Friday, March 6, 2009

LITURGI, WALAH . . . OPO KUWI? (1)



LITURGI, WALAH . . . OPO KUWI?



Pendahuluan



Kita pasti tahu lagu ini: “Bangun tidur ‘ku terus mandi, tidak lupa menggosok gigi; habis mandi ‘ku tolong ibu, membersihkan tempat tidurku.” Apa jadinya kalau kita balik seperti ini: “Habis mandi ‘ku tolong ibu, membersihkan tempat tidurku, tidak lupa menggosok gigi, habis itu terus ‘ku tidur.” Kacaulah hidup kita kalau benar demikian. Tentu kita tidak menginginkannya, bukan?



Setiap hari, kita pasti melakukan sesuatu yang sama. Entah di rumah atau di kantor, sebagian besar waktu kita habiskan untuk melakukan hal-hal yang sama. Kita mandi. Kita makan. Kita belajar. Kita bekerja. Kita berolah raga. Kita beristirahat. Rutin! Apa yang kita makan pun sama jenisnya: nasi. Bahkan orang Jawa (dan sebagian besar orang Indonesia) mengatakan, “Jika belum makan nasi, belum makan!” Namun nyaris kita tidak pernah mempertanyakan atau mempermasalahkan rutinitas itu.



Tapi cobalah iseng-iseng kita buat hidup ini berbeda. Di hari biasa, Anda bangun jam 9, tak perlu mandi, tak usah berganti pakaian, langsung melesat ke kantor. Anda melakukan presensi, dan langsung menuju ke meja Anda, dan di meja itu Anda tidur. Apa yang akan terjadi? Sekiranya bos Anda tahu, Anda pasti akan mendapatkan SP 1 (Surat Pemberitahuan/ Surat Peringatan 1), dan mungkin Anda akan dirujuk ke seorang psikolog siapa tahu ada gangguan kejiwaan.



Di dalam hidup, ada rutinitas. Kita butuh rutinitas itu. Dan ternyata, kita hampir tidak pernah mempertanyakan mengapa kok kita melakukan sesuatu yang rutin. Apa gunanya rutinitas? Rutinitas membentuk irama kehidupan. Jika serentetan nada ditata dalam suatu irama akan menghasilkan sebuah lagu yang indah; demikian pun jika kehidupan manusia ditata dalam sebuah irama akan menghasilkan kehidupan yang indah.



Irama kehidupan itu juga yang akan menolong untuk mengukur tingkat kedewasaan kita. Pada masa kanak-kanak, kita membutuhkan orang lain untuk mengatur irama hidup. Ibu membangunkan kita, menyuruh kita makan pada waktu yang telah ditentukan, mengingatkan kita untuk tidak terlambat sekolah, mengingatkan kita supaya tidak lupa PR kita. Semakin kita dewasa dalam usia dan mental, kita dapat mengatur diri kita sendiri. Tak perlu disuruh-suruh apalagi dipaksa-paksa oleh orang yang berotoritas.



Itulah sebenarnya makna liturgi! Jadi, secara tidak kita sadari, kita telah melakukan liturgi kehidupan. Kita senang dengan liturgi. Kita tidak pernah mempertanyakan liturgi kehidupan itu. Dan seandainya tidak ada liturgi, maka kacau balau-lah (bahasa Kejadian 1: 2 tohu wabohu, “tidak berbentuk dan kosong”) kehidupan kita.



Apa Itu “Liturgi”?



Jangan segera menyimpulkan bahwa liturgi berarti hal-hal yang rutin. Bukan demikian. Simaklah yang berikut ini. Kata “liturgi” berasal dari kata Yunani leiturgia. Kata ini merupakan gabungan dari kata leitos dan ergon. Leitos adalah bentuk sifat dari kata benda laos yang berarti “umat” dan ergon yang berarti “pekerjaan.” Maka leiturgia adalah “pekerjaan umat.” Di dalam liturgi, umat sedang bekerja.



Dalam pemahaman sekular di era sebelum Kristus, makna harfiah leiturgia adalah “kerja bakti” atau “pekerjaan yang dibaktikan bagi bangsa.” Pada abad ke-4 S.M., artinya lebih luas lagi yaitu menunjuk kepada pelayanan-pelayanan umum. Barulah di abad ke-2 S.M., kata ini mendapatkan arti kultis, yaitu “pelayanan ibadah.” Kata leiturgia dipakai di dalam Alkitab PL berbahasa Yunani (Septuaginta) untuk menunjuk kepada pelayanan kultis yang dikerjakan oleh para Lewi (pelayan Bait Allah di Yerusalem). Sedangkan untuk ibadah keseluruhan umat dipakai kata latreia, yang berarti worship atau penyembahan.



Menarik untuk disimak, PB tidak memakai kata leiturgia dan leiturgos untuk ibadah umat![1] Karena, Gereja mula-mula menghayati satu-satunya Imam Besar yang mengantar ibadah mereka adalah Yesus Kristus. Ibadah umat adalah partisipasi dalam Imamat Agung Yesus Kristus. Jadi di dalam ibadah umat, kita mengambil bagian dari segala sesuatu yang telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus Sang Imam Besar!



Penting untuk kita simak di sini: (1) ibadah Kristen ada karena liturgi itu sudah dikerjakan secara tuntas dan sempurna oleh Yesus Kristus; (2) ibadah Kristen merupakan persatuan rohani antara Kristus dan umat-Nya[2]; (3) ibadah Kristen merupakan anugerah dari Allah, bukan karena pekerjaan atau usaha manusia;[3] (4) ibadah Kristen adalah partisipasi seluruh umat.[4]



Partisipasi itu mewujud dalam bentuk dialog atau percakapan. Allah berkarya, umat merespons dengan pujian. Allah berfirman, umat menanggapi dengan membuka hati. Allah mengutus, umat menjawab dengan doa dan komitmen. Jadi, umat tidak sedang menikmati tontonan yang menyenangkan. Seluruh keberadaan kita diangkat untuk berdialog dengan Allah: hati, akal budi, perasaan, tubuh dan roh—seluruh keberadaan kita.



Mengapa kita dapat berdialog dengan Allah? Karena Kristus adalah Sabda yang memungkinkan dialog itu! Karena itu, Sabda merupakan sentral yang menjadi fondasi utama liturgi ibadah Kristen.[5] Sabda itu pula menyusupi setiap unsur di dalam ibadah.[6] Jika jemaat mendalami liturgi kita, maka ada 4 pokok rumpun:

  1. Berhimpun di sekitar Sabda Allah[7]
  2. Mendengarkan Sabda Allah (dan menikmati Sabda—jika ada Perjamuan Kudus)
  3. Merespons Sabda Allah
  4. Diutus Menjadi Saksi Sabda Allah



Semakin hidup kita dipersatukan dengan Kristus Sang Sabda Allah, dan semakin kita dewasa di dalam iman, kita akan sadar bahwa “Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera” (1Kor. 14:33) serta “segala seuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (ay. 40). Jika demikian, maka liturgi dalam arti ibadah umat bertujuan agar umat dapat berdialog dengan Allah dengan akrab dan intim, namun tidak kacau balau, sehingga damai sejahtera itu pun hadir dalam persekutuan.






[1]Kisah Para Rasul 13:2a memakai kata leitourgein yang diterjemahkan sebagai beribadah. Dalam Roma 15:16, Paulus disebut sebagai leitourgos (pelayan) Yesus Kristus dalam pewartaan Injil. Dalam 2 Korintus 9:12 dan Roma 15:27, kata dasar leitourgia dipakai dengan arti pelayanan yang berupa pemberian sumbangan atau persembahan kasih bagi saudara seiman di tempat lain. Di bagian lain dalam PB, kata ini juga dipakai dalam pengertian melayani secara umum. Dengan demikian, kata liturgi yang dipakai dalam PB dihubungkan dengan pelayanan kepada Allah dan sesama di dalam berbagai bidang kehidupan (MDL).



[2]Kristus mengambil kematian kita, supaya kita dapat memperoleh kehidupan Kristus. Kristus dibangkitkan dalam kemenangan, agar kita pun dapat hidup bagi kemuliaan Allah.



[3]Kebenaran iman Kristen selalu bergerak dari Allah kepada umat manusia, bukan manusia kepada Allah. Allah yang menyatakan diri kepada manusia. Allah menebus umat manusia di dalam Yesus Kristus.



[4]Umatlah yang turut aktif. Itulah sebabnya mengapa ibadah di gereja kita hanya ada 1 pemimpin ibadah, yaitu Pelayan Firman sekaligus Liturgos dan hampir-hampir minim komentar selama ibadah. Berdiri dan duduk pun harus sudah mendarah daging di masing-masing umat. Sebab umat yang beribadah kita sedang dipimpin oleh manusia (dan manusia-manusia), tetapi oleh Kristus sendiri. Adalah benar jika seorang gembala jemaat kita pernah berkata, “Jemaat harus tersinggung jika masih dipersilakan berdiri atau duduk, seolah-olah Anda diperlakukan seperti anak-anak.” Umat harus aktif! Bukan reaktif!



[5]Di mana uniknya ibadah Kristen? Yaitu diletakkannya proklamasi/pemberitaan Sabda Allah!



[6]Gereja kita sangat meninggikan Sabda di dalam ibadah! Perhatikan, “pembacaan” Sabda tak kurang dari 12 kali: votum dan salam, introitus (nas pembimbing), pengakuan dosa, berita anugerah, leksionari (4 buah), doa sebelum penguraian firman, Doa Bapa Kami, nas persembahan, pengutusan.



[7]Cobalah sesekali duduk di balkon gedung ibadah rayon 1, maka Anda akan disadarkan bahwa arsitektur gedung itu mengajak untuk menyadari bahwa umat yang beribadah (termasuk paduan suara/cantoria!) sedang mengitari Sabda Allah (disimbolkan mimbar dan meja perjamuan)!



No comments:

Post a Comment