Thursday, January 10, 2008

Beriman di Hati 4: Iman yang Mengalahkan Dunia

Iman yang Mengalahkan Dunia

Kekristenan, dengan demikian, memiliki jawaban atas ketakutan dunia, ketakutan yang menghinggapi lingkungan sekular kita. Allah bukanlah orang asing yang kasar, yang merebut semua yang kita miliki. Iman bukanlah interupsi terhadap kemerdekaan manusa, atau ke-nyentrik­-an yang terpinggirkan dan hanya masalah privat-individu. Allah yang hadir membangkitkan kemanusiaan hingga pada titik puncaknya, oleh sebab Allah telah menyapa dan memeluk kemanusiaan kita itu dalam cinta kasih. Sang Firman (Logos), bukanlah pihak yang asing di dalam dunia; Sang Firman itu adalah pusat dan energi dari ciptaan, jantung hati dari tiap-tiap jantung hati manusia.

Iman Kristen yang sejati tidak pernah mengupayakan pertahanan diri yang dipicu oleh ketakutan, ataupun berupaya untuk mengambil alih dunia yang berpotensi untuk melawannya, kemudian menaklukkannya dengan kekuatan militer. Iman Kristen hanya membawa kesaksian kepada dunia bahwa dunia takkan pernah menjadi puas dan cukup, kecuali bila dunia menyambut kehadiran Allah dan mengenal “terang yang sesungguhnya” sebagai pusat kehidupan manusia, dan semua yang bernapas di atas bumi. Jangan dipersempit bahwa kesaksian itu berujung pada bertambahnya besaran-besaran di gereja kita (jumlah baptisan meningkat, jemaat yang hadir di kebaktian berlipat ganda, uang persembahan naik, dsb.). Masalah pokoknya adalah, bagaimana seluruh ciptaan dapat menangkap bahwa dunia ini adalah theatrum Dei gloriam (panggung pentas kemuliaan Allah)?

Tantangan ini membuat banyak orang gentar! Kita memiliki ketakutan akan diri kita sendiri. Kita takut atas diri kita sekarang ini dan apa jadinya kita. Tetapi, jangan-jangan kita pun takut bila keadaan manusia menjadi lebih mulia, lebih daripada yang kita bayangkan, takut bila kita harus mengubah hidup kita dan keluar dari “wilayah aman” kita untuk menjadi rentan, terbuka, dan menjadi lebih manusia!

Tidak mudah! Tidak akan pernah mudah! Tidak menyenangkan! Sebaliknya, akan menakutkan. Bukankah Ia datang kepada milik-Nya sendiri, akan tetapi milik kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya. Siapakah “milik kepunyaan-Nya” itu? Yaitu kita yang diciptakan dalam gambar dan rupa-Nya, namun yang tidak dapat menampung janji-Nya. Bahkan kita yang menjadi bagian umat percaya, terkadang kita bertindak seolah-olah tidak pernah mendengar Injil Kristus, dan oleh sebab itulah kita tak mungkin mengharapkan dunia di luar sana mempercayai apa yang kita bawa dan saksikan. Kata-kata yang mencoba menenangkan orang lain dari rasa takut dan bahwa iman akan mengantarkan pada perkembangan menjadi manusia yang seutuhnya (dan bukan lawannya) menjadi tidak berguna dan tiada berdampak.

Apa yang kita perlu lakukan di tengah-tengah ketakutan dunia dan lingkungan tempat tinggal kita? Pertama, kita harus berdiri di sisi kemanusiaan: dengan loyalitas dan kesabaran untuk berada dekat dengan orang lain dengan segala kebutuhan mereka, dengan berani dan siap berkurban demi keadilan, bekerja untuk mewujudkan rekonsiliasi, dan memerdekakan orang lain dari ancaman kekerasan. Allah datang “kepada milik-kepunyaan-Nya,” kaum yang beriman kepada-Nya, dan kita sering gagal untuk mengenal-Nya atau menerima Dia.

Kedua, seandainya kita telah membereskan ketakutan-ketakutan yang bertumbuh dari kegagalan-kegagalan kaum beragama untuk bersaksi bagi Allah mereka, maka ketakutan-ketakutan yang lebih dalam kemudian muncul ke permukaan, yaitu ketakutan-ketakutan akan tuntutan iman terhadap seseorang. Tidak ada sesuatu pun yang dapat menghilangkan tantangan ini. Kita hanya dapat berharap akan adanya hidup yang cukup dengan sukacita, dan kemanusiaan yang sanggup menantang halangan ini. Kehidupan yang diilhami oleh Sang Firman, dan yang telah ditransformasi oleh kuasa Sang Firman.

Hidup yang seperti ini akan menampilkan tanda-tanda tindakan Allah di dalam Yesus Kristus, tanpa melalui pemaksaan, tanpa mengurangi atau menurunkan kemanusiaan kita. Ia mengundang, Ia membuka bagi kita keramahtamahan-Nya yang tiada berambang batas. Ia menarik kita ke dalam dunia-Nya, ke dalam hidup-Nya. Ia mengangkat kita lebih dari daripada yang kita dapat bayangkan atau mimpikan, dan bukan menguranginya. Inilah yang akan ditunjukkan oleh seorang beriman yang sejati dalam hidupnya.

Ketika iman ditampilkan di muka publik, iman yang mengancam integritas wilayah-wilayah kehidupan manusia, menerjang prinsip-prinsip moral yang berlaku dalam negara sekular. Iman yang sejati justru akan masuk dan menyelam ke pusat, ke bagian terdalam, dari semua moralitas, segala prinsip dan komitmen hidup, jauh terus hingga menembus dasar di mana di sana yang dijumpai hanya kekudusan dan kasih serta kesetiaan terhadap Allah yang menjadi daya hidup manusia: yaitu hidup yang membuat manusia berharga di mata Allah, karena Allah menyapa mereka sebagai “anak-anak Allah.” Inilah percikan kemuliaan yang memancar di sekitar hidup kita, yang tanpanya maka segala nilai, moral, kebajikan, prinsip dan komitmen yang dibangun akan segera ambruk dan mati.

No comments:

Post a Comment