Thursday, January 10, 2008

Beriman di Hati 3: Iman di Hati

Iman di Hati

Mengapa Yusuf, Maria dan para gembala tidak boleh takut? Orang Yahudi mengharapkan Allah hadir kembali di tengah-tengah mereka, sama seperti pada waktu Allah menyertai bangsa Israel keluar dari Mesir, dan sama tatkala kabod (kemuliaan) Allah diam di dalam Bait Suci yang ditahbiskan Salomo. Itulah keselamatan. Itulah bahasa pemulihan umat beriman. Itulah tandanya Israel diperbarui, dan dibangkitkan dari gelap-pekatnya kematian.

Ketika Allah datang kembali, Ia tidak datang seperti satu batalyon tentara yang pertama kali menjejakkan kaki di bumi baru untuk diinvasi, yang hendak merebut segala hal yang kita punyai. Kebenaran (!) yang berbeda yang dikemukakan, dengan bahasa yang sederhana, sebuah kalimat yang mengundang sukacita tiada tara sepanjang hidup, “Firman itu menjadi manusia.”

Kedatangan Allah di tengah-tengah kita, pertama-tama tidak menghapuskan umat manusia dari hadapan-Nya, supaya jalan-Nya menjadi mulus untuk ambil alih kekuasaan. Ia tidak membasmi musuh yang menghadang di depan-Nya. Ia datang lewat suara tangis bayi yang memekik tajam, yang dahaga akan air susu sang bunda. Ia datang untuk mengubah dunia bukan dengan kekuasaan atau ancaman, tetapi dengan kematian dan kebangkitan. Robert Southwell mengguratkan demikian,

His batt’ring shots are babish cries,
His arrows looks of weeping eyes.


(Tembakan-tembakan-Nya adalah tangisan bayi, anak panah-Nya yakni mata yang meratap.)

Seorang penulis abad pertengahan yang tak dikenal menulis dalam bahasa Inggris kuno, lirik yang menawan,

He came al so stille,
Where his mother was,
As dew in Aprille,
That falleth on the grass.


(Ia datang begitu tenang, di sana bunda-Nya berada; sebagaimana embun pada waktu April, yang jatuh ke atas rumput.)

Beberapa kali saya berjumpa dengan orang-orang mengaku ateis. Mereka mengatakan, “Saya tidak percaya kepada Allah!” Selisik punya selisik, akhirnya ketahuan alasannya, “Allah itu kejam,” “Allah itu tidak adil,” “Bila Allah ada, Ia adalah Allah yang tidak peduli.” Sangat simpel permasalahannya. Mereka tidak mau percaya bukan karena Allah tidak ada. Mereka tak dapat membuktikan Allah itu tidak ada. Mereka ingkar dengan pernyataan bahwa Allah itu ada. Jawaban yang saya berikan biasanya mengejutkan mereka, “Oh, saya pun berbagi keyakinan dengan Anda: saya pun tidak percaya Allah yang seperti itu!”

Bahasa mengenai Allah identik dengan Allah yang duduk di takhta surga, yang tinggi di antariksa, yang tidak peduli dengan dunia, menjadi despotes yang kejam dan segala takdir di dalam tangan-Nya. Dan apa yang Ia kehendaki, tak pandang betapa pun berkontradiksinya dengan sifat dan kesempurnaan-Nya, tidak menjadi masalah. No, saya tidak percaya kepada Allah yang seperti itu.

Allah yang saya kenal adalah Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus. Ia yang datang dalam keheningan. Ia yang terlahir dalam kerentanan dan kelemahan. Ia memang hadir sebagai anugerah Allah yang berdaulat. Namun, Ia pun datang tepat di jantung kehidupan manusia, yang menjadi wadah dan perikehidupan kita. Ia dilahirkan dari rahim perempuan, dari cinta-kasih Maria yang hatinya dipersembahkan kepada Allah dalam keteguhan iman yang bulat. Apa yang kita lihat? Ia sungguh-sungguh berbeda, oleh sebab sumber hidup-Nya datang dari Allah sendiri; tetapi Ia pun sungguh-sungguh menjadi sama, sama seperti kita dalam segala sesuatu, demikian kesaksian firman Tuhan.

Hanya dalam satu hal Ia berbeda dengan kita: Ia tidak berdosa! Justru oleh karena itulah, Ia sanggup mengangkat kita. Kedatangan-Nya menyadarkan kita apakah tujuan Allah menciptakan kita. Allah berkehendak untuk menciptakan kita sebagai pembawa-pembawa cinta kasih ilahi. Allah menciptakan kita untuk melakukan pekerjaan baik, dan di dalam Sang Putralah, citra pemulihan itu kita dapatkan kembali (Ef. 2.10). Maka, kelahiran-Nya meretas jalan agar kita berani melangkahkan kami ke manakah asal kita, kembali kepada Allah, kembali kepada maksud pertama kita diciptakan, untuk menikmati damai dengan Allah. Hidup dalam damai dengan Allah tidaklah berarti bahwa kemanusiaan kita menjadi nihil, hilang atau sifat-sifat kita ditaklukkan di bawah seorang penjajah yang berkedok ilahi. Ia datang dalam keheningan. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya!

No comments:

Post a Comment