AGENDA DALAM MANIFESTO NAZARET
Bagi Yesus dari Nazaret, credenda menjadi agenda! Visi tak mungkin berjalan tanpa misi, tetapi misi pun harus dipertajam dengan strategi! Berbeda dengan orang-orang sezaman-Nya, Yesus tidak memilih mengangkat senjata—seperti kaum Zelot. Yesus juga tidak menarik diri dari kehidupan sehari-hari, menyepi, talak brata dengan laku asketis—seperti kaum Esseni di Qumran.
Yesus memiliki agenda untuk dikerjakan. Sebagai seseorang yang diurapi—indikasi-Nya Yesus tahu panggilan-Nya sebagai seorang nabi, sama seperti Elia dan Elisa—Yesus digerakkan oleh berita PL. Berita Tahun Yobel menjadi bagian yang penting dalam karya-karya-Nya.
Di sepanjang Injil Lukas, Yesus tidak segan-segan merangkul “orang-orang berdosa,” yang dicampakkan oleh masyarakat, yakni mereka yang tidak lagi dianggap manusia oleh manusia. Yesus menyembuhkan orang sakit, menjamah orang yang cacat, dekat dengan kaum-kaum terbuang (pemungut cukai, wanita tuna susila dan pengemis). Yesus datang, mengangkat mereka, dan memanusiakan manusia. Meminjam dictum ordo Yesuit, agenda Yesus adalah Dei gloriam, vivens homo, “memuliakan Allah, mengangkat manusia.” Sangatlah keliru bila kita hanya memahami aspek kesembuhan itu sebagai mukjizat Yesus yang unik. Kesembuhan yang diterima oleh orang-orang yang cacat dan najis pada hakikatnya bertujuan untuk mengangkat mereka agar menjadi sama seperti para tetangga mereka. Seseorang yang terikat oleh perbudakan legalisme yang merendahkan martabat manusia, kini telah dilepaskan. Mereka yang dahulu bukan manusia, kini menjadi manusia.
Dengan singkat, kita dapat katakan, credenda yang menjadi agenda di tangan Yesus adalah: Ia bertindak secara simbolis bahwa Allah telah hadir di tengah-tengah umat-Nya! Orang-orang Yahudi memiliki simbol ketika mereka berbicara mengenai Allah, Sang Pencipta langit dan bumi, Allah yang hidup, yang hadir di tengah-tengah umat-Nya untuk menolong dan menyelamatkan mereka.
Mereka percaya bahwa Hikmat Allah tinggal di antara umat-Nya, menunjukkan kepada mereka jalan yang sejati. Yesus bertindak dan mengajar seolah-olah Ia adalah Sang Hikmat, Sophia, atau Hokma, itu.
Mereka percaya bahwa Allah yang hidup itu hadir melalui Taurat yang Ia telah berikan. Ia mengumpulkan kaum pilihan-Nya dan mengajar seolah-olah Ia sendiri adalah Taurat yang sejati itu, bahkan Sang Pemberi Hukum Taurat sendiri, dan pokok yang menyatukan umat Allah.
Mereka percaya bahwa Allah yang hidup tinggal, secara khusus, di Bait Suci Yerusalem. Yesus berindak dan berbicara seolah-olah Ia dipanggil untuk melakukan dan menjadi apa yang menjadi fungsi Bait Suci pada masa lampau.
Berita yang dibawa oleh Yesus tak lain dan tak bukan berbicara mengenai diri-Nya sendiri. Ia adalah pokok pemberitaan dan pengajaran yang keluar dari mulut-Nya. Ia tidak sekadar mengajarkan serentetan aturan moral yang baru. Ia bukan tokoh penggerak massa dengan segudang ide pembaruan utopis. Ia menggemakan apa yang menjadi keyakinan orang-orang sezaman-Nya, tentang Allah yang hadir di tengah umat-Nya, tentang tatanan baru di bawah Allah yang disebut sebagai Kerajaan Allah! Di dalam diri seorang muda sederhana asal Nazaret yang memberitakan Kerajaan Allah, menyembuhkan orang-orang yang sakit, mengonfrontasi para penguasa, menderita di bawah tindihan sengsara dunia, dan bangkit kembali mengalahkan kematian, maka kita sebagai pengikut-Nya dengan berani mengatakan, “Itulah artinya menjadi Allah!”
Jika berita Yesus, serta tindakan-Nya, menyatakan bahwa Allah Israel telah hadir kembali di antara umat-Nya Israel, bahwa Israel telah dipulihkan, bukan untuk menjadi sebuah bangsa yang adijaya, tetapi umat yang patuh kepada Allah-Nya, maka hal ini pun menyiratkan satu kebenaran fondasional bahwa Allah itu Raja bagi kaum pilihan-Nya, dan konsekuensi lebih luas lagi yakni bahwa Allah pun menjadi Raja atas seluruh ciptaan. Jika Allah menjadi raja atas seisi dunia, maka kerajaan-kerajaan dunia yang absolutis pun secara otomatis gulung tikar. Inilah politik yang menjadi rahasia keempat Injil. Bahkan kita pun dapat mengatakan, inilah politik yang digaungkan di PB, dengan klimaksnya, “Kerajaan dunia ini telah menjadi Kerajaan Allah kita dan Kristus-Nya” (lih. Why. 11.15).
Bagaimana mungkin hal itu terjadi? Yakni melalui Yesus dari Nazaret yang disalibkan dan yang dibangkitkan. Apabila Anda memiliki cukup waktu untuk menyelidiki Lukas, maka Injil ini dipenuhi dengan berita theologia crucis, teologi salib, bahwa pada setiap titik Yesus diidentikkan dengan orang-orang berdosa, sehingga dalam rancang bangun mega plan Allah yang dinyatakan secara penuh dengan kebangkitan Kristus, Ia dapat meretas jalan bagi Israel untuk menjadi satu keluarga besar yang mendunia! Ia yang dibangkitkan itu naik ke surga, bertakhta di sebelah kanan Allah, dan Ia akan kembali hadir untuk menyempurnakan pemerintahan Allah ini, dengan jalan memusnahkan semua musuh, termasuk dosa dan kematian!
Kerajaan Allah, dalam pikiran Yesus, sedang datang, dan orang-orang harus berdoa memohon kedataang kerajaan itu, di atas bumi seperti di dalam surga. Dan Ia sudah ada di atas bumi, dan membuatnya terjadi di depan mata tiap-tiap manusia. Ketika Herodes mendengarnya, ia kebakaran jenggot; sebab ia merasa Raja orang Yahudi. Tatkala imam besar mendengarnya, mereka tahu adanya kuasa tandingan yang akan mengoyakkan basis pertahanan politik mereka, Bait Suci. Tak dipungkiri, bila Kaisar pun mendengarnya, Ia akan bereaksi sama. Apa yang tidak pernah dapat dipahami oleh para penguasa, bahkan orang-orang terdekat dari Yesus juga sulit untuk memahami maksud Yesus, yaitu tantangan sejenis apa yang Yesus coba lakonkan: kerajaan yang seperti apa yang Ia sedang bangun, dan raja yang bagaimana yang Ia pikirkan mengejawantah di dalam diri-Nya.
Tantangan yang paling puncak, yang diterjang oleh Yesus adalah dengan menanggung kematian di atas salib. Salib adalah hukuman sah dari Kaisar kepada raja-raja tandingan yang memberontak. Namun di mata Allah, kematian Yesus di kayu salib mempunyai nilai yang berbeda. Kalvari dan Paskah adalah dua sisi mata uang. Dua tradisi Perjanjian Lama, apokaliptik dan hikmat, tertangkup menjadi satu: Dunia yang baru telah terlahir—inilah klaim kerajaan-kerajaan dunia—oleh sebab senjata utamanya, yakni kematian itu sendiri, telah dilucuti dan dihancurleburkan. Tidakkah kita menangkap ada aspek politis di balik kematian dan kebangkitan Yesus? Memang, aspek spiritual dan etis pun ada, tetapi injil yang sejati berbicara tentang hidup yang utuh.
Kematian Yesus adalah kematian politis. Kebangkitan Yesus pun sama. Politik yang bertentangan dengan politik dunia! Politik yang menaklukkan politik dunia dengan senjata yang biasa dipakai untuk mengalahkah pihak lawan. Yesus melancarkan politik-Nya dengan masuk ke jantung yang terdalam senjata musuh! Dengan masuk ke “sarang lawan,” Yesus tahu betul apa artinya kematian! Dengan jalan itulah, ia mampu menaklukkan maut dan sengatnya. Dan melalui kebangkitan-Nya, ciptaan baru merekah, sebuah tata ciptaan yang dipimpin dan diperintah oleh Allah!
Apa yang dapat kita simpulkan dari agenda Yesus? Pikirkan kata-kata M. Macchovec, seorang Marxis tentang Yesus,
Jesus’ ‘doctrine’ . . . set the world on fire not because of the obvious superiority of his theoretical programme, but rather because he himself was at one with the programme, because he himself was the attraction. They saw in him a man who already belonged to this coming Kingdom of God; they saw what it meant to be ‘full of grace,’ what it meant to be not only a preacher but himself the product of his preaching, a child of the future age to the marrow of his bones (A Marxist Look at Jesus, 82-83, 90).