Pepatah Jawa mengatakan, “Bathok bolu isi madu,” yang berarti dari perihal remeh tersimpan cairan kental yang manis dan berharga mahal. Tuhan Yesus tidak memandang sepele orang-orang yang nestapa, bahkan berkata, “Berbahagialah hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah.” (Luk. 6:20) Rasul Paulus pun menggemakan perkataan Tuhan Yesus, “dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.” (1Kor. 1:28-29).
Bagiku Ethiopia, tempat tugasku selama setahun sebagai utusan Mennonite World Conference (MWC) dan Mennonite Central Committee (MCC) dalam program Young Anabaptist-Mennonite Exchange Network (YAMEN!) juga seperti itu. Jauh-jauh hari, aku tidak pernah menyangka bahwa negeri yang tergolong paling miskin di dunia ini menyimpan sejuta kekayaan! Baik itu kekayaan alam, kultur maupun religius. Bila orang Kristen mempunyai uang lebih, biasanya tempat wisata luar negeri berbau Kekristenan adalah Israel dan daerah Sungai Yordan serta sejumlah tempat di Turki (dahulu Asia Kecil). Nyaris tidak pernah memilih Ethiopia sebagai salah satu pilihan! Sebab, gambaran yang telah terpatri sejak dahulu adalah: Ethiopia adalah negeri yang penuh kelaparan.
Memang bukan merupakan rahasia, Ethiopia adalah negeri yang penuh paradoks. Ada dataran yang sangat tinggi, dengan ketinggian lebih dari 4.000 m. di atas permukaan Laut, yaitu daerah Ras Dashen dengan ketinggian 4.620 m. Tetapi juga padanya terdapat dataran yang tergolong paling rendah sedunia, yaitu Danakil Depression dengan kerendahan -116 m. di bawah permukaan laut. Secara demografi, di Ethiopia dapat dijumpai orang-orang yang sangat kaya, tetapi juga sangat banyak orang-orang yang papa; kelaparan dan malnutrisi masih menjadi problem serius negeri ini. Negeri ini kaya dengan sejarah religiositas, tercermin dengan kata-kata yang sering terucap ketika orang berpapasan dan bertanya, “Apa kabar?” (“Dehna neh/nesh?”) tidak pernah tertinggal ungkapan, “Terpujilah Allah!” (“Ighzabher yimsken”) dalam bahasa Amharic, namun negeri ini juga menghadapi tantangan HIV/AIDS yang merajalela. Negeri ini kaya dengan sumber daya alam, namun kapasitas untuk menggali dan mengelolanya tidak dimiliki oleh pemerintah Republik Federasi (yang menggantikan rezim komunisme pimpinan Mengistu Haile Mariam pada tahun 1991).
Kendati tergolong negara miskin, rakyat Ethiopia membanggakan bahwa negeri mereka adalah satu-satunya yang tidak pernah dijajah oleh satu bangsa Eropa manapun di benua Afrika. Sekalipun Fasisme Italia di bawah pimpinan Bennito Mussolini pernah mencoba menginvasi Ethiopia lewat jalur utara (Eritrea), dan berhasil menduduki Ethiopia, Eritrea dan Somaliland Itali pada tahun 1936, namun pada tahun 1941 Italia berhasil diusir dari Ethiopia. Di halaman bekas istana kaisar Haile Selassie I yang kemudian dibaktikan untuk menjadi gedung utama Museum Etnografi dan Institut Penelitian Ethiopia serta Universitas Addis Ababa, didirikan monumen undak-undakan yang menunjukkan kekuasaan Fasisme Italia sejak dimulai pada tahun 1922 hingga diusir dari Ethiopia pada 1941. Di puncak monumen itu duduk patung seekor singa bermahkota, lambang kaisar Haile Selassie I.
Gedung yang merupakan museum ini sendiri sangat menarik perhatian. Karena di dalamnya masih tersimpan sejumlah peninggalan kaisar Mennelik II dan permaisurinya, juga Haile Selassie I dan permaisuri Menen. Atmosfer dramatis masih dapat dirasakan ketika memasuki kamar pribadi Haile Selassie I, sebab di sana dapat disaksikan lubang bekas peluru di kaca rias dan tembok di ruang ganti pakaian sang kaisar, yang ditembakkan dari luar gedung dalam upaya pembunuhan sang kaisar. Karena terbatasnya ruang, tidak cukup bagi kita membicarakan sejarah pro dan kontra pada masa bertakhtanya kaisar Haile Selassie I.
****
Realitas bahwa Ethiopia tidak pernah dijajah oleh satu negara Eropa mana pun mungkin merupakan penyebab negeri ini memiliki keunikan yang tidak dimiliki semua negara yang berdirinya diwarnai oleh Kekristenan. Ethiopia sendiri sangat diwarnai oleh Orthodoks Ethiopia. Kekristenan ini tergolong dalam Kekristenan Oriental yang dianggap monofisit (“natur tunggal”) oleh gereja penganut keputusan persidangan di Kalsedon (451 M.) tentang keilahian dan kemanusiaan Yesus. Bagi Gereja-gereja Orthodoks Oriental, Kristus memiliki satu natur, yaitu ilahi; sangat sulit dan mustahil untuk memilah Kristus memiliki natur ilahi serta manusia. Gereja Orthodoks Yunani serta Gereja Katolik Roma menganggap sesat pandangan Gereja-gereja Oriental tersebut dan mengeluarkan golongan ini dari persekutuan yang “am.” (Uraian sejarah selanjutnya dapat dibaca dalam buku-buku dogmatika atau dapat ditanyakan kepada seorang rohaniwan yang gemar mencermati sejarah pemikiran Kristen.)
Keunikan yang paling menyolok adalah kalender. Ethiopia tidak menganut sistem 12 bulan (Januari-Desember) dalam penanggalan Eropa yang direvisi oleh Justinianus. Negeri ini masih mengikuti penanggalan Gregorius Agung, sehingga “ketinggalan” 8 tahun! Tahun 2007, Ethiopia baru memasuki Millenium III. Jadi pada tahun 2009, Ethiopia memasuki tahun 2002.
Penghitungan tahun baru pun tidak dimulai pada tanggal 1 Januari, tetapi 11 September. Dan, terdapat 13 (tiga belas) bulan! Itulah sebabnya, Kementrian Pariwisata dan Postel Ethiopia memromosikan negeri ini dengan “Tiga Belas Bulan Sinar Matahari.” Nama bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:
Maskaram (11 September – 10 Oktober)
Tekemt (11 Oktober – 9 November)
Hedar (10 November – 9 Desember)
Tahesas (10 Desember – 9 Januari)
Ter (10 Januari – 7 Februari)
Yekatit (8 Februari – 9 Maret)
Megabit (10 Maret – 8 April)
Miazia (9 April – 8 Mei)
Genbot (9 Mei – 7 Juni)
Sane (8 Juni – 7 Juli)
Hamle (8 Juli – 6 Agustus)
Nhase (7 Agustus – 5 September)
Poagme (5 September – 10 September)
Jadi, bulan ke-13 hanya terdiri dari 5 hari. Bila tahun kabisat menjadi 6 hari (konversi dengan penanggalan Eropa menjadi dimulai pada tanggal 12 September).
Tahun Baru Ethiopia dimulai pada waktu Ethiopia mengalami musim penghujan yang besar. Cuaca di Addis Ababa dengan ketinggian 2.400 m. menjadi sangat dingin, rata-rata suhu 15oC. Namun biasanya, setelah tahun baru, curah hujan menurun dan suhu menjadi lebih hangat. Anak-anak Abbisha (sebutan lain orang Ethiopia) mengenakan baju baru dan menari-nari di perkampungan tempat tinggal mereka, memberikan karangan bunga, kartu bergambar atau lukisan kepada seluruh anggota keluarga.
Suasana makin meriah karena hampir tiap rumah menyembelih kambing atau domba atau ayam. Tetapi kebiasaan yang “aneh” bagi seorang Indonesia sepertiku adalah, pada perayaan tahun baru, banyak orang di sini yang memakan daging-daging itu mentah! Aku bertanya kepada seorang yang cukup umur, di mana aku tinggal bersama keluarganya pada saat ini, katanya itu merupakan kebiasaan yang diturunkan sejak dahulu. Lagi, setiap laki-laki Abbisha harus belajar memakannya karena itu merupakan tanda kejantanan. Karena rasa ingin tahu, aku bertanya bagaimana rasanya. Ia menjawab dengan balik bertanya, bagaimana rasanya air putih? Tidak berasa. Daging mentah pun sama. Tidak ada rasanya, tetapi ketika dimakan dengan masakan lain (bentuknya seperti pasta berwarna kuning dan berasa pedas merica sebagai kekhasan masakan Ethiopia), terjadilah cita rasa baru yang nikmat! Tetapi, bukankah dalam daging sapi ada cacing pitanya (Taenia saginata)? Tanyaku. Ia menjawab dengan tertawa, “Justru itulah supaya terjadi keseimbangan dan keadilan, sehingga toko obat menjadi laku! Kalau tidak begitu, bagaimana mereka mendapatkan uang?”
Harap digarisbawahi! Jangan cepat-cepat menghakimi dengan kacamata budaya Indonesia. Ini memang bukan budaya makan kita. Namun demikian, bukankah di wilayah Asia sendiri, ada negara yang memakan ikan mentah hanya dengan cuka? Orang-orang Amerika Utara pun terheran-heran ketika aku bercerita bahwa di Indonesia (khususnya Jawa) semua jenis sayuran dimasak sebelum dikonsumsi, dan setiap kali makan pasti menu utamanya nasi. Isu budaya merupakan isu relatif, artinya berkaitan dengan konteks di mana kita tinggal dan bagaimana tata aturan yang berlaku dan yang diakui oleh masyarakat setempat. Karena itu, tidak bijak untuk menilai dan menyalahkan budaya lain dengan cara berpikir yang kita bawa dari tempat asal kita.
Kembali ke perayaan Tahun Baru Ethiopia. Perayaan ini serentak dengan Perayaan “hari lahir” St. Yohanes Pembaptis. Hari tersebut juga dinamakan Enkutatash. Artinya “hadiah perhiasan-perhiasan.” Kisah yang berkaitan dengan Perjanjian Lama ialah pada waktu Ratu Syeba kembali dari perjalanan panjang serta mahal untuk mengunjungi kaisar Salomo di Yerusalem, para punggawa kerajaan menyambutnya dengan memenuhi perbendaharaannya dengan enku atau perhiasan-perhiasan. Sejak saat itu, pada masa hujan tiba diadakanlah perayaan Enkutatash. Nyanyian serta tarian selalu terdengar di pedesaan-pedesaan. Rumah-rumah dihiasi rumput-rumput sebagai pengharapan “hijau”-nya tahun yang baru.
Perayaan tahun baru Ethiopia biasanya dipusatkan di gereja Kostete Yohannes di kota Gaynt di provinsi Gondar, yang dibangun pada abad ke-14. Tiga hari doa, mazmur dan nyanyian, khotbah dan prosesi akbar nan warna-warni menandai perayaan Tahun Baru. Di utara Addis Ababa, Gereja St. Raguel, di puncak Gunung Entoto, juga menggelar yang paling meriah dan spektakuler di seluruh Ethiopia.
****
Memang, tidak semua orang Ethiopia Kristen. Jumlah orang Muslim pun besar di negeri ini. Maka, tahun baru bukan semata-mata perayaan religius. Kendati begitu, semua penduduk Ethiopia merayakannya. Nyanyian dan tarian gadis kecil di antara bunga-bunga yang mekar merupakan pelambang masa bersemi dan kehidupan yang baru. Enkutatash juga dirayakan dengan saling bertukar kartu ucapan selamat tahun baru.
Minggu 6 September 2009, merupakan pengalamanku mengikuti kebaktian di gereja Abbisha yang berbahasa Amharic (bahasa nasional Ethiopia). Setelah kebaktian selesai, aku disodori oleh seorang anggota sekolah minggu anak-anak sebuah kartu ucapan bertuliskan huruf-huruf Amharic. Aku terima saja. Tetapi dia memandangiku dan berkata, “And Birr” (“Satu Birr”). Oh, baru aku sadar bahwa kartu itu dijual seharga 1 Birr Ethiopia (mata uang resmi), atau senilai Rp. 800,00.
Gereja tempat aku beribadah (dan melayani) memang menganjurkan semua anggotanya untuk membeli kartu dan mengajak orang-orang yang belum mengenal Kristus dengan kartu ucapan selamat tahun baru itu. Gereja ini merupakan gereja Mennonit dengan perkembangan paling cepat di seluruh dunia. Sekarang, anggotanya berjumlah 337.200 orang dengan 510 tempat ibadah di seluruh Ethiopia. Gereja ini bernama Meserete Kristos Church (MKC).
Demikianlah sejumput pengalamanku di tanah Abbisha. Di tahun baru Ethiopia ini, aku harus belajar mengucapkan, “Melkam addis amit!” Selamat Tahun Baru!
Igzhabher yimsken!