiasi serta penghargaan ditujukan bagi panitia pelaksana yang telah bekerja sedemikian hebat demi terlaksananya acara besar ini. GKMI Ekklesia melakukan breakthrough, terobosan. Gereja yang terbilang baru di kalangan GKMI, masih sangat muda, namun berani menawarkan diri menjadi panitia sebuah event besar yang akan dihadiri oleh “semua” GKMI.

Suasana rekreatif juga diciptakan dalam persidangan ini. Tiap hari dibuka dengan suguhan fragmen Keluarga Damai dari tim Akademi Muria, yang sangat menghibur di tengah kepenatan rapat yang alot dan penuh ketegangan. mengundang diskusi hangat di kalangan pendeta dan majelis jemaat. Tema-tema yang diangkat memang “relevan dan signifikan,” menyentuh problematika keluarga modern.

Dalam pada itu, bila sidang MPL ini dapat disebut sebagai sebuah “teks,” maka apa yang berulang-ulang muncul dalam teks itu adalah yang mendapat penekanan. Keluarga Damai muncul tiap hari. Berarti Keluarga Damai ini mendapat penekanan. Hanya saja, interpretasi dari hal ini bisa dua: (1) topik-topik hangat dalam keluarga harus diperhatikan oleh tiap-tiap GKMI, ataukah (2) lembaga Keluarga Damai dan Akademi Muria ada di sinode, dan siap membantu GKMI-GKMI. Tentu bergantung dari tanggapan masing-masing pembaca.

Kejutan besar yaitu di akhir acara, dalam kebaktian penutup ditayangkan jepretan-jepretan klip candid camera, tentang tingkah-tingkah lucu para peserta dari ngibing bersama sebelum sidang seksi, terlelap dalam sidang pleno, sampai ngupil. Sontak meledaklah gelak tawa peserta yang sudah mencapai titik jenuh tertinggi.

***

Di tengah semaraknya acara yang terselenggara di lingkungan ber-hot spot, bukan oleh sebab tersedia fasilitas internet, tapi pinggir pantai Bali yang indah, terbersit satu pertanyaan yang mengganggu, “Di mana GKMI Batam?” Mengapa mereka tidak datang? Pastilah beragam tafsir pun muncul. Apakah GKMI Batam tidak menyambut keceriaan bersama GKMI se-Indonesia? Lalu bagaimana tindakan selanjutnya kepada saudara kita ini?

Bisa jadi inilah problem yang dihadapi oleh sinode kita. Kita menghadapi krisis makna kebersamaan. Gereja yang besar merasa tak membutuhkan gereja yang kecil. Bahkan bisa jadi, gereja yang kuat tak lagi membutuhkan sinode. Demikianlah masalah yang mengemuka dalam diskusi panas di Sidang Seksi A, yang membahas masalah natur PGMW. Ada sebagaian PGMW yang menghendaki kerekatan dan kebersamaan yang lebih, sampai-sampai membuat persidangan PGMW, sementara itu ada yang enggan untuk menerima usulan ini, bahkan ada pula yang menolak.

Mencermati lebih lanjut, kita memang perlu untuk kesekian kalinya memaknai apa itu “konggregasional-sinodal.” Toh kata ini pun sudah multi tafsir. Dari asal kata, tak dapat dipungkiri kata ini merupakan sintesis (invention khas GKMI?) dalam sistem bergereja, konggregasional yang biasanya dianut kalangan Baptis, dan sinodal yang biasanya dipakai oleh gereja Presbiterial. Baiklah kita tak perlu berpanjang konsep, tetapi langsung saja kepada kenyataan di lapangan.

Sebagian gereja memahami sistem tersebut sebagai hubungan langsung antara konggregasi dan sinode, tanpa melalui perantara PGMW. Itulah sebabnya, golongan ini menyatakan adalah janggal semua tugas sinode dilimpahkan kepada PGMW, misalnya peremptoir. Tetapi di sisi lain, kebutuhan dalam hal kebersamaan dan kerekatan pun kian tinggi dari sebagian besar GKMI disebabkan oleh jarak yang jauh dari kantor sinode. Tanpa PGMW yang bertindak seperti “kepanjangan tangan” sinode, mereka akan sangat sulit mengurus banyak hal dalam gereja.

Bila kenyataannya demikian dalam kita bersinode, lalu apa yang bisa diperbuat? Bisa jadi, pada suatu waktu kelak, gereja-gereja merasa tidak membutuhkan sinode lagi. Harapan dari BPH adalah bahwa gereja-gereja mengingat komitmennya kembali, untuk bersatu dan bersinergi. Mungkin itulah pokok “pengharapan” yang diangkat sebagai tema. Tetapi masalah akan terus muncul, bila pada kenyataannya gereja-gereja tidak mau, apa yang dapat diperbuat oleh sinode? Seruan untuk bersatu dan mengingat komitmen mungkin akan menjadi “suara di padang gurun.” Kapankah masalah ini akan tuntas dan menemukan titik solusinya?

***

Ada pula yang menarik. Dalam laporan Panitia Pesan, halaman pertama ditulis begini, “Dalam rangka menegaskan jati diri kita sebagai gereja Mennonit, hendaknya GKMI tidak terjebak dalam wacana dan program yang menekankan ajaran (orthodoxus [sic.]) dan ide-ide abstrak yang kurang begitu dipahami oleh anggota jemaat biasa . . . kita tidak hanya membutuhkan penggalian pemaparan sejarah, teologi, misiologi dan eklesiologi saja, tapi etika. Sebagai gereja . . . Mennonit, hendaknya kita memperhatikan kehidupan yang benar (orthovita [ataukah orthozoa?]).

Kendati demikian, menurut banyak dari antara peserta sidang seksi A, yang menjadi pokok perbincangan adalah ide-ide teologis yang hanya dipahami oleh para teolog. Hal ini dapat dimengerti, karena seksi A mendapat mandat untuk menelurkan konsep-konsep bagi arah perkembangan GKMI. Perlu pula mendapat highlight, dalam rekomendasi sidang seksi A mengenai draft Tata Dasar, khususnya di pasal 3, muncul satu klausula baru yang menarik, “keutuhan ciptaan,” sehingga klausula secara lengkapnya, “Tujuan GKMI adalah melaksanakan misi gereja sebagai komunitas kerajaan Allah yang memberitakan dan mewujudkan Injil Keselamatan dengan berlandaskan Kasih, Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan.”

Pertama, konsep “keutuhan ciptaan” adalah konsep yang abstrak. Kait-mengaitnya adalah dengan doktrin penciptaan, dan visio Dei saat menciptakan langit dan bumi. Membicarakan masalah keutuhan ciptaan, dengan demikian, membutuhkan kajian teologis yang mendalam.

Kedua, sepengetahuan saya, institusi-institusi Mennonite tidak menaruh cukup perhatian untuk mengkaji teologi penciptaan dan alam. Pernah diadakan simposium mengenai Anabaptisme dan Lingkungan Hidup, dan diterbitkan dalam sebuah buku akademis Creation and the Environment: An Anabaptist Perspective on a Sustainable World, disunting oleh Calvin Redekop. Thomas Finger, salah seorang dogmatikus Mennonite ternama saat ini mengatakan, “Almost no theological reflection on the doctrine most closely associated with nature, that of creation, has arisen from [Anabaptist-Mennonite] groups” (hal. 154). Hampir-hampir tidak ada refleksi teologis mengenai doktrin yang berkaitan dengan alam dan ciptaan, dari kelompok-kelompok Anabaptis-Mennonit.

Jadi, bila pun ada sejumlah pemikir Mennonit yang menelurkan pemikiran mengenai “keutuhan ciptaan,” pertanyaannya adalah apakah pemikiran itu mewakili pemikiran Mennonit, dan apakah bisa kita adopsi sebagai bagian dari konfesi GKMI.

Wacana keutuhan ciptaan justru menjadi salah satu bahasan penting dalam Dewan Gereja Dunia (atau WCC) maupun Konferensi Gereja-gereja Asia (atau CCA). Denominasi yang banyak membahas mengenai penciptaan adalah Calvinis (lih. tulisan-tulisan mendiang Prof. Colin Gunton yang orientasinya pada teologi penciptaan). Yohanes Calvin menyebut dunia ini sebagai “panggung pentas kemuliaan Allah” (theatrum gloria Dei) dan tafsiran Mazmurnya mengilhami banyak pemikir selanjutnya. Sebagai pembanding, kaum Lutheran selalu mengaitkan doktrin pada “pembenaran oleh iman,” Katolik pada “Inkarnasi Yesus Kristus,” gereja Ortodoks pada “Eskatologi,” Calvinis pada “Penciptaan.” Bagaimana dengan kaum Mennonit? Mennonit memberi tekanan penting kepada kemuridan yang radikal, yaitu bagaimana berlaku benar sama seperti Yesus Kristus, Sang Guru. Maka, etika menjadi poin fokalnya.

Ketiga, tradisi sub-kultural GKMI adalah tradisi Pietisme, yang mengutamakan hidup saleh, perubahan hidup dan pengalaman pribadi dengan Tuhan. Refleksi teologis menjadi prioritas kedua, atau ketiga, sejauh menolong untuk perubahan hidup dan mengalami pengalaman dengan Tuhan. Konsep keutuhan ciptaan tentu saja menjadi konsep yang abstrak bagi kaum Pietis.

***

Yang jelas, pengharapan itu adalah jalan yang panjang. Kata sebuah kidung, “Tersembunyi ujung jalan, hampir atau masih jauh.” Tetapi kiranya kita tetap meyakini, “’Ku dibimbing tangan Tuhan, ke negeri yang tak ku ta’u.” Dan doa kita adalah, “Bapa, ajar aku ikut, apa juga maksudmu; tak bersangsi atau takut, beriman tetap teguh.”

Marilah kita berdoa dan berjuang, agar seperti semangat rasul Paulus untuk terus terang dan tanpa rintangan apa-apa dalam memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus (Kis. 28.31). Pengharapan kita yang kita mohonkan agar Tuhan pulihkan yaitu agar perjalanan gereja kita tidak seperti akhir kisah percakapan antara Rasul Paulus dan para Yahudi di Roma, “Maka bubarlah pertemuan itu dengan tidak ada kesesuaian di antara mereka” (Kis. 28.27).

TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment