Saturday, December 6, 2008

Mengenal Nyanyian Gereja (1)

Artikel ini sebagian besar dari artikel akademis yang pernah terbit dalam jurnal Veritas 8/2 (Oktober 2007) 205-229.



Konteks bergereja dewasa ini adalah “perang gaya baru,” yaitu perang ibadah.[1] Gereja-gereja kontemporer tampil dengan wajah segar dalam berbagai bidang pelayanan yang market sensitive—peka pasar, peka dengan keinginan orang-orang di zaman ini—termasuk ibadah yang ditata untuk menarik pengunjung gereja. Dampak yang diakibatkan tak dapat dibilang kecil. Kian meruncing tensi antara gereja-gereja kontemporer dengan gereja-gereja tradisional yang formal-liturgical ataupun hymn-based. Tetapi dari sekian area yang menjadi “Padang Kurusetra”[2] perang ibadah itu, musik dan nyanyian gereja merupakan area yang penuh ranjau!



Makalah ini berusaha menolong jemaat untuk mengambil sikap yang bertanggung jawab dalam memilih nyanyian gereja. Jangkauan tulisan ini yaitu pada teologi nyanyian jemaat, tempat nyanyian jemaat dalam liturgi gereja serta kandungan teologis sebuah himne.[3] Terhadap “perang ibadah” dan khususnya “perang musik,” keputusan kita sering dikendalikan oleh dua hal: (1) menurut selera kita; atau (2) menurut kebiasaan yang selama ini berlaku. Cara pertimbangan seperti ini tentu tidak tepat. Sebagai gereja Kristen, kita seharusnya mempertimbangkan tiga hal untuk bersikap: (1) selaras dengan Kitab Suci, (2) dengan mempertimbangkan tradisi gereja serta (3) konteks budaya di mana gereja berada.



Kitab Suci adalah norma tertinggi dan otoritas yang mutlak bagi pranata gereja (norma normans non normata), namun kita pun harus menerima fakta bahwa setiap orang Kristen mendekati Alkitab melalui tradisi gereja. Dengan kata lain, titik start seseorang untuk mendekati Alkitab dan memahaminya adalah melalui tradisi gereja. Apakah tradisi gereja tidak dapat khilaf? Tentu dapat. Tetapi berhasrat menjadi gereja yang alkitabiah tanpa mempertimbangkan tradisi gereja dengan arif (dan kritis) hanya akan menjerumuskan kita kepada satu bentuk bidat gaya baru. Sebuah gerakan spiritual Kristen dikategorikan sebagai bidat apabila mengklaim pengajarannya dan pranata-pranatanya sebagai yang paling benar dan mengabaikan tradisi yang sudah ada sebagai pihak yang menyimpang, ataupun tidak mau duduk di bawah pengajaran bapa-bapa gereja. Dalam pada itu, tradisi mana yang harus menjadi pertimbangan kita? Menurut hemat penulis, yaitu tradisi Reformasi yang melahirkan gereja-gereja Protestan. Mengapa demikian? Tradisi Reformasi berusaha mempertahankan katolisitas dalam pengajaran Gereja Tuhan. Dengan perkataan lain, karakteristik tradisi Reformasi adalah “katolik.”[4] Reformasi tidak bermaksud membuat sebuah “tradisi” yang baru, tetapi melanjutkan pokok-pokok pengajaran yang diwariskan oleh bapa-bapa gereja berabad-abad sebelumnya. Para reformator arus utama disebut “murid-murid bapa gereja”! Martin Luther menimba pemahaman dari St. Augustinus dari Hippo. Yohanes Calvin, walaupun di satu sisi sangat kritis dengan tradisi Katolik Roma pada waktu itu, ternyata banyak sekali dipengaruhi juga oleh St. Augustinus dan mistikus Katolik St. Bernardus dari Clairvaux.[5]



Pertimbangan selanjutnya untuk bersikap adalah konteks, sehingga gereja dan segenap pranatanya bukan merupakan “fotokopi” dari satu kebudayaan asing. Terkadang Gereja tidak berani menjadi autentik dalam konteksnya. Katakanlah, kita di Indonesia mewarisi Kekristenan dari Eropa; dan saat ini banyak gereja kontemporer mengimpor pranata gereja populer dan kharismatik dari Negeri Paman Sam, Amerika Serikat—yang akhirnya menjadi subkultur gereja-gereja pada masa kini! Sebaliknya, gereja perlu mengekspresikan pemahaman iman dalam konteks budaya setempat. Mencermati perkataan Max L. Stackhouse, “[W]e are still in the age of contextualizing the faith, an age which extends from Pentecost to the eschaton, and a faith that is relevant to every particular context.”[6] Nyanyian gerejawi pun perlu kontekstual.






[1]Thomas G. Long, Beyond the Worship Wars: Building Vital and Faithful Worship (Bethesta: Alban Institute, 2001) 50-1.

[2]Dalam kisah pewayangan Jawa, Padang Kurusetra adalah medan pertempuran puputan trah Bharata, antara Pandawa dan Kurawa yang terkenal sebagai Bharatayudha.

[3]Karena terbatasnya ruang, maka makalah ini mengesampingkan pembahasan mengenai jenis musik apa yang seharusnya masuk dalam gereja. Hal ini sebenarnya banyak dinantikan oleh generasi muda, misalnya mengenai pertanyaan apakah musik rock boleh dipakai dalam kebaktian.

[4]R. C. Sproul, What is Reformed Theology?: Understanding the Basics (Grand Rapids: Baker, 2005) 27-30.

[5]Lih. Anthony N. S. Lane, John Calvin: Student of the Church Fathers (Edinburgh: T & T Clark; Grand Rapids: Baker, 1999).

[6]Max L. Stackhouse, “Contextualization, Contextuality, and Contextualism,” dalam One Faith, Many Cultures: Inculturation, Indigenization, and Contextualization (ed. Ruy O. Costa; Maryknoll: Orbis, 1988) 12.

No comments:

Post a Comment