Saturday, December 6, 2008

Mengenal Nyanyian Gereja (4)



Dari penggalian biblis terhadap nyanyian-nyanyian Gereja PB di atas, sekarang marilah kita menyarikan motif-motif teologis himne gerejawi.



Pertama, motif kebenaran (truth). Kita dapat menyebutkan motif pertama ini motif “doktrinal.” Dalam menyusun doktrin, maka Alkitab, tradisi, penalaran, konteks dan pengalaman merupakan pilar-pilarnya. Tak jauh berbeda dengan menggubah himne. Dengan perkataan lain, himne adalah doktrin. Himne pun memiliki fungsi layaknya doktrin, yaitu: (1) edifikasi, (2) doksologi dan (3) proklamasi. Sebagai edifikasi, peran himne harus mampu meneguhkan iman jemaat akan kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen. Singkatnya, himne mengambil peran dalam pengajaran jemaat. Juga berfungsi sebagai doksologi, sebab himne merupakan puji-pujian kepada keagungan Tuhan Yesus Kristus; pada saat yang sama keberanian untuk memuji Kristus merupakan proklamasi di hadapan dunia. Menyebut Yesus adalah Tuhan dalam pujian berarti kita berani mendeklarasikan diri kita sebagai umat yang dipimpin oleh Mesias Yesus. Contoh: himne untuk Perjamuan Kudus gubahan St. Thomas Aquinas,



Lauda, Sion, Salvatorem . . . .

Pange, lingua, gloriosi Corporis mysterium . . . .

Verbum supernum prodiens, nec Patris . . . . [1]



Atau “Love Divine, All Loves Excelling” oleh Charles Wesley,



Finish then Thy new creation, pure and spotless let us be;

Let us see Thy great salvation, perfectly restored in Thee;

Changed from glory into glory, till in heaven we take our place,

Till we cast our crowns before Thee, lost in wonder, love, and praise.



Kedua, motif kebaikan (goodness). Atau kita dapat sebut sebagai motif “eksistensial.” Hal ini lebih dari sekadar pengalaman privat ataupun ekspresi emosional. Kebaikan erat kaitannya dengan seluruh keberadaan manusia—singkatnya, kehidupan Kristiani secara total. Manusia diciptakan oleh Allah sebagai gambar-Nya “sungguh amat baik.” Dengan demikian, himne harus dapat mengekspresikan sukacita, pergulatan hidup, etos kerja keras, doa-doa, derita dan sengsara hidup, pengharapan untuk menikmati keselamatan seutuhnya, dan syafaat umat bagi dunia. Dalam hal ini, pendobrakan dalam sejarah himne dimulai oleh kejeniusan dan pengaruh besar dari Isaac Watts (1674–1748).[2] Ia bereaksi terhadap Calvin yang memutlakkan pemakaian Mazmur dalam ibadah gereja; dan menurutnya hal ini pun tidak sesuai dengan semangat Injil-injil. Sebab, dalam Injil-injil, dan PB pada umumnya, digubah nyanyian-nyanyian baru. Mulai sejak itu, unsur eksistensial—kehidupan Kristiani yang utuh—dimasukkan dalam himne-himne. Namun harus tetap dicatat, meski terdapat unsur eksistensial, fokus utama tetaplah Allah dan karya-Nya. Contoh “When I Survey the Wondrous Cross” oleh Isaac Watts,



Were the whole realm of nature mine,

That were an offering far too small;

Love so amazing, so divine,

Demands my soul, my life, my all.



Ketiga, motif keindahan (beauty). Kita menyebut pula motif “puitis dan kesalehan.” Seni dan spiritualitas berpadu harmonis dalam himne; atau, terdapat sentuhan kreativitas manusia serta unsur mistis (kebersatuan orang percaya dengan Allah). Ada ahli yang menyebutnya sebagai ecstatic reason, “penalaran ekstatis.” Himne, dengan demikian, merupakan urusan yang integral antara rasio dan spiritualitas. Kata-kata himne yang diikat dalam aturan-aturan susastra harus dapat mengantar umat pada rasa takjub dan takzim kepada misteri rencana agung keselamatan dari Allah. Contoh “And Can It Be that I Should Gain” oleh Charles Wesley,



He left His Father’s throne above—

So free, so infinite His grace—

Emptied Himself of all but love,

And bled for Adam’s helpless race.

‘Tis mercy all, immense and free,

For, O my God, it found out me!



Bila demikian, bagaimanakah kita seharusnya menyanyikan himne? Dari pemahaman mengenai motif internal lagu, marilah kita menelaah sisi teologis tentang bagaimana seharusnya menyanyikan himne gerejawi.[3]



Pertama, himne dinyanyikan dari dalam hati. Ibadah dimulai dari rumah, dan sebab itulah setiap orang yang pergi untuk menghadap Allah kiranya mempersiapkan hatinya dengan sungguh-sungguh. Allah tidak sedang menantikan persembahan harta, tetapi hati kita. Allah tidak membutuhkan lagu, tetapi hati kita yang terarah kepada Dia. Hati yang siap menyembah akan menaikkan pujian dengan penuh ketulusan.



Kedua, himne dinyanyikan bersama jemaat lokal. Seseorang tidak pernah menjadi Kristen solitaire, seorang diri. Setiap orang Kristen terisap dalam persekutuan orang percaya yang disebut gereja, dan masing-masing pribadi memiliki pergumulan hidup. Ada yang siap menyanyi, ada pula yang tengah bergulat dengan masalah dan kesedihan. Nyanyian jemaat seharusnya mampu menyatakan sukacita dan kesedihan jemaat, dan diikat dalam satu hati maupun satu suara. Bila seseorang terluka, yang lain mendoakannya. Oleh karena itu, nyanyian jemaat perlu ditata agar dapat menyapa semua perasaan umat yang beribadah (tetapi bukan ditujukan untuk memuaskan perasaan dan keinginan jemaat).



Ketiga, himne dinyanyikan bersama gereja di sepanjang zaman. Cakupan siapa saja yang termasuk umat Allah jauh lebih luas daripada sekadar jemaat lokal. Ketika menyanyikan Mazmur, kita sesungguhnya sedang mengikatkan diri dengan jemaat yang bernyanyi pada zaman Raja Daud di masa lampau. Misalnya, “O God, Our Help in Ages Past” (KJ 330, “Kau, Allah, Benteng yang Baka”) diambil dari Mazmur 90 yang membawa kita sampai ke zaman Musa:



O God, our help in ages past, Our hope for years to come,

Our shelter from the stormy blast, and our eternal home!



Under the shadow of Thy throne, Still may we dwell secure;

Sufficient is Thine arm alone, And our defense is sure.



Before the hills in order stood, Or earth received her frame,

From everlasting Thou art God, To endless years the same.



A thousand ages in Thy sight, Are like an evening gone;

Short as the watch that ends the night, Before the rising sun.



O God, our help in ages past, Our hope for years to come,

Be Thou our guide while life shall last, and our eternal home!



Musa mula-mula menggubah syair mazmur itu, para ahli kitab kemudian menyalinnya. Orang lain menerjemahkan ke dalam bahasa Yunani, dan akhirnya ke bahasa Inggris. Lebih dari tiga ratus tahun yang lalu, Pdt. Isaac Watts (1674–1748) menggubah sebuah syair berdasarkan mazmur tersebut. Seseorang yang lain menulis lagunya. Seseorang lain lagi membawanya ke Amerika, dan orang lain membawanya pula hingga tiba ke Indonesia. Kalau begitu, tiap kali menyanyikan mazmur ini, kita pun sedang mengikatkan diri kita dalam satu ibadah menyembah Allah bersama-sama dengan Musa, hamba Allah. Hendaklah kita selalu ingat, Musa masih hidup hingga saat ini, yakni di hadirat Allah. Jadi, apabila kita sedang menyanyikannya, maka sebenarnya kita bernyanyi bersama dengan umat yang dulu telah dan kelak akan menyanyikannya. Inilah harta warisan Gereja Tuhan!



Keempat, himne dinyanyikan bersama gereja di segala tempat. Umat Allah bernatur universal, meliputi kelima benua di bumi. Visi Allah yakni ketika Yerusalem baru hadir di bumi, matahari dan bulan tak lagi diperlukan sebab kemuliaan Allah meneranginya dan Anak Domba menjadi lampunya, serta “bangsa-bangsa akan berjalan di dalam cahayanya dan raja-raja di bumi membawa kekayaan mereka kepadanya” (Why. 21.24). Kaum pilihan Allah yang berasal dari segala ras serta suku bangsa datang menghadap kepada Allah dan menaikkan sembah bakti mereka kepada Allah. Visi ini telah terpancar melalui pengakuan iman yang am (harfiah “katolik,”), yakni Pengakuan Iman Rasuli. Tetapi visi ini juga mengejawantah dengan cara membawa pergumulan umat Allah di belahan bumi lain dalam doa dan pujian umat yang sedang beribadah. Itulah sebabnya, kitab kidung yang baik tidak hanya mencantumkan sederetan lagu yang berasal dari satu benua, tetapi mewakili kelima benua di dunia.



Kelima, himne dinyanyikan bersama semua ciptaan. Kita seharusnya sadar bahwa kita sedang bernyanyi bersama ciptaan. Perhatikan Mazmur 19.1–5 dan khususnya 98.4, 8:



Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi,

Bergembiralah, bersorak-sorailah dan bermazmurlah!

Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan,

dan gunung-gunung bersorak-sorai bersama-sama



Demikian pula Mazmur pamungkas Mazmur 150.6, “Biarlah segala yang bernapas memuji TUHAN! Haleluya!” Pemandangan akbar ini seolah-olah hendak menyerukan warta bahwa semua ciptaan bak orkestra akbar dan manusia adalah konduktornya. Pujian yang dinaikkan oleh seisi alam semesta terdengar harmonis bila kebenaran, kebaikan dan keindahan nyata hadir dalam ciptaan. Inilah visi besar bagi segenap ciptaan (metanarasi?), yang hingga saat ini belum juga sempurna, namun pengharapan itu pasti sebab Kristus Yesus telah menebusnya. Orkestra akbar itu harus tetap dimainkan, makin lama makin baik; dan melalui jalan itu setiap umat Allah diingatkan bahwa dalam memuji, mereka tengah menaikkan baik sukacita dan duka segenap makhluk ciptaan ke hadirat Allah. Perhatikan nyanyian “All Creatures of Our God and King,”



All creatures of our God and King, lift up your voice and with us sing,

Alleluia! Alleluia! Thou burning sun with golden beam,

Thou silver moon with softer gleam! O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



Thou rushing wind that art so strong, Ye clouds that sail in heav'n along,

O praise Him! Alleluia! Thou rising morn, in praise rejoice,

Ye lights of evening find a voice! O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



O flowing waters, pure and clear, make music for your Lord to hear,

O praise Him! Alleluia! O fire, so masterful and bright,

Providing us with warmth and light. O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



Dear mother earth, who day by day unfolds rich blessings on our way.

O praise Him! Alleluia! The fruits and flow'rs that verdant grow,

Let them his praise abundant show. O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



And all ye men of tender heart, forgiving others, take your part,

O sing ye! Alleluia! Ye who long pain and sorrow bear,

Praise God and on Him cast your care! O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



And you, most kind and gentle death, Waiting to hush our final breath,

O sing ye! Alleluia! You lead to heav'n the child of God,

Where Christ our Lord the way has trod. O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



Let all things their Creator bless, and worship Him in humbleness,

O praise Him! Alleluia! Praise, praise the Father, praise the Son,

And praise the Spirit, Three in One!
O praise Him, O praise Him!

Alleluia, Alleluia, Alleluia!



Keenam, himne dinyanyikan bersama seisi surga. Ketika memuji, kita pun sedang bernyanyi bersama orang-orang kudus dan malaikat yang sekarang ini tengah menaikkan puji-pujian di seputar takhta Allah (Why. 4 dan 5). Kita bernyanyi bersama orkestra semesta, namun terlebih dari itu kita pun bergabung dengan orkestra dan paduan suara surgawi. Nabi Yesaya di PL dan Yohanes sang pelihat di PB diizinkan untuk mengintip apa yang sedang terjadi di dalam surga. Suatu pemandangan yang sangat memukau. Mereka yang meninggal ternyata tidak mati jiwanya; sesungguhnya mereka sedang bernyanyi-nyanyi di sekeliling hadirat Allah bersama makhluk-makhluk samawi. Bagaimana dengan yang masih hidup di dunia? Tatkala menaikkan lagu, nyanyian kita tak pernah sempurna, tetapi kita tetap menaikkan pujian, berlandaskan keyakinan bahwa pujian kita itu selaras dengan yang dinaikkan oleh segenap isi surga. Justru dengan pujian, hati kita diangkat ke surga untuk dekat ke takhta Allah oleh kuasa Roh Kudus, dan dengan cara itu semakin mantaplah hati kita bahwa Allah akan berbicara kepada kita melalui pujian kita, juga bahwa Allah akan menerima doa-doa kita. Bahkan Allah Trinitas bernyanyi bersama kita. Contoh Doksologi “Praise God from Whom All Blessings Flow” (“Puji Allah Bapa, Putra”) karya terjemahan Thomas Ken (1637–1711) dari bahasa Perancis karya Louise Bourgeois (ca. 1510–1561) yang tercantum dalam The Genevan Psalter,



Praise God from whom all blessings flow;

Praise Him, all creatures here below!

Praise Him above, ye heav'nly host;

Praise Father, Son and Holy Ghost.




[1]Geoffrey Wainwright, Doxology: The Praise of God in Worship, Doctrine and in Life (New York: Oxford University Press, 1980) 203.

[2]Webber, Worship 199-200.

[3]Penulis berutang ide kepada Dr. Emily R. Brink dari Calvin Institute of Christian Worship, Calvin College, Michigan, khususnya melalui makalahnya “A Glimpse of Hymnology: Praying Our Songs and Singing Our Prayers,” (makalah yang disampaikan dalam Pertemuan Raya Pemusik Gereja di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor, 17 Agustus 2006).



No comments:

Post a Comment