Saturday, December 6, 2008

Mengenal Nyanyian Gereja (6)



Godaan besar bagi gereja modern adalah menjadikan ibadah gerejawi informal. Tetapi hendaklah kita berhati-hati, sebab informalitas tidak ada kait-mengaitnya dengan berita Injil Kristen, tetapi jelas bertalian erat dengan semangat zaman. Ketika informalitas menjadi norma, maka gereja sedang berada di ambang bahaya besar, sebab hal ini merupakan tanda bahwa jemaat semakin jauh dari tuntutan Injil mengenai bagaimana penataan ibadah yang benar. N. T. Wright mengingatkan kita, “We must, then, resist the culture-driven pressure to informality. Informality has its place, but it is not the be-all and end-all, and of itself has nothing to specific to do with the gospel.[1]



Saran I



Patut disayangkan, banyak gereja pada masa sekarang telah menjadi sangat asing dengan Nyanyian Mazmur. Bahkan gereja-gereja Reformed sendiri kian sedikit yang menyanyikannya dalam ibadah. Nampaknya perlu mengembalikan Nyanyian Mazmur ke dalam gereja! Sebab Mesias Yesus sangat mencintai Mazmur. Gereja Perdana di Perjanjian Baru meninggikan Mazmur. Gereja Reformasi memulihkan tempat Mazmur, jadi mengapa kita tidak membawa kembali nyanyian yang indah ini ke dalam gereja kita, bila kita ingin disebut sebagai Gereja yang mengikut jejak Sang Mesias? Ciptakan nada-nada indah untuk Mazmur, seperti pada zaman Calvin di Jenewa.



Saran II



Bagi para perancang kebaktian, nampaknya perlu segera mengadakan seleksi yang ketat terhadap nyanyian-nyanyian gerejawi. Harus kita sadari bersama, lagu-lagu yang “menguasai pasar” adalah lagu-lagu kontemporer yang mudah diakses melalui kaset-kaset dan kebaktian-kebaktian di gereja-gereja baru yang biasanya menarik banyak pengunjung dan pelanggan, sehingga gampang sekali dipelajari dan dihafalkan. Hal ini secara langsung atau tidak membentuk imaji (bayangan) dalam pikiran banyak orang Kristen bahwa lagu-lagu seperti itulah yang benar dan sesuai untuk dipakai dalam kebaktian pada masa kini. Segi isi teologi dan pengajaran dikesampingkan.



Saran III



Dalam pada itu, para komponis himne juga harus memacu dirinya dan mempelajari kaidah-kaidah sebuah himne yang dinyanyikan dalam ibadah. Baik aturan maupun kandungan pengajaran di dalamnya. Tak perlu “Baratisasi” alias berkiblat kepada gaya Barat, meskipun banyak kidung indah memang tercipta dari belahan dunia tersebut. Hal ini bukan untuk membatasi kreativitas, tetapi justru memotivasi para komponis Kristen lokal untuk menghasilkan karya-karya terbaik, bermutu tinggi dan bernilai kekal—tidak mudah dilupakan oleh generasi-generasi berikutnya. Terpujilah Allah!




[1]Wright, “Freedom” 14.



2 comments:

  1. Sebagai orang awam saya mau tanya Mas, apakah gereja-gereja Katolik juga terpengaruh oleh tata ibadah yang "dimodernisasi" menuju kebaktian yang informal ?

    Atau kasus yang anda tulis tersebut merupakan cerminan gereja-gereja Protestan saat ini ?

    ReplyDelete
  2. Sejak pembaruan Liturgi pasca Konsili (Persidangan) Vatikan II tahun 1962-1965, Gereja Katolik banyak mengalami perubahan dalam liturgi.

    Selain reduksi penggunaan bahasa setempat, penyederhanaan liturgi agar lebih "ekumenis" (memikirkan persaudaraan dengan gereja dari tradisi lain), lagu-lagu pun lebih terbuka.

    Buktinya, ada himne-himne seperti WHAT A FRIEND WE HAVE IN JESUS, MY JESUS I LOVE THEE, AMAZING GRACE, LOVE DIVINE ALL LOVE EXCELLING juga masuk di Katolik.

    Dengan perkembangan lagu-lagu persekutuan, sejumlah Gereja Katolik pun menjadi lebih terbuka. Ada tempat di mana lagu persekutuan dapat dipakai. Bahkan ada yang disebut sebagai persekutuan Katolik Kharismatik, yang mengakomodasi lagu-lagu modern.

    Tapi dalam ibadah (liturgi)-nya, Gereja Katolik masih terbilang ketat.

    Demikian yang dapat saya sampaikan.

    ReplyDelete