Saturday, December 6, 2008

Mengenal Nyanyian Gereja (5)



Bagaimana dengan pernyataan kesaksian firman Tuhan, “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN . . .” (Mzm. 98.1; bdk. Mzm. 33.3; 40.4; 96.1; 144.9; 149.1; Yes. 42.10)? Bukankah Kitab Suci menganjurkan kita untuk menyanyikan lagu-lagu yang baru? Benar sekali. Kita tidak perlu memutlakkan himne-himne kuno sebagai yang paling benar. Amazing Grace” karya John Newton, misalnya, bukanlah karya utuh dari Newton. Ia hanya menulis liriknya, sementara lagu yang biasa kita dengar diambil dari lagu rakyat Amerika Serikat. Sebab itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa lagu tersebut selaras dengan keinginan Newton. Demikian pun lagu Jerman “Ein’ feste Burg ist unser Gott” karya Martin Luther, berasal dari lagu rakyat Jerman yang biasanya dinyanyikan di pub-pub umum. Lagu-lagu itu termasuk kontemporer di zamannya, bahkan tergolong sekular. Tetapi, pertimbangan untuk memakai lagu baru kiranya bukan oleh karena rasa bosan dengan lagu-lagu lama. Prinsip yang harus kita ingat ialah, bukan karena selera dan juga bukan karena kebiasaan kita sejak dahulu.



Reformasi sesungguhnya mengembalikan tempat dan posisi nyanyian rohani sebagai milik umat yang beribadah. Pada era sebelumnya, Abad Pertengahan atau Abad Kegelapan, nyanyian rohani Latin merupakan dominasi para cantor profesional yang diangkat khusus untuk melayani ibadah. Memang lagu-lagu diciptakan sangat indah dan inspiratif, tetapi menyanyi tak lagi diminati oleh umat. Umat pun menjadi pasif.[1] Reformasi mendobrak kebiasaan ini dan menempatkan nyanyian sebagai milik jemaat, dengan menggubah lagu-lagu rohani dalam bahasa yang dimengerti umat (bahasa ibu) serta nada-nada yang dekat dengan kehidupan jemaat. Contoh peristiwa: Pada tahun 1501, Bohemian Brethren mengumpulkan nyanyian rohani sebanyak 80 buah, dan edisi kedua terbit pada tahun 1505 dengan koleksi lagu 400 himne. Pada tahun 1522, kaum ini menghubungi Luther, dan dengan keramahtamahan yang hangat Luther menyambut mereka, dan di kemudian hari lagu-lagu mereka dimasukkan dalam kitab kidung gubahan Luther.[2]



Namun di sisi lain, para reformator melanjutkan beberapa kebiasaan di Gereja Abad Pertengahan dan gereja-gereja kuno sebelumnya. Di gereja Huldreich Zwingli yang sangat radikal dan ketat itu, “Ave Maria” tetap dipertahankan. Sedangkan Calvin memiliki sumbangsih yang besar dalam perevisian pandangan mengenai Perjamuan Kudus serta penerbitan Nyanyian Mazmur. Ia mengundang komponis-komponis ternama di Eropa untuk memparafrasekan Mazmur dan mengisinya dengan nada-nada yang indah. Hasilnya, The Genevan Psalter (1562) merupakan kitab kidung standar gereja-gereja Reformed dan dipandang sebagai buku lagu termasyhur, sebab paling sedikit ada 1000 edisi dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Calvin benar ketika memprioritaskan Mazmur sebagai Firman yang diilhamkan sendiri oleh Allah, dan hal ini selaras dengan pemahaman Gereja Perjanjian Baru yang tetap mempertahankan Mazmur, bahkan selaras dengan cita-cita Paus Gregorius Agung (menjabat 590–604 M.).[3]



Mengenai pengertian “kontemporer” di kala itu (dan tiga abad sesudahnya) sangatlah berbeda dengan sekarang. Meski terbilang kontemporer, para komponis zaman dulu saksama dalam menggubah lagu gereja, baik lirik, melodi maupun harmoni. Mereka mempertimbangkan patron dan pola sajak metrical, menulis syair yang mudah dipahami, dan nada-nada yang tepat dan kaya menurut jiwa syair. Contoh, “Amazing Grace” oleh John Newton,



Amazing grace how sweet the sound,

That saved a wretch like me;

I once was lost but now am found,

Was blind but now I see.



Contoh lain adalah “O Love That Wilt Not Let Me Go” oleh George Matheson,



O love that wilt not let me go,

I rest my weary soul in Thee;

I give Thee back the life I owe,

That in Thine ocean depth its flow

May richer, fuller be.



Merenungkan hal tersebut pada masa sekarang, yang tertinggal dari warisan di atas hanyalah kata-kata yang mudah dipahami. Memang, lirik lagu-lagu modern terkesan enteng. Lebih jauh dari itu, corak lirik lagu modern semakin sentimental, melankolis, individualistis bahkan terkesan erotis-sensual. Sebutan “Bapa” yang diajarkan Yesus sebagai sebutan (baca: gelar) kerahiman Allah kepada segenap umat Allah—sehingga mereka menyapa “Bapa kami”—telah bergeser kepada pengalaman eksistensial-privat, “Bapa-ku.” Contoh:

“Bapa yang Kekal” oleh Julita Manik



Kasih yang sempurna telah kut’rima dari-Mu,

Bukan kar’na kebaikanku, hanya oleh kasih karunia-Mu,

Kau pulihkan aku, layakkanku ‘tuk dapat memanggil-Mu Bapa.

Kau b’ri yang kupinta saat kumencari kumendapatkan,

Kuketuk pintu-Mu dan Kau bukakan,

S’bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal

Takkan Kau biarkan, aku melangkah hanya sendirian

Kau selalu ada bagiku, s’bab Kau Bapaku, Bapa yang kekal.



“Ku Mau Cinta” (Falling in Love) oleh Robert dan Lea Sutanto



Kaulah yang kurindukan, Kaulah yang kucinta;

Tiada yang lain di hidupku selain Kau Tuhan.

Kumau cinta Engkau, Yesus, lebih dalam kepada-Mu,

Kumau cinta Engkau, Yesus, hanya kepada-Mu.



“Untuk Kekasihku” oleh Robert Louis



Di dalam hadirat-Mu, aku dan generasiku

Nyanyikan pujian, rindukan cinta-Mu;

Dengarlah kekasihku ingin kukatakan kepada-Mu,

Nikmatnya cinta-Mu lebih dari anggur

Untuk kekasihku kub’rikan cintaku,

Jadi tunangan-Mu, Tuhan, Yesus kekasihku,

Sungguh kubahagia menjadi mempelai bagi-Mu.



Bahkan tidak sedikit pula nyanyian yang berlirik bombastis-triumphalis dan arogan. Contoh:



“Nama Yesus” oleh Ir. Erwin Badudu dan Franky Sihombing



Bangkit, s’rukan nama Yesus; maju, nyatakan kuasa-Nya;

Kita buat Iblis gemetar, kalahkah tipu dayanya,

Dengan kuasa nama-Nya.

Nama Yesus, menara yang kuat,

Nama Yesus kota benteng yang teguh,

Nama Yesus kalahkan semua musuh,

Nama Yesus di atas s’galanya.



“Allah Bangkit” oleh Ir. Lukas H. dan Theresia Age



Kerahkanlah kekuatan-Mu, ya Allah,

Tunjukkan kuasa-Mu, ya Tuhan,

Serakkan musuh-Mu, s’lamatkanlah umat-Mu

Allah dahsyat di tempat kudus-Nya.

Allah bangkit, bersoraklah!

Allah bangkit, bernyanyilah!

Musuh dikalahkan, umat-Nya dibebaskan

Allah dahsyat di tempat kudus-Nya!



Pada beberapa lagu, logika siapa berbicara kepada siapa kian tidak jelas. Demikian pula kandungan bobot teologis yang rancu dan kontradiktif nampak jelas.[4] Contoh:



“Kasih Allahku Sungguh T’lah Terbukti”



Kasih Allahku sungguh t’lah terbukti,

Ketika Dia serahkan Anak-Nya,

Kasih Allah mau berkorban bagi kau dan aku,

Tak ada kasih seperti kasih-Mu.

Bersyukur, bersyukur, bersyukurlah,

Bersyukur kar’na kasih setia-Mu,

Kusembah, kusembah, kusembah dan kusembah,

S’lama hidupku kusembah Kau Tuhan.



“Bapa, Lembutkanlah Hatiku”



Bapa, lembutkanlah hatiku, ‘tuk dapat lebih mengasihi-Mu,

Bapa, bentuklah diriku, untuk dapat menjadi saksi-Mu.

Dan mengerti rencana-Mu di dalam hidupku,

Jadikan aku semakin indah, di hadapan-Mu.

T’rima kasih, Yesusku, t’rima kasih Yesusku,

Puji syukur hanya bagi Tuhanku.



“Kau Telah Memilihku” oleh Ir. Nico Nyotoraharjo



Kau telah memilihku, sebelum dunia dibentuk,

Betapa aku bersyukur pada-Mu, ya Tuhan, Allahku,

Kau telah memilihku sebagai alat K’rajaan-Mu

Betapa aku bersyukur pada-Mu atas perbuatan-Mu.

Jadikan aku bait Suci-Mu yang kudus dan yang tiada bercela;

Jadikan aku mezbah doa-Mu, bagi keselamatan bangsaku.



“Jadikanku Rumah Doa” oleh Ir. Nico Nyotoraharjo dan Ir. Djohan Handojo



Kubawa hidupku s’karang, ke tempat kudus-Mu, Tuhan,

Di mezbah-Mu kuserahkan seluruh hidupku.

Penuhi hatiku s’karang dengan urapan yang baru,

Agar aku lebih lagi mendengar suara-Mu.

Jadikan aku, Tuhan, rumah doa-Mu,

Agar semua suku bangsa datang menyembah-Mu.



Dalam pada itu, kita patut menaikkan syukur kepada Allah, sekalipun banyak komponis yang telah meninggalkan kaidah himne yang benar, serta membuat enteng syair dan kandungan teologis lagu-lagu, masih terdapat komponis-komponis kontemporer yang menggubah nyanyian-nyanyian gerejawi secara serius dan benar dalam kandungan teologisnya. Contoh:



Majesty” [“Mulia, Sembah Raja Mulia”] oleh Jack W. Hayford



Majesty, worship his majesty,

Unto Jesus be all glory, honor and praise,

Majesty, Kingdom authority

Flow from His throne, unto His own, His anthem raise.

So exalt, lift up on high, the name of Jesus,

Magnify, come glorify Christ Jesus the King!

Majesty, worship his majesty,

Jesus who died, now glorified, King of all kings!



Meekness and Majesty” oleh Graham Kendrick



Meekness and majesty, manhood and deity,

In perfect harmony, the man who is God:

Lord of eternity, dwells in humanity,

Kneels in humility and washes our feet.

O what a mystery—meekness and majesty;

Bow down and worship, for this is your God,

This is your God!



“Besar dan Ajaiblah Karya-Mu” oleh Ir. Nico Nyotoraharjo



Besar dan ajaiblah karya-Mu,

Adil dan benarlah jalan-Mu,

Raja s’gala bangsa yang mahakuasa,

Mulia nama-Mu.

Layaklah segala bangsa sujud kepada-Mu,

S’bab Kau Allah yang kudus, layak disembah.




[1]Webber, Worship 199.

[2]Ibid.

[3]Kini, riset modern membuktikan bahwa nada-nada mazmur Gregorian memiliki akarnya pada nyanyian mazmur Yahudi (Hopper, “Music” 1508).

[4]Bisa jadi, efek ini dipicu oleh penemuan gitar dan alat-alat musik elektronik yang mudah dipakai dan dimainkan, sehingga ilham bisa datang kapan saja, tepat ketika sang komponis memain-mainkan alat musik tersebut.



1 comment:

  1. terimakasih.... tulisan ini sangat berguna buat saya... :)

    ReplyDelete