Thursday, September 20, 2007

Delapan Norma Dasar Ibadah Kristen


DELAPAN NORMA DASAR IBADAH KRISTEN


1. Ibadah Kristen haruslah alkitabiah. Alkitab adalah sumber pengetahuan kita akan Allah dan akan penebusan dunia di dalam Kristus. Pembacaan Alkitab merupakan bagian yang utama dalam ibadah. Ibadah haruslah mengetengahkan keberadaan, kesempurnaan dan tindakan-tindakan Allah yang bersesuaian dengan yang diberitakan Alkitab. Ibadah haruslah mematuhi amanat-amanat Alkitab mengenai praktik-praktik kebaktian, dan ibadah harus mewaspadai gaya yang salah dan tidak semestinya. Ibadah haruslah memfokuskan perhatiannya tepat seperti yang diwartakan Kitab Suci: pada pribadi dan karya Yesus Kristus sebagai Penebus segala ciptaan, Sang Pendiri dan Penahbis Kerajaan Allah melalui karya Roh Kudus.


2. Ibadah Kristen haruslah dialogis. Dalam ibadah, Allah berbicara dan Allah mendengarkan. Oleh kuasa Roh Kudus, Allah menantang kita, menghibur kita, dan membangkitkan kita. Dengan karya efektif Roh Kudus, kita mendengarkan dan kemudian berespons dengan pujian, pengakuan dosa, permohonan, kesaksian dan persembahan diri. Alkitab terus-menerus memotret Allah sebagai inisiator, tetapi Allah juga aktif berpartisipasi dalam persekutuan bersama umat. Suatu kehidupan yang sehat dengan Allah ditandai memelihara suatu keseimbangan antara mendengarkan dengan penuh perhatian serta perkataan yang tulus. Demikian pula dengan ibadah. Inilah sebabnya kata-kata kita penting di dalam ibadah: Kata-kata itu dipakai oleh Allah untuk berkata-kata kepada kita, dan kata-kata itu juga membawa pujian dan doa kita kepada Allah.


3. Ibadah Kristen haruslah kovenantal (berlandaskan ikatan perjanjian Allah). Dalam ibadah, ikatan perjanjian Allah yang baru serta penuh kasih di dalam Kristus diperbarui, diteguhkan dan dimeteraikan. Hubungan yang menyatakan bahwa Allah mengundang kita ke dalamnya ini bukanlah hubungan kontrak kerja dengan serentetan tuntutan kewajiban tetapi hubungan kovenantal atau hubungan yang dilandasi oleh perjanjian Allah dengan kasih-yang-memberi-diri sebagai karakteristiknya. Hal ini lebih mirip ikatan pernikahan ketimbang suatu kontrak legal. Ibadah haruslah mempertimbangkan perjanjian Allah bagi kita dan mengizinkan kita untuk mengambil komitmen untuk kembali berada di dalam jalinan kovenantal ini. Satu pertanyaan yang harus diajukan dalam ibadah apa pun, yaitu apakah ibadah itu telah memampukan kita untuk berbicara kepada Allah sebagai mitra kovenan yang setia dan penuh komitmen!


4. Ibadah Kristen haruslah Trinitaris. Di dalam ibadah kita berjumpa serta menyapa Allah—Bapa, Putra dan Roh Kudus—satu Allah di dalam tiga pribadi, yang empunya kekudusan, kasih, keindahan dan kekuasaan. Allah itulah yang mengundang kita dengan penuh kasih dan kemudian mendengarkan respons kita. Allah itu pulalah yang menyempurnakan dan mengantarkan pujian serta permohonan kita. Allah itu pula yang menolong kita memahami apa yang kita dengar dan mendesak kita untuk bergegas berespons. Maka, di dalam ibadah kita ditarik ke dalam hubungan mesra bersama Allah (Sang Bapa) melalui Allah (Sang Putra) dan oleh Allah (Sang Roh Kudus). Ibadah adalah arena yang di dalamnya Allah Trinitas aktif dalam menarik kita lebih dekat lagi, memelihara iman kita dan menantang kita untuk hidup dalam kepatuhan dan kesetiaan. Dalam ibadah kita memusatkan perhatian kita kepada Allah yang memberi diri-Nya sendiri. Fokus yang berpusatkan Allah ini juga menghindarkan kita dari pencobaan untuk “menyembah” ibadah itu sendiri.


5. Ibadah Kristen haruslah komunal. Injil Kristus menarik kita ke dalam hidup di dalam komunitas dengan orang lain. Ibadah ialah satu latar yang di dalamnya kita melihat gereja dalam tindakan serta kita berusaha untuk mewujudnyatakan dan memperdalam kesatuan, kekudusan dan kesaksian gereja. Ibadah adalah aktivitas orang pertama jamak. Adalah sangat penting bahwa di dalam ibadah kita menyaksikan meski beragam orang, kita mempersembahkan pujian bersama, berdoa bersama, mendengarkan bersama, dan mengikat janji bersama pula.


6. Ibadah Kristen haruslah ramah dan penuh kekeluargaan. Ibadah Kristen tidak boleh berpusat pada diri sendiri. Dalam ibadah, kita mendoakan dunia dan menawarkan keramahtamahan bagi semua orang yang tinggal dalam ketakutan, keputusasaan dan kesepian. Ibadah publik mengutus kita untuk memiliki pola hidup yang penuh penyembahan: dalam pelayanan dan kesaksian. Ibadah tidak sekadar membuat kita nyaman dengan janji-janji Injil tetapi juga mengusik kita (sungguh!) untuk tetap menyadari arti penting dari ketakutan dan kehancuran di dalam dunia dan kebutuhan mendesak dari dunia kita akan seorang Juruselamat. Ibadah memenuhkan ucapan syukur di hati kita yang kemudian secara natural menuntun kita kepada pelayanan bagi dunia kita yang telah porak-poranda.


7. Ibadah Kristen haruslah “di dalam, tetapi bukan dari, dunia.” Ibadah Kristen selalu mencerminkan budaya setempat. Pola berbahasa, gaya berpakaian, waktu, ritme dan harmoni musik serta gaya simbol-simbol visual sangat berbeda sesuai dengan konteks budaya masing-masing. Pada saat yang sama, ibadah jangan sampai diperbudak oleh kebudayaan. Ibadah harus tetap menyerukan suara kenabian, menantang tiap-tiap dimensi dalam budaya yang ganjil dengan Injil Kristus.


8. Ibadah Kristen haruslah suatu pencurahan diri yang tulus di hadapan Allah. Ibadah tidak boleh pura-pura. Bagai minyak wangi yang mengurapi kaki Yesus, ibadah kita haruslah merupakan pencurahan kasih dan pujian yang melimpah-limpah kepada Allah yang telah menciptakan dan menebus kita. Ibadah menuntut persembahan kita yang terbaik. Ketika kita berlatih musik, mempersiapkan kata-kata untuk bicara, menyisihkan uang dan waktu untuk dipersembahkan, dan memastikan bahwa kita disegarkan, serta siap untuk memberikan hati dan perhatian yang tak terbagi, kita sedang memraktikkan karakter luhur yang layak dipersembahkan kepada Allah kita yang agung dan penuh kasih. (jdw/eb)



TERPUJILAH ALLAH!

No comments:

Post a Comment