II. KESAKSIAN INTERNAL ROH KUDUS
Reformasi Protestan menegaskan doktrin pembenaran hanya melalui iman. Tetapi doktrin ini bertentangan dengan tradisi gereja pada waktu itu, demikian dikatakan. Maka para reformator menyatakan pembelaan secara intensif bukan hanya mengenai pembenaran, tetapi juga mengenai otoritas dan hubungannya dengan tradisi. Amunisi krusial dari para reformator adalah doktrin “kesaksian internal Roh Kudus.” Katolik Roma mengakui otoritas Kitab Suci, tetapi ia menekankan bahwa kita tidak mungkin dapat memahami Kitab Suci sebagai otoritatif kecuali lewat kesaksian gereja. Maka, tradisi gereja, paling tidak dalam poin ini, memiliki suatu otoritas yang lebih mendasar ketimbang Kitab Suci. Tidak, kata Luther dan Calvin. Jaminan pamungkas kita atas otoritas Kitab Suci bukanlah tradisi manusia, tetapi kesaksian Roh di dalam kita.
Calvin mengembangkan doktrin ini lebih detail daripada Luther, dan menjadikannya sentral dari epistemologi Kristen. Dalam Institutio-nya, dengan tajam ia menolak bahwa “kebenaran Allah yang kekal dan tak tergoyahkan berpijak pada keputusan manusia.” Kontras dari itu, gereja sendiri dibangun di atas “tulisan-tulisan para nabi dan pemberitaan-pemberitaan para rasul” (Inst. 1.75). Meskipun “bukti-bukti yang cukup kuat ada di tangan untuk menegakkan kredibilitas kitab suci,” “kita seharusnya mengupayakan untuk meletakkan keyakinan kita di tempat yang lebih tinggi daripada penalaran-penalaran, penilaian dan bukti-bukti manusia, yaitu kesaksian rahasia Roh.” Calvin menolak bahwa doktrin ini mengarah kepada apa yang kita sebut sekarang ini sebagai subjektivisme. Ia menentang kaum “fanatik” yang mengabaikan Kitab Suci alih-alih wahyu-wahyu baru dari Roh Kudus. Firman dan Roh berjalan bersama, sehingga Roh dikenali dalam persetujuannya dengan Kitab Suci (Inst. 1.93-95).
Kemudian dalam Institutio, Calvin mendiskusikan kembali kesaksian Roh, kali ini dalam kaitan dengan iman serta jaminan bagi individu-individu. Dengan menggunakan banyak ayat, Calvin menunjukkan bahwa iman adalah karya Roh Kudus (Inst. 1.541-542). Tanpa Roh, kita tidak memiliki iman (Inst. 1.582-583). Hanya Roh yang dapat memimpin kita kepada Kristus.
Sejak Reformasi, doktrin ini terus mendapat peran penting dalam teologi Protestan—tetapi dengan beragam interpretasi (penafsiran), penerapan dan penekanan yang mengarah kepada perdebatan yang malah memecah belah. Pada masa kini, banyak teolog yang mengatakan bahwa tradisi “ortodoks” yang mengikuti Reformasi (Turretin, Voetius, dll.) telah mengabaikan atau salah mengerti ajaran ini, dan klimaknya terjadi pada mazhab “Princeton Tua” (Hodge, Warfield) yang memberikan pengaruh besar kepada Evangelikalisme modern. Kini, marilah kita arahkan perhatian kita kepada (a) kedaulatan, (b) objek-objek dan (c) rasionalitas kesaksian internal Roh Kudus.
A. KEDAULATAN KESAKSIAN
Satu hal yang mengagumkan dari kesaksian internal itu adalah relasi yang intim, bahkan “langsung” antara diri kita dengan Allah. Mendengarkan Kitab Suci bukan suatu interaksi antara diri kita dengan sebuah buku, bahkan lagi sebuah buku yang luar biasa; lebih dari itu, di dalam Kitab Suci kita berjumpa dengan Allah Sendiri. Bagi kaum Protestan (di luar gerakan Kharismatik), tidak ada pengalaman religius yang menawarkan kedekatan dengan Allah selain ini. Kaum Barthian yang menekankan perjumpaan dengan Allah secara pribadi, berutang ide dari konsep ini. Calvin menegaskan, “Maka, bukti tertinggi Kitab Suci diperoleh dari fakta bahwa Allah sebagai Pribadi bersabda di dalamnya . . . Allah saja adalah saksi yang tepat mengenai diri-Nya sendiri, di dalam Firman-Nya” (Inst. 1.78-79).
Sejumlah penulis modern, lebih berani berkata mengenai kedekatan hubungan kita dengan Allah di dalam kesaksian internal Roh Kudus ini. Helmut Thielicke berkata bahwa kita memiliki “bagian di dalam pengetahuan-diri (Allah) (1Kor. 2.10 dab.; 13.12b). Ada bahaya paham panteisme dalam pernyataan di atas, yang Thielicke sendiri tentang dalam tulisannya. Kendati demikian, setiap bagian Kitab Suci mengetengahkan kesaksian Roh sebagai sesuatu yang luar biasa dan unik, yang kita tak mungkin cukup kata untuk menjabarkannya tanpa menyerempet-menyerempet batas formulasi teologi ortodoks.
Dalam pada itu, bila kesaksian internal Roh Kudus membawa kita berjumpa muka dengan muka dengan Allah, pada waktu yang bersamaan, ia membuat kita berjumpa muka dengan muka dengan kedaulatan dan kemerdekaan-Nya. Doktrin ini harus diformulasikan sebagai peletakan dasar ketuhanan Allah dalam pewahyuan-Nya.
1. Posisi Teologi Modern
Baik para pemikir “ortodoks” maupun “modern” menekankan kedekatan Allah seperti dinyatakan di atas. Tetapi para pemikir modern juga menemukan di dalam konsep itu senjata untuk melawan ortodoksi. Coba perhatikan misalnya pembedaan ortodoks antara pengilhaman (inspirasi) dan kesaksian internal Roh Kudus. Para pemikir ortodoks secara tradisional menegaskan bahwa “inspirasi” dan “kesaksian internal” adalah dua hal yang dapat dibedakan, walaupun keduanya adalah sama-sama karya Roh Kudus.
Dalam pemikiran teolog modern seperti Karl Barth, pembedaan tersebut menjadi kabur. Bagi golongan ini, inspirasi seperti yang dimengerti golongan ortodoks tidak pernah ada; Allah tidak menempatkan Firman-Nya di atas secarik kertas. Bagi Allah, yang disebut menginspirasikan sabda dalam pengertian ini akan mengompromikan kemerdekaan dan kedaulatan-Nya. Allah tentu tidak dapat menarik kata-kata itu sekali Ia mengatakannya. Maka, apa yang dialami oleh para penulis Alkitab bukanlah inspirasi dalam pengertian ortodoks, tetapi serupa pengilhaman yang kita alami pada masa kini oleh kesaksian Roh Kudus. Lebih lanjur, pembedaan antara inspirasi dan iluminasi menjadi sulit untuk dibedakan bagi para teolog yang menekankan kehadiran langsung kesaksian Roh Kudus. Apa bisa disebut “inspirasi” bila bukan kesaksian internal? Apa yang dapat kita minta selain suatu partisipasi intim di dalam pengetahuan Allah akan diri-Nya sendiri?
Namun patutlah diingat implikasi lebih jauh. Jika inspirasi dalam pengertian tradisional ditolak, maka akan terjadi pula pergeseran dalam masalah dasar otoritas. Dalam teologi Protestan ortodoks, inspirasi Kitab Suci menegaskan otoritasnya, dalam pada itu kesaksian internal Roh pun penting apabila kita hendak menangkap dan menerima otoritas Kitab Suci tersebut. Dalam banyak teologi modern, khususnya tradisi Barthian, bukan hanya kesaksian Roh itu yang penting untuk menerima otoritas Alkitab, tetapi hal itu juga yang membuat Kitab Suci otoritatif. Tanpa kesaksian-Nya (dan dengan demikian tanpa respons ketaatan kita), Kitab Suci tidak memiliki otoritas apa-apa ketimbang sekadar sebagai buku hikmat manusia yang terbaik. Dalam pandangan ini, Kitab Suci kehilangan otoritas hingga kita mempercayainya. Tetapi mengapa kita harus percaya suatu buku yang, sebelum kita percaya, tidak memiliki otoritas apa-apa di atas kita?
Dengan demikian, di banyak teologi modern, kesaksian internal menggantikan konsep tradisional mengenai inspirasi. Adalah kesaksian internal, dan bukan inspirasi, yang mendorong penulisan mula-mula Kitab Suci; dan adalah kesaksian internal, dan bukan inspirasi, yang menjadi dasar iman kita kepada Alkitab. Alkitab tidak diinspirasikan, bila yang kita maksud dengan inspirasi adalah tindakan ilahi yang unik pada masa lalu, yang menjadi jaminan kebenaran teks pada segala waktu, bagi semua pembacanya. Jika kata “inspirasi” dipakai, kata ini dimengerti sinonim dengan kesaksian internal, sehingga kita pada masa kini pun “diinspirasikan” sebagaimana halnya dengan para penulis Alkitab, kendati inspirasi kepada kita dalam derajat tertentu bergantung kepada inspirasi kepada mereka.
Pemahaman ini koheren dengan tiga konsep yang umum diterima dalam neoortodoksi. Pertama, Kitab Suci “menjadi” Firman Allah ketika Roh menggunakannya untuk menjamah hati kita. Kedua, respons kita kepada Firman Allah adalah bagian dari pewahyuan, sehingga tidak ada ada pewahyuan tanpa respons (positif) kita. Ketiga, kebenaran atau kesalahan dari teks alkitabiah tidak memiliki relevansi apa-apa bagi iman, sebab Roh dapat menjangkau hati meski dengan isi yang keliru.
Pemahaman-pemahaman di atas memang memiliki keterkaitan erat dengan wacana kemerdekaan dan kedaulatan Allah di dalam kesaksian internal Roh Kudus. Allah merdeka untuk menggunakan, atau tidak menggunakan, teks apa pun di dalam Kitab Suci, baik yang benar ataupun yang salah. Dalam pandangan ortodoks, kaum Barthian berpendapat, Allah dipaksakan untuk menghargai dan menghormati suatu kata yang diucapkan di masa lampau; Ia tidak merdeka untuk berdiri di seberang teks kanonik (teks-teks yang dimasukkan dalam Kitab Suci). Karena itu, kita yang “memiliki” teks kanonik membuat Allah di bawah kendali kita.
Tetapi sesungguhnya ada yang janggal untuk menuduh kita sedang mengendalikan Allah apabila kita memegang teks yang tanpa salah. Oleh sebab satu hal, Kitab Suci tidak pernah memberikan kesimpulan demikian. Di dalam Kitab Suci, Allah membuat perjanjian, dan melaluinya Ia mengikatkan diri-Nya sendiri. Di dalam Kristus, semua janji ini adalah Ya dan Amin (2Kor. 1.20). Allah tidak dapat menipu atau menyangkal diri-Nya (2Tim. 2.13; Tit. 1.2; Ibr. 6.18). Karena itu, Firman-Nya tetap untuk selamanya (Yes. 40.8). Kata-kata ilahi ini membangun suatu bangunan kebenaran, suatu “tradisi ajaran” (2Tes. 2.15; 3.6), iman yang sekali dipercayakan kepada orang-orang kudus, yang di atasnya kita berdiri teguh (Yud. 3). Allah memerintahkan umat-Nya untuk patuh kepada semua sabda-Nya yang tertulis, ketetapan-ketetapan-Nya dan perintah-perintah-Nya, dan untuk meneruskannya kepada anak-anak mereka (Ul. 6.4-9; 8.3; Mzm. 1; 19.8-15; 119; Mat. 5.17-20; 1Kor. 14.3; 2Tes. 2.15; 2Tim. 3.15-17; 2Ptr. 1.19-21; 3.15-16).
Lebih lanjut, para penulis Alkitab tidak menyatakan bahwa janji-janji Allah seperti ini mengompromikan kedaulatan Allah! Sebaliknya, kedaulatan Allah dinyatakan melalui kuasa Firman yang tidak dapat ditahan-tahan. “Demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia; tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya” (Yes. 55.11). Firman Allah adalah suatu sarana pemerintahan Allah yang berdaulat. Justru karena itu, kedaulatan-Nya akan direduksi bila Ia tidak mengatakan kebenaran melalui kata-kata yang demikian.
Sesungguhnya, kita harus berhati-hati dalam membuat formulasi mengenai kedaulatan Allah. Ketika kita tidak berhati-hati (dan hanya mengandalkan intuisi, seperti yang sudah-sudah), ambiguitas akan muncul. Menurut teolog yang satu, kedaulatan Allah akan direduksi ketika ia mengutarakan sebuah kalimat yang diinspirasikan dan tanpa salah. Untuk yang lain kedaulatan Allah mensyaratkan adanya kalimat-kalimat tersebut. Penggunaan konsep tersebut memerlukan sejumlah pemikieran yang cukup berhati-hati ketimbang melompat kepada kesimpulan yang nampaknya sesuai dengan intuisi.
Masalahnya, apa yang nampak intuitif bagi teolog yang satu bisa menjadi kontra-intuitif bagi teolog yang lain. Intuisi dapat menjerumuskan kita, sebab intuisi sering tidak membuat analisis dan pemilah-milahan yang baik. Secara intuitif, kita condong untuk memformulasikan kedaulatan Allah dengan mengeluarkan apa pun juga yang menjadi “pembatas” bagi Allah. Akan tetapi, ketika kita merefleksikan inti masalahnya, kita dengan mudah akan menjumpai bahwa kedaulatan tidak dapat dikeluarkan dari segala macam pembatasan tanpa kecuali. Hanya kaum nominalis yang akan berpikir bahwa kedaulatan itu demikian.
Beberapa analisis pembedaan kita perlukan untuk menjelaskan “pembatasan” seperti apa yang tidak tepat bagi kedaulatan Allah, dan “pembatasan-pembatasan” jenis apa yang memang merupakan pembatasan. Kebanyakan buku teologi, bahkan dari kalangan Calvinis, menyatakan bahwa Allah juga “terikat” paling tidak oleh karakter-Nya sendiri—oleh misalnya kebaikan-Nya, rasionalitas-Nya, kebesaran-Nya yang tiada tara; Allah tidak pernah dapat menjadi jahat, bodoh, atau lemah. Allah juga terikat oleh perjanjian-Nya, sebagaimana kita ketahui dari Alkitab. Maka, tidak ada kedaulatan yang carte blanche, kedaulatan tanpa “pembatasan” sama sekali. Pemikir Injili harus mendasarkan argumentasinya bahwa Allah membatasi diri-Nya sendiri untuk bekerja di dalam kerangka perjanjian-Nya.
2. Posisi Ortodoks
b. Firman dan Roh berjalan bersama-sama. Hal ini sama-sama merupakan penekanan baik Calvin maupun Luther melawan posisi Katolik Roma di satu sisi dan kaum “antusias” di sisi lain. Kesaksian Roh terhadap Firman—bukan melawan, ataupun menambahi, sebagaimana pendapat kaum neoortodoks. Kitab Suci selalu merepresentasikan kesaksian Roh Kudus dalam bentuk sebagai berikut: Roh Kudus memanggil kita untuk mendengar apa yang Allah katakan (lih. Yoh. 14.26; 15.26; 16.13; 1Tes. 1.5; 2.13). Seperti halnya Helmut Thielicke tunjukkan, Roh Kudus dicurahkan sampai kepenuhannya hanya setelah penyaliban dan kebangkitan Kristus (Yoh. 16.7), sebab Ia membawa kesaksian bagi karya Kristus yang telah tuntas (Yoh. 16.14). Karena itulah, Ia menjaga kebenaran berita tersebut. Namun tak cukup sampai di situ, sebagai tambahan atas pendapat Thielicke di atas, Roh Kudus dapat bersaksi mengenai peristiwa-peristiwa objektif itu bagi kita pada masa ini, hanya bila ia meneguhkan kesaksian dan kata-kata para rasul mengenai peristiwa tersebut, yaitu kata-kata yang kita miliki di dalam Kitab Suci.
c. Kata itu meneguhkan dirinya sendiri. Kata tersebut adalah otoritas tertinggi bagi semua orang percaya, dan oleh sebab itu kata itu juga bahkan menjadi dasar mutlak bagi otoritasnya. Kita tidak dapat menguji Kitab Suci dengan apa pun yang kita kira lebih otoritatif daripada Kitab Suci. Firman Allah yang dituliskan, dalam kenyataannya, adalah cara untuk menguji roh-roh (1Kor. 14.37; 1Yoh. 4.1-3). Karena itu, tidak ada seorang ahli yang boleh menempatkan ajaran apa pun mengenai Roh Kudus bila melawan Kitab Suci.
d. Kalau begitu, apa dasar otoritas alkitab? Yaitu pada inspirasi Roh Kudus ataukah pada kesaksian Roh? Di sini terdapat ambiguitas (perihal mendua arti dari satu istilah) dari kata “otoritas.” Istilah ini dapat digunakan baik dalam pengertian yang subjektif ataupun objektif. Secara objektif, sebagai misal, suatu hukum sipil memiliki otoritas di atas saya, baik saya tahu tentang itu ataupun tidak. Namun secara subjektif, hukum tersebut tidak memerintah saya (dalam arti memberikan pengaruh terhadap tindakan saya untuk patuh), jika saya tidak mengetahuinya dan menerimanya dengan rela hati. Sama halnya, Kitab Suci memiliki otoritas objektif di atas kita oleh sebab inspirasi Roh Kudus. Kita mau mematuhinya atau tidak, Roh telah memberikan kesaksian kepada kita. Jika kita tidak taat, kita akan diperhadapkan kepada pengadilan Allah, kecuali bila Allah mengampuni kita melalui Kristus. Dalam pada itu, otoritas subjektif dari Kitab Suci, berasal dari kesaksian Roh, hati kita tidak dapat mematuhinya sampai Roh bersaksi tentangnya di dalam hati kita.
e. Oleh karena itu, kedaulatan dan kemerdekaan Allah di dalam kesaksian Roh terlihat, bukan di dalam kemampuan Allah untuk berkontradiksi atau memodifikasi atau menambah-nambahi Firman-Nya, tetapi di dalam kemampuannya untuk membawanya masuk ke dalam hati kita. Hati yang semula menolak Firman dan beku, dibuka-Nya untuk menerima Firman, sehingga apa pun yang Ia telah katakan, Ia pasti kerjakan. Tidak ada satu pun yang pernah gagal!