Saturday, December 6, 2008

Mengenal Nyanyian Gereja (3)



Kitab Wahyu



Dalam Wahyu pun bertebaran kidung puji-pujian yang dihunjukkan bagi Kristus Pemenang. Wahyu dapat dipahami sebagai Kitab Konflik, Kitab Kemenangan, namun lebih dari itu Kitab Perayaan. Kitab ini merayakan kemenangan Kristus, dengan puji-pujian yang berpusatkan Kristus sebagai klimaks karya Allah. Wahyu merekam banyak sekali nyanyian-nyanyian ibadah jemaat yang bernuansa kidung kemenangan (mis. 5.9–10; 11.17–18; 12.10–12; 15.3–4; 19.6–8). Perhatikan Wahyu 4.8,



Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah,

Yang Mahakuasa, yang sudah ada

dan yang ada

dan yang akan datang.



Kata “kudus” yang diulang tiga kali menyatakan penegasan. Dalam ilmu tafsir, pengulangan kata menujukkan penekanan, maka pengulangan kata “kudus” hingga tiga kali menyatakan penekanan yang lebih lagi. Para ahli menyatakan bahwa Sanctus merupakan teks liturgis tertua yang dimiliki oleh Gereja. Tak dapat diragukan teks ini diambil dari Yesaya 6.3. Kekudusan Tuhan menarik garis antara Allah sebagai The Wholly Other, “Ia yang Sama Sekali Lain,” dari ciptaan, dan Allah akan bersegera dalam menjalankan penghakiman-Nya. Allah disebut sebagai “Yang Mahakuasa” (ho pantokrator—gelar teknis favorit penulis Wahyu bagi Allah), berarti Ia yang memiliki kuasa dan pemerintahan atas segala ciptaan. Yang “sudah ada, ada, dan akan datang” (bdk. Why. 1.8) menegaskan kekekalan dan kedaulatan mutlak Allah—bahwa Allah saja yang mengendalikan masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. Menurut Robert H. Mounce, ketiga penunjuk waktu ini merentangkan pemahaman mengenai penyataan nama “Yahweh” dalam Kel. 3.14, “AKU ADALAH AKU.”[1]



Wahyu 5.9–10,



Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya:

“Engkau layak menerima gulungan kitab itu

dan membuka meterai-meterainya;

karena Engkau telah disembelih

dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka

bagi Allah dari tiap-tiap suku

dan bahasa

dan kaum

dan bangsa.

Dan Engkau telah membuat mereka

menjadi suatu kerajaan,

dan menjadi imam-imam bagi Allah kita,

dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi.”



Ide “nyanyian baru” untuk merayakan kedaulatan dan betapa layaknya Allah sering muncul dalam Mazmur, di mana frase itu mengungkapkan ibadah baru yang diilhami oleh kemurahan atau rahmat Allah. Di Yesaya 42.10, “nyanyian baru” berhubungan dengan eskatologi dan penyataan “hamba TUHAN” dan “sesuatu yang baru.” Dalam Wahyu 14.3, “nyanyian baru” dihubungkan dengan kehadiran Kerajaan akhir, dan di sini nyanyian yang baru merayakan fondasi Kerajaan tersebut telah diletakkan, yaitu pengurbanan Sang Anak Domba Allah. Penggunaan kainos, “baru” di sini, dan bukan neos, “baru”—kata terakhir tidak dipakai dalam Wahyu—menegaskan sifat kualitatifnya, bukan perihal baru secara temporal, jenis atau gaya baru yang tidak kuno. Sifat kualitatif juga dipakai untuk “Yerusalem baru” serta “langit baru dan bumi baru”; sehingga nyanyian baru tersebut merupakan berita antisipatif akan zaman yang baru, yang akan segera datang itu, pemerintahan Kristus di dalam Kerajaan-Nya yang sempurna. Komposisi nyanyian ini adalah: (1) pernyataan betapa layaknya Sang Anak Domba, 5.9a; (2) karya keselamatan Sang Anak Domba, 5.9b; dan (3) efek bagi para pengikut Sang Anak Domba, 5.10.[2]



Melihat keindahan Kitab Wahyu yang penuh kidung pujian, maka tak berlebihan bila Pdt. John Stott menyebut kitab ini sebagai sebuah sursum corda, “Angkatlah hatimu!”—suatu seruan agar Gereja bersorak-sorai oleh karena mahadaya karya Allah di dalam dan melalui Sang Mesias.[3]



Kesimpulan



Pertama, isi berita nyanyian jemaat di PB merupakan gema crescendo dari nyanyian PL. Pusat pemberitaan nyanyian umat Allah adalah karya Allah yang maha dahsyat. Gereja memahami jati dirinya sebagai pewaris perjanjian Allah, yang sama dengan para leluhur iman di PL, dan karena itu apa yang dinyatakan PB harus dilihat dalam kacamata teologi perjanjian. PB tidak akan pernah ada tanpa PL. PB juga tak dapat berdiri independen tanpa PL.[4] Maka, warta yang terkandung dalam nyanyian-nyanyian jemaat di PB sesungguhnya adalah karya Allah yang sudah dinyatakan dalam PL, yang kini mencapai klimaksnya dalam Mesias Yesus dan Roh Kudus yang dicurahkan oleh Bapa serta Sang Mesias. Perhatikan Kolose 1.15–20,



15. Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan,

yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,

16. karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu,

yang ada di sorga dan yang ada di bumi,

yang kelihatan dan yang tidak kelihatan,

baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa;

segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.

17. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu,

dan segala sesuatu ada di dalam Dia.

18. Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat.

Ialah yang sulung,

yang pertama bangkit dari antara orang mati,

sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.

19. Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,

20. dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya,

baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga,

sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.



Kedua, nyanyian jemaat merupakan suatu dialog, semacam percakapan; subjek dan objek pembicaraan dalam nyanyian jemaat tidak selalu sama. Suatu kali, Allah sebagai subjek berbicara kepada manusia. Di kali lain, manusia kepada Allah. Lain kali lagi, manusia kepada manusia tentang Allah. Dan di kesempatan lain, manusia berbicara kepada dirinya sendiri. Oleh sebab itu, nyanyian jemaat tidak dibuat dalam bentuk-bentuk esoteris-ekstatis—bahasa-bahasa rahasia yang sulit dipahami—tetapi memakai bahasa yang menjadi alat komunikasi jemaat.



Ketiga, nyanyian jemaat memiliki pola dan patron yang khas. Dalam puisi Ibrani dikenal adanya sajak, paralelisme dan majas. Puisi disajikan dalam baris-baris teratur dan terikat (tidak bebas), sangat memprioritaskan keselarasan bunyi bahasa, baik berupa kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan. Mary Hopper menegaskan mengenai himne di PB, “These texts are set apart by their formal poetic structure and their ‘ardor of enthusiasm.’[5] Nyanyian jemaat, dengan demikian, merupakan karya susastra bermutu tinggi dan dikerjakan dengan sangat serius serta melibatkan aspek intelektual. Inilah bukti bahwa Allah berkehendak agar umat mengasihi-Nya dengan segenap keberadaan mereka (lih. Ul. 6.5; bdk. Mrk. 12.30 dan ayat-ayat paralelnya), dan adanya aturan untuk beribadah bagi umat Allah (Mzm. 122.4), sehingga segala sesuatu berlangsung dengan tertib, sopan dan teratur (1Kor. 14.33, 40).



Keempat, terdapat ruang yang cukup luas untuk berkreasi. Gubahan-gubahan kidung baru bertebaran di PB. Contohnya Carmen Christi, “Kidung Kristus” dalam Filipi 2.6–11,



6. [Kristus] yang walaupun dalam rupa Allah,

tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu

sebagai milik yang harus dipertahankan,

7. melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri,

dan mengambil rupa seorang hamba,

dan menjadi sama dengan manusia.

8. Dan dalam keadaan sebagai manusia,

Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,

bahkan sampai mati di kayu salib.

9. Itulah sebabnya Allah

sangat meninggikan Dia

dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

10. supaya dalam nama Yesus

bertekuk lutut

segala yang ada di langit

dan yang ada di atas bumi

dan yang ada di bawah bumi,

11. dan segala lidah mengaku:

“Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!



Ada semacam deviasi dari kaidah standar puisi Ibrani dalam kidung di atas: tidak ada paralelisme antarbaris, dalam aturan syair, panjangnya serta suku-suku kata yang diberi tekanan. Dapat kita simpulkan, meski Allah menghendaki adanya ketertiban dengan adanya aturan dan patron yang jelas, Allah juga memberikan kemerdekaan dalam ibadah.[6] Patron dan kemerdekaan, adalah karakteristik ibadah Kristen yang dipertahankan dalam gereja-gereja Reformasi. Demikian pula seharusnya dalam puji-pujian jemaat.




[1]Robert H. Mounce, The Book of Revelation (NICNT; ed. rev.; Grand Rapids: Eerdmans, 1998) 126.

[2]Grant R. Osborne, Revelation (BECNT; Grand Rapids: Baker Academic, 2002) 259.

[3]“War in Heaven,” dalam serial khotbah The Future Belongs to Jesus (London: All Souls Church, 1999), format MP3.

[4]Mary Hopper, “Music and Musical Intruments,” dalam Baker Encyclopedia of the Bible (ed. W. A. Elwell; 2 vol.; Grand Rapids: Baker, 1995) 2:1511.

[5]Ibid. 1509.

[6]Baca N. T. Wright, “Freedom and Framework, Spirit and Truth: Recovering Biblical Worship,” The Journal Series, Calvin College (11 January 2002) .



No comments:

Post a Comment