Thursday, January 10, 2008

Beriman di Hati 2: Iman di Tengah Pluralisme

Iman di Tengah Pluralisme

Bukan rahasia lagi, pluralisme beragama pun menimbulkan ketakutan tersendiri. Seseorang seakan-akan dibawa keluar dari “wilayah amannya” tatkala dituntut untuk menyaksikan imannya. Kaum beragama takut bila dikucilkan dan diancam bila mereka kedapatan berpegang kuat kepada imannya. Di sisi lain kita pun menjadi begitu protektif dengan iman dan kelompok religius di mana kita tinggal.

Contohnya cukup jelas. Banyak orang Kristen senang mengekspos orang-orang yang dulu menjadi penentang iman (entah itu dukun, pemimpin suatu gerakan massa, atau artis) tiba-tiba berbalik menjadi percaya, bahkan mampu bersaksi tentang perbandingan iman yang dulu dan sekarang. Bukan rahasia lagi, orang-orang ini menjadi “jutawan baru!” karena laris diundang gereja di sana-sini. Tetapi berbalik keadaannya bila seorang artis yang kemudian menanggalkan agama Kristen. Penonton kecewa.

Tak salah bila orang mengatakan, beragama itu berarti melakukan kekerasan. Tak jauh dari masa kita saat ini, Richard Dawkins, seorang profesor biologi dari Universitas Oxford, menulis satu buku God’s Delusion. Ia adalah seorang ateis, dan ia bangga menjadi ateis. Baginya, adalah lebih baik menjadi seorang saintis yang tidak percaya kepada Tuhan. Allah adalah delusi (bualan). Dawkins adalah seorang pemikir yang brilian! Ia berhasil menarik minat para ahli dalam berbagai bidang baik di Amerika Utara maupun Eropa. Dalam satu bab ia sebutkan alasan mengapa ia tidak percaya adanya Tuhan, yaitu karena mempercayai Tuhan berarti melakukan kekerasan. Bahasa agama adalah bahasa kaum berkuasa. Bahasa agama memaklumi penindasan, suatu alibi atrocity.

Agama menyerukan kalimat, “Jangan takut,” tetapi agama tampil sebagai tentara yang berperang untuk menundukkan wilayah “jiwa manusia” serta “dunia manusia.” Semangat orang-orang Eropa sejak akhir abad XV adalah untuk menjelajah dunia baru, membuka koloni di bawah panji-panji Gold, Gospel, dan Glory. Atas nama kebenaran agama, mereka datang ke belahan bumi baru.

Semangat itu tetap saja ada di sebagian orang beragama. Yang dimaksud kebenaran adalah kebenaran-ku atau kebenaran kita. Seorang ateis lain bernama Swinburne pernah mengejek Kekristenan dan Yesus Kristus dengan berkata, “Thou hast conquered, O pale Galilean! the world has grown grey with thy breath.” (“Hai [orang] Galilea bule, engkau telah menang! Dunia menjadi kelabu dengan napasmu.”)

No comments:

Post a Comment