Tuesday, January 22, 2008

Kristus, Pendamaian Kita (2)


PENDAMAIAN: RUNTUHNYA TEMBOK PENGHALANG

Identitas baru itu bekerja lebih jauh dari yang kita pikirkan. Kita tidak ditinggalkan sendiri, sehingga merasa kesepian, tidak diterima dan inferior. Kristus membawa kita pulang kepada Allah! Kita diterima dalam keluarga Allah. John H. Elliott, pakar PB dari Universitas San Fransisco, pernah menulis satu artikel akademis yang membuktikan bahwa gerakan Yesus dari Nasaret, bukan berorientasi pada egalitarianisme dan persamaan hak, tetapi berorientasi pada keluarga! Sebagai seorang sarjana yang tidak terlalu blak-blakan mengenai kebangkitan jasmani Kristus, Elliott berkata, “after as well as before Jesus’ death the dominant basis, focus, locus and model for the Jesus movement and its local assemblies was the household, an institution organized on stratified, not egalitarian, lines” (J. H. Elliott, “The Jesus Movement Was Not Egalitarian but Family Oriented,” Biblical Interpretation 11/2 [2003]: 173). Ia pun membuktikan tiadanya bukti tekstual tentang kesetaraan ekonomi dan sosial yang aktual serta konkret. Nampaknya belum ada ahli yang menentang pendapatnya.

Apakah kemudian hal ini membenarkan imperialisme-kolonialisme? Sama sekali tidak. Apa yang diberitakan oleh Kristus dan digemakan kembali oleh Rasul Paulus ialah: Kita ini milik Allah. Allah adalah Bapa kita. Kristus adalah Saudara sulung kita. Di hadapan Allah, kita ini adalah anak-anak pungut, adopsian, tetapi Allah mendudukkan kita semeja dengan Kristus Yesus, Sang Putra Tunggal-Nya! Kita tinggal di tempat di mana Allah dan Kristus tinggal!

Masihkah kita merasa Allah itu jauh dan tidak dapat didekati? Tembok penghalang antara manusia dengan Allah sudah runtuh! Manusia gagal mengenali bahwa Allah itu dekat; dan inilah jantung hati dosa! Allah selalu dekat dengan manusia, hanya saja kekudusan dan keadilan Allah yang memisahkan manusia dengan Allah. Kekudusan Allah selalu merupakan kehadiran yang overwhelming, yang menggentarkan. Namun di dalam Kristus, Allah merubuhkan penghalang itu, dan kelemahan kita telah disingkirkan. Kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah (Rm. 5.1)! Perhatikan kata-kata yang rasul pakai: damai sejahtera, jalan masuk, menjadi dekat, pendamaian, semua ini menekankan bahwa penghalang antara Allah dan kita telah disingkirkan!

Sungguh menakjubkan, Rasul berkata bahwa “segala berkat rohani di dalam surga” telah dikaruniakan kepada kita! (lih. 1.3). Bukan hanya itu saja, kita malahan diberi “tempat bersama-sama dengan Dia di surga” (2.6). Surga adalah takhta Allah, dan dengan demikian, kita diterima di tempat Allah bertakhta! Ya benar, kita ada di bumi, namun pengharapan sudah kita miliki: yaitu pada kegenapan waktu, Allah akan “mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala, segala sesuatu baik yang di surga maupun yang di bumi” (1.10). Kita bersekutu dengan Allah! Kita menikmati hadirat Allah! Kita bersukacita di dalam Dia! Kita merasa at home dengan Allah! Inilah realitas keluarga yang dimaksud!

Implikasinya sangat jelas bagi gereja! Sebagai pionir, pelopor pengharapan tersebut, gereja adalah Satu Keluarga. Dalam hubungan keluarga, masing-masing peduli, saling berkomitmen, terbuka, menghadapi tantangan bersama, dan saling menopang serta mendukung. Apakah kita sudah merasa at home di gereja kita? Sapaan yang hangat dan saling mengenal harus menjadi jati diri keluarga Allah. Ibadah Raya kita pun harus bersemi dari pemahaman keluarga, dan bukan berasal dari kekuatan pancaindera, atau efek kecanggihan teknologi audio-visual. Para anggota keluarga Allah butuh kenyamanan, kemerdekaan untuk diterima, dilibatkan dalam pengalaman hidup sebagai keluarga, serta pengalaman disapa dan menyapa sesama anggota. Jangan sampai ada yang merasa terasing, atau berada di luar garis batas keluarga Allah. Semua orang perlu mengenal mereka adalah anggota keluarga Allah!

Kristus, Pendamaian Kita (1)


PENDAMAIAN: KUASA TRANSFORMATIF

Filosofi Jawa menempatkan memori dalam posisi yang penting. Setiap orang harus eling, “ingat”: eling bab sejatining urip (mengingat hakikat hidup yang sejati). Dengan mengingat, tiap-tiap orang menjadi sadar siapa dirinya dan posisinya di hadapan Yang Mahakuasa, lingkungan dan diri sendiri. Setiap orang diajak untuk mawas, waspada, tidak gegabah, cermat dalam bertingkah laku dan berhikmat dalam mengambil keputusan.

Hidup di zaman yang serba susah ini, memori memainkan peran yang besar. Kita mengingat masa-masa dukacita, sukacita, rekan dan kolega yang kita kenal, berbagai informasi yang berjejal masuk tiap detik di kepala kita. Memori indah membuat wajah kita cerah, hati berbunga-bunga dan terdapat kedamaian yang masuk ke dalam hati kita. Namun tak jarang, memori buruk membuat kita trauma, dan takut untuk menghadapi hari esok oleh sebab kecemasan yang tergores telah sedemikian dalam, sehingga kita selalu berpikir bila kejadian yang menyakitkan itu kembali terulang. Terhadap memori yang buruk ini, kita sering berupaya untuk menanggalkannya, tapi yang terjadi justru memori itu hanya tertekan, dan kemudian menumpuk bila kejadian yang lebih buruk menimpa kita, dan suatu saat meledak. Memori dapat menjadi konstruktif, tetapi juga dapat destruktif.

Iman Kristen pun mengajak kita untuk bermenung mengenai memori. Rasul Paulus memberikan imperatif “ingatlah!” Apa yang kita ingat? Identitas kita: “dahulu” (ay. 12) dan “sekarang” (ay. 13). Ada titik balik! Yaitu perubahan besar dalam hidup kita, suatu transformasi yang luar biasa, yang disebabkan karena Kristus: dari kematian di dalam dosa menuju kehidupan di dalam Kristus, dari yang semula dikucilkan, kini diterima dengan tangan terbuka. Ya, memang benar, dalam hidup kita ada begitu banyak memori yang tak dapat kita hapus dengan mudah, tetapi satu-satunya prinsip dan pola yang sekarang boleh membentuk kita adalah identitas Kristus yang menjadi identitas kita: mati bagi “si aku,” bagi dosa; dan hidup kembali di dalam Kristus. Dalam kata rasul Paulus yang lain, mati bagi dosa, dan hidup bagi Allah di dalam Kristus! (Rm. 6.11)

Seorang gadis yang direnggut keperawanannya dengan paksa, tak mungkin sanggup mengangkat beban yang berat ini dari hidupnya! Kenangan seorang mantan pemabuk yang menelantarkan keluarganya menghantui langkah-langkah hidupnya. Atau, seseorang yang dikhianati oleh mitra dagang! Bagaimana mungkin hidup baru di dalam Kristus dapat membawa air kesembuhan dan pemulihan? Sesungguhnya, kita tidak dapat memilih apa yang akan terjadi atas diri kita, tetapi kita selalu dapat menentukan, kuasa apa yang dapat menaungi kita menghadapi hari-hari yang berat itu!

Apakah ini sekadar teori yang terlalu tinggi? Saya rasa, rasul Paulus memiliki kredensi untuk mengatakan ini! Mari kita camkan sejarah pelayanannya, dan apa yang ia pernah tuliskan dalam 2Korintus 11.22-33. Sang rasul mengalami apa yang ia katakan! Ia dipermalukan di muka publik dan dituduh sebagai rasul palsu! Ia menderita! Ia menanggung beban yang berat, bukan saja kulit tersayat akibat cambukan 39 kali itu, tetapi juga duri yang menghujam jantung hatinya, yang datang dari orang Kristen sendiri! Namun, Kristus tetap menjadi penentu hidupnya! Ia membiarkan Kristus yang menerangkan siapa sesungguhnya Paulus dan panggilannya, bukan manusia.

Kita hidup dalam dunia yang kian kejam! Ingatlah Kristus! Dialah yang mendefinisikan hidup kita! Dialah yang mengubah hidup kita. Kenangan akan Dia akan membuat kita bersembah sujud di dalam doa, dalam kemawasan akan hadirat Allah, mengalami Allah secara real dalam kedamaian dan sukacita tak terperi, dan tangan-Nya yang selalu terulur kepada kita dalam tiap-tiap langkah hidup kita!

Thursday, January 10, 2008

Beriman di Hati 5: Keunikan Iman Kristen

Keunikan Iman Kristen

Iman Kristen diturunkan kepada kita tidak berhenti kepada proposisi-proposisi logis dan rasional, tetapi bukan pula perjumpaan yang menyebabkan seseorang mengalami “ekstase rohani.” Kekristenan identik dengan Sang Manusia yang hadir dan tinggal dalam sejarah manusia, dan yang di dalam Dia berdiam seluruh kepenuhan Allah. Oleh karena itu, kita berani berkata kepada dunia, “Jangan takut!” oleh sebab Allah datang bukan untuk menghapus harapan, tetapi untuk memenuhkan kemerdekaan dan martabat manusia.

Kendati demikian, kita pun selaku orang-orang beriman, perlu mendengarkan kata-kata yang sama, “Jangan takut!” Kita tak perlu banyak bertengkar mengenai klaim-klaim kita secara pribadi maupun kelompok, dan dunia memandang kita hanya sebagai bentuk lain dari orang-orang yang terobsesi pada kekuasaan; kita tak ubahnya seperti lembaga manusia yang kebakaran jenggot.

Apa yang kita butuhkan? Yaitu membuka diri untuk mengizinkan-Nya terlahir dalam diri kita, dan kuasa-Nya mengubah hidup kita, dan tatkala kita melangkah setapak demi setapak, kita mendengar bisikan, “Dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima anugerah demi anugerah.” Selamat menapaki tahun baru 2008! (Tx2RW)

TERPUJILAH ALLAH!

Beriman di Hati 4: Iman yang Mengalahkan Dunia

Iman yang Mengalahkan Dunia

Kekristenan, dengan demikian, memiliki jawaban atas ketakutan dunia, ketakutan yang menghinggapi lingkungan sekular kita. Allah bukanlah orang asing yang kasar, yang merebut semua yang kita miliki. Iman bukanlah interupsi terhadap kemerdekaan manusa, atau ke-nyentrik­-an yang terpinggirkan dan hanya masalah privat-individu. Allah yang hadir membangkitkan kemanusiaan hingga pada titik puncaknya, oleh sebab Allah telah menyapa dan memeluk kemanusiaan kita itu dalam cinta kasih. Sang Firman (Logos), bukanlah pihak yang asing di dalam dunia; Sang Firman itu adalah pusat dan energi dari ciptaan, jantung hati dari tiap-tiap jantung hati manusia.

Iman Kristen yang sejati tidak pernah mengupayakan pertahanan diri yang dipicu oleh ketakutan, ataupun berupaya untuk mengambil alih dunia yang berpotensi untuk melawannya, kemudian menaklukkannya dengan kekuatan militer. Iman Kristen hanya membawa kesaksian kepada dunia bahwa dunia takkan pernah menjadi puas dan cukup, kecuali bila dunia menyambut kehadiran Allah dan mengenal “terang yang sesungguhnya” sebagai pusat kehidupan manusia, dan semua yang bernapas di atas bumi. Jangan dipersempit bahwa kesaksian itu berujung pada bertambahnya besaran-besaran di gereja kita (jumlah baptisan meningkat, jemaat yang hadir di kebaktian berlipat ganda, uang persembahan naik, dsb.). Masalah pokoknya adalah, bagaimana seluruh ciptaan dapat menangkap bahwa dunia ini adalah theatrum Dei gloriam (panggung pentas kemuliaan Allah)?

Tantangan ini membuat banyak orang gentar! Kita memiliki ketakutan akan diri kita sendiri. Kita takut atas diri kita sekarang ini dan apa jadinya kita. Tetapi, jangan-jangan kita pun takut bila keadaan manusia menjadi lebih mulia, lebih daripada yang kita bayangkan, takut bila kita harus mengubah hidup kita dan keluar dari “wilayah aman” kita untuk menjadi rentan, terbuka, dan menjadi lebih manusia!

Tidak mudah! Tidak akan pernah mudah! Tidak menyenangkan! Sebaliknya, akan menakutkan. Bukankah Ia datang kepada milik-Nya sendiri, akan tetapi milik kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Siapakah “milik kepunyaan-Nya” itu? Yaitu kita yang diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya, namun yang tidak dapat menampung janji-Nya. Bahkan kita yang menjadi bagian umat percaya, terkadang kita bertindak seolah-olah tidak pernah mendengar Injil Kristus, dan oleh sebab itulah kita tak mungkin mengharapkan dunia di luar sana mempercayai apa yang kita bawa dan saksikan. Kata-kata yang mencoba menenangkan orang lain dari rasa takut dan bahwa iman akan mengantarkan pada perkembangan menjadi manusia yang seutuhnya (dan bukan lawannya) menjadi tidak berguna dan tiada berdampak.

Apa yang kita perlu lakukan di tengah-tengah ketakutan dunia dan lingkungan tempat tinggal kita? Pertama, kita harus berdiri di sisi kemanusiaan: dengan loyalitas dan kesabaran untuk berada dekat dengan orang lain dengan segala kebutuhan mereka, dengan berani dan siap berkurban demi keadilan, bekerja untuk mewujudkan rekonsiliasi, dan memerdekakan orang lain dari ancaman kekerasan. Allah datang “kepada milik-kepunyaan-Nya,” kaum yang beriman kepada-Nya, dan kita sering gagal untuk mengenal-Nya atau menerima Dia.

Kedua, seandainya kita telah membereskan ketakutan-ketakutan yang bertumbuh dari kegagalan-kegagalan kaum beragama untuk bersaksi bagi Allah mereka, maka ketakutan-ketakutan yang lebih dalam kemudian muncul ke permukaan, yaitu ketakutan-ketakutan akan tuntutan iman terhadap seseorang. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghilangkan tantangan ini. Kita hanya dapat berharap akan adanya hidup yang cukup dengan sukacita, dan kemanusiaan yang sanggup menantang halangan ini. Kehidupan yang diilhami oleh Sang Firman, dan yang telah ditransformasi oleh kuasa Sang Firman.

Hidup yang seperti ini akan menampilkan tanda-tanda tindakan Allah di dalam Yesus Kristus, tanpa melalui pemaksaan, tanpa mengurangi atau menurunkan kemanusiaan kita. Ia mengundang, Ia membuka bagi kita keramahtamahan-Nya yang tiada berambang batas. Ia menarik kita ke dalam dunia-Nya, ke dalam hidup-Nya. Ia mengangkat kita lebih dari daripada yang kita dapat bayangkan atau mimpikan, dan bukan menguranginya. Inilah yang akan ditunjukkan oleh seorang beriman yang sejati dalam hidupnya.

Ketika iman ditampilkan di muka publik, iman yang mengancam integritas wilayah-wilayah kehidupan manusia, menerjang prinsip-prinsip moral yang berlaku dalam negara sekular. Iman yang sejati justru akan masuk dan menyelam ke pusat, ke bagian terdalam, dari semua moralitas, segala prinsip dan komitmen hidup, jauh terus hingga menembus dasar di mana di sana yang dijumpai hanya kekudusan dan kasih serta kesetiaan terhadap Allah yang menjadi daya hidup manusia: yaitu hidup yang membuat manusia berharga di mata Allah, karena Allah menyapa mereka sebagai “anak-anak Allah.” Inilah percikan kemuliaan yang memancar di sekitar hidup kita, yang tanpanya maka segala nilai, moral, kebajikan, prinsip dan komitmen yang dibangun akan segera ambruk dan mati.

Beriman di Hati 3: Iman di Hati

Iman di Hati

Mengapa Yusuf, Maria dan para gembala tidak boleh takut? Orang Yahudi mengharapkan Allah hadir kembali di tengah-tengah mereka, sama seperti pada waktu Allah menyertai bangsa Israel keluar dari Mesir, dan sama tatkala kabod (kemuliaan) Allah diam di dalam Bait Suci yang ditahbiskan Salomo. Itulah keselamatan. Itulah bahasa pemulihan umat beriman. Itulah tandanya Israel diperbarui, dan dibangkitkan dari gelap-pekatnya kematian.

Ketika Allah datang kembali, Ia tidak datang seperti satu batalyon tentara yang pertama kali menjejakkan kaki di bumi baru untuk diinvasi, yang hendak merebut segala hal yang kita punyai. Kebenaran (!) yang berbeda yang dikemukakan, dengan bahasa yang sederhana, sebuah kalimat yang mengundang sukacita tiada tara sepanjang hidup, “Firman itu menjadi manusia.”

Kedatangan Allah di tengah-tengah kita, pertama-tama tidak menghapuskan umat manusia dari hadapan-Nya, supaya jalan-Nya menjadi mulus untuk ambil alih kekuasaan. Ia tidak membasmi musuh yang menghadang di depan-Nya. Ia datang lewat suara tangis bayi yang memekik tajam, yang dahaga akan air susu sang bunda. Ia datang untuk mengubah dunia bukan dengan kekuasaan atau ancaman, tetapi dengan kematian dan kebangkitan. Robert Southwell mengguratkan demikian,

His batt’ring shots are babish cries,
His arrows looks of weeping eyes.


(Tembakan-tembakan-Nya adalah tangisan bayi, anak panah-Nya yakni mata yang meratap.)

Seorang penulis abad pertengahan yang tak dikenal menulis dalam bahasa Inggris kuno, lirik yang menawan,

He came al so stille,
Where his mother was,
As dew in Aprille,
That falleth on the grass.


(Ia datang begitu tenang, di sana bunda-Nya berada; sebagaimana embun pada waktu April, yang jatuh ke atas rumput.)

Beberapa kali saya berjumpa dengan orang-orang mengaku ateis. Mereka mengatakan, “Saya tidak percaya kepada Allah!” Selisik punya selisik, akhirnya ketahuan alasannya, “Allah itu kejam,” “Allah itu tidak adil,” “Bila Allah ada, Ia adalah Allah yang tidak peduli.” Sangat simpel permasalahannya. Mereka tidak mau percaya bukan karena Allah tidak ada. Mereka tak dapat membuktikan Allah itu tidak ada. Mereka ingkar dengan pernyataan bahwa Allah itu ada. Jawaban yang saya berikan biasanya mengejutkan mereka, “Oh, saya pun berbagi keyakinan dengan Anda: saya pun tidak percaya Allah yang seperti itu!”

Bahasa mengenai Allah identik dengan Allah yang duduk di takhta surga, yang tinggi di antariksa, yang tidak peduli dengan dunia, menjadi despotes yang kejam dan segala takdir di dalam tangan-Nya. Dan apa yang Ia kehendaki, tak pandang betapa pun berkontradiksinya dengan sifat dan kesempurnaan-Nya, tidak menjadi masalah. No, saya tidak percaya kepada Allah yang seperti itu.

Allah yang saya kenal adalah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus. Ia yang datang dalam keheningan. Ia yang terlahir dalam kerentanan dan kelemahan. Ia memang hadir sebagai anugerah Allah yang berdaulat. Namun, Ia pun datang tepat di jantung kehidupan manusia, yang menjadi wadah dan perikehidupan kita. Ia dilahirkan dari rahim perempuan, dari cinta-kasih Maria yang hatinya dipersembahkan kepada Allah dalam keteguhan iman yang bulat. Apa yang kita lihat? Ia sungguh-sungguh berbeda, oleh sebab sumber hidup-Nya datang dari Allah sendiri; tetapi Ia pun sungguh-sungguh menjadi sama, sama seperti kita dalam segala sesuatu, demikian kesaksian firman Tuhan.

Hanya dalam satu hal Ia berbeda dengan kita: Ia tidak berdosa! Justru oleh karena itulah, Ia sanggup mengangkat kita. Kedatangan-Nya menyadarkan kita apakah tujuan Allah menciptakan kita. Allah berkehendak untuk menciptakan kita sebagai pembawa-pembawa cinta kasih ilahi. Allah menciptakan kita untuk melakukan pekerjaan baik, dan di dalam Sang Putralah, citra pemulihan itu kita dapatkan kembali (Ef. 2.10). Maka, kelahiran-Nya meretas jalan agar kita berani melangkahkan kami ke manakah asal kita, kembali kepada Allah, kembali kepada maksud pertama kita diciptakan, untuk menikmati damai dengan Allah. Hidup dalam damai dengan Allah tidaklah berarti bahwa kemanusiaan kita menjadi nihil, hilang atau sifat-sifat kita ditaklukkan di bawah seorang penjajah yang berkedok ilahi. Ia datang dalam keheningan. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya!

Beriman di Hati 2: Iman di Tengah Pluralisme

Iman di Tengah Pluralisme

Bukan rahasia lagi, pluralisme beragama pun menimbulkan ketakutan tersendiri. Seseorang seakan-akan dibawa keluar dari “wilayah amannya” tatkala dituntut untuk menyaksikan imannya. Kaum beragama takut bila dikucilkan dan diancam bila mereka kedapatan berpegang kuat kepada imannya. Di sisi lain kita pun menjadi begitu protektif dengan iman dan kelompok religius di mana kita tinggal.

Contohnya cukup jelas. Banyak orang Kristen senang mengekspos orang-orang yang dulu menjadi penentang iman (entah itu dukun, pemimpin suatu gerakan massa, atau artis) tiba-tiba berbalik menjadi percaya, bahkan mampu bersaksi tentang perbandingan iman yang dulu dan sekarang. Bukan rahasia lagi, orang-orang ini menjadi “jutawan baru!” karena laris diundang gereja di sana-sini. Tetapi berbalik keadaannya bila seorang artis yang kemudian menanggalkan agama Kristen. Penonton kecewa.

Tak salah bila orang mengatakan, beragama itu berarti melakukan kekerasan. Tak jauh dari masa kita saat ini, Richard Dawkins, seorang profesor biologi dari Universitas Oxford, menulis satu buku God’s Delusion. Ia adalah seorang ateis, dan ia bangga menjadi ateis. Baginya, adalah lebih baik menjadi seorang saintis yang tidak percaya kepada Tuhan. Allah adalah delusi (bualan). Dawkins adalah seorang pemikir yang brilian! Ia berhasil menarik minat para ahli dalam berbagai bidang baik di Amerika Utara maupun Eropa. Dalam satu bab ia sebutkan alasan mengapa ia tidak percaya adanya Tuhan, yaitu karena mempercayai Tuhan berarti melakukan kekerasan. Bahasa agama adalah bahasa kaum berkuasa. Bahasa agama memaklumi penindasan, suatu alibi atrocity.

Agama menyerukan kalimat, “Jangan takut,” tetapi agama tampil sebagai tentara yang berperang untuk menundukkan wilayah “jiwa manusia” serta “dunia manusia.” Semangat orang-orang Eropa sejak akhir abad XV adalah untuk menjelajah dunia baru, membuka koloni di bawah panji-panji Gold, Gospel, dan Glory. Atas nama kebenaran agama, mereka datang ke belahan bumi baru.

Semangat itu tetap saja ada di sebagian orang beragama. Yang dimaksud kebenaran adalah kebenaran-ku atau kebenaran kita. Seorang ateis lain bernama Swinburne pernah mengejek Kekristenan dan Yesus Kristus dengan berkata, “Thou hast conquered, O pale Galilean! the world has grown grey with thy breath.” (“Hai [orang] Galilea bule, engkau telah menang! Dunia menjadi kelabu dengan napasmu.”)

Beriman di Hati 1: Iman di Tengah Ketakutan

Iman di Tengah Ketakutan

“Jangan takut,” adalah kalimat yang membuka Perjanjian Baru. Kata-kata malaikat itu ditujukan kepada Yusuf, Maria dan para gembala, yakni orang-orang yang hidup dalam tapal batas Perjanjian Lama dan Baru. Tersirat bahwa pada masa peralihan itu, ada sesuatu yang dapat menjadikan seseorang takut. Ya, perubahan besar yang terjadi di dunia ini mampu mendatangkan momok yang kita namakan “ketakutan.” Bahkan kita yang hidup di dunia yang super modern, lingkungan kita pun dihantui oleh ketakutan: menghadapi perubahan baru, dan diinterupsi.

Agama pun membawa momok itu kepada dunia. Dunia yang sekular, tak sekadar mencibir nilai-nilai agama, curiga, menyalahartikannya; tetapi adalah suatu keniscayaan bahwa dunia sekular melihat agama dengan rasa takut. Di Eropa, khususnya Britania Raya, pada dekade terakhir muncul wacana “teologi publik,” yakni bagaimana teologi dapat dihadirkan kepada masyarakat luas. Di Inggris, misalnya, perdebatan yang muncul adalah apakah diizinkan seorang perempuan muslim memakai jilbab (penutup kepala), dan apakah orang Kristen boleh memakai kalung salib di muka umum. Seorang uskup Gereja Anglikan yang cukup saya kenal mengatakan, “Seandainya saya boleh tidak memakai salib ke mana-mana, hanya masalahnya yaitu benda ini adalah atribut kepangkatan.”

Presiden Prancis, Jacques Chirac mengatakan bahwa anak-anak muda yang bersekolah harus dijaga dari tiupan angin dingin sektarianisme; sekolah harus menjadi suatu republican sanctuary, dan peserta didik harus belajar menyerap nilai-nilai kemasyarakatan yang berlaku secara umum. Iman dan komitmen terhadap suatu agama tidaklah dilarang, hanya saja ekspresi-ekspresi terbuka akan hal iman, misalnya gambar crucifix (Yesus yang tersalib) dan tutup kepala, harus dikendalikan dengan ketat untuk menjaga kemurnian nilai-nilai berbangsa. Demikian juga ketika terjadi protes keras di sekolah-sekolah Prancis, bahwa perempuan muslim dilarang memakai tutup kepala; hal ini mengindikasikan adanya kecemasan dan ketakutan untuk menunjukkan komitmen iman di muka publik.

Pada masa yang sama, Rabbi Kepala di Prancis menyerukan agar jemaatnya tidak memakai topi bergambar tengkorak oleh karena spiral insiden anti-Semitik (anti bangsa Yahudi). Iman tidak perlu ditunjukkan di depan publik. Iman harus tidak kelihatan. Iman itu invisible. Iman adalah komitmen pribadi.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hal yang lebih fundamental ketimbang pencarian makna keberimanan yang invisible. Ketakutan sesungguhnya melanda dua belah pihak. Pada pihak dunia sekular, mereka menjaga diri untuk tidak show off atas iman; sedangkan di pihak lain, komunitas iman juga takut untuk memproklamirkan identitasnya yang dapat memicu kebencian orang-orang di sekitar mereka. Motivasi yang tidak sama. Cara pengungkapan pun berbeda. Tetapi, toh di balik semua alasan yang mengemuka terdapat tantangan yang erat berkaitan dengan keberanian untuk menampilkan iman di muka umum.

Bukankah secara eksistensial, kita pun diperhadapkan kepada ketakutan? Kita takut untuk menghadapi perubahan baru. Sesuatu yang ada di depan kita, yang belum pernah kita lihat, belum pernah kita jamah, dan belum datang menjumpai kita, membawa rasa was-was dan khawatir. Sesuatu yang baru yang kita terima, membuat hidup berubah: dalam pola hidup, dalam hubungan dengan Allah, dengan sesama, dengan diri sendiri dan dengan sesuatu yang kita terima itu. Begitu banyak orang yang takut menghadapi tahun yang baru!