Tuesday, March 10, 2009

Mundur Saja!



MUNDUR SAJA!



Sebagai bagian dari Tim Gembala Jemaat, hari-hari ini saya banyak mendengar keluhan dari para aktivis. Disebut aktivis, karena mereka memang aktif dalam mengambil bagian dalam pelayanan tertentu. Kebanyakan mereka tidak digaji. Secara sukarela mereka melayani. Kalaupun menerima ucapan terima kasih, tidak cucuk dengan yang dikerjakan sebagai tenaga kerja. Seandainya dianggap gaji, gaji itu amat sangat minim sekali. Namun di pihak lain, tuntutan kerja dan tanggung jawab begitu besar. Mereka bahkan harus tekor, mengeluarkan uang ekstra.



Yang paling tidak menyenangkan adalah, mereka dipersalahkan. Yang sebenarnya bukan maksud mereka, tetapi dituduhkan yang macam-macam. Ada kebijakan yang diambil untuk kepentingan bersama, tetapi disalahmengerti. Esensi masalah belum ditangkap, orang yang mendengarnya telah kebakaran jenggot, bahkan mengambil reaksi yang tidak pas. Mereka pun sangat menyayangkan, orang yang berkepentingan (baca: yang punya masalah), tidak mengungkapkan secara langsung kepada para aktivis itu, tetapi menceritakan ke mana-mana. Ke orang-orang senior. Ke pendeta. Ke orang-orang yang tidak kompeten dan yang tidak mempunyai keterkaitan dengan masalah tersebut.



Singkat kata, kata orang Jawa, kriwikan dadi grojogan, atau pancuran segera menjadi air terjun. Masalah kecil pun menjadi besar. Celakanya, esensi masalah menjadi semakin kabur. Jika masalah telah menjadi besar, bak benang kusut, amat susah dirunut mana ujung dan pangkalnya, dan diurai sehingga menjadi benang yang dapat digulung kembali dengan rapi. Sudah telanjur, banyak orang yang tahu. Dan semakin banyak orang yang tahu, maka semakin terdistorsilah kabar yang diterus-tularkan dari satu orang ke pihak orang lain.



Saya merenung, memang sudah kecenderungan orang, kalau mau juga boleh ditambahkan “orang berdosa” untuk menyembunyikan diri (to hide) dan kemudian menyalahkan orang lain (to hurl). Hiding and Hurling adalah permainan yang paling senang dimainkan di antara jemaat. Orang merasa diri mereka benar dan orang lain yang salah. Orang lain itulah yang sangat merugikan kita. Kita meminta suaka dari orang lain, yang sekiranya dapat memihak kita dan turut menyerang orang yang kita anggap bersalah kepada kita. Kita sendiri tidak berani menghadapi orang yang bermasalah dengan kita. Kita lebih nyaman bersembunyi di ketiak orang lain.



Bila masalah menjadi besar, dan akhirnya kita dikonfrontir, untuk membenarkan diri dan menyembunyikan diri kita (hiding), kita mengatakan bahwa kita tidak pernah mengatakan seperti itu atau kita tidak pernah menceritakan kepada orang lain. Dengan demikian, orang lain yang salah (hurling).



Celaka kini di pihak yang dipersalahkan. Orang yang bermasalah itu tidak berani mengadakan perjumpaan, tetapi di sisi lain sudah membangun kubu pertahanan dan pasukan siap siaga. Ketika dikonfrontir akar masalahnya, ia mengelak. Apa sih sebenarnya kemauan orang itu? Sangatlah dapat dipahami bila orang kemudian kian malas untuk mengambil bagian dalam pelayanan: Sudah sukarela, tidak dihargai, tidak ada pujian, banyak tuntutan, sering tombok, masih saja dicaci-maki.



Apa yang kemudian menjadi reaksi? Ya kalau begitu mundur saja! “Kalau ini dianggap kesalahan saya, lebih baik saya meletakkan jabatan.” Tetapi apakah mengundurkan diri adalah sikap yang bertanggung jawab?



Adalah tidak sepadan bila dibandingkan dengan para pejabat negeri kita yang memang jelas-jelas bersalah, dan menggemukkan diri sendiri dengan kekayaan negara, meski tidak becus dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkenaan dengan tugas dan wewenangnya, namun tidak mau bertanggung jawab dengan meletakkan jabatan. Mereka digaji besar dan mendapatkan privilese-privilese. Mereka sebenarnya harus menyadari ada anak bangsa yang lebih kompeten daripadanya!



Namun, bila ini terjadi di kalangan pelayan dan aktivis gereja, masalahnya berbeda. Hukum pelayanan adalah, barangsiapa mau melayani, hendaklah tidak mengharapkan tepuk tangan dan sorak sorai dari surga dan bumi. Kristus berkata, “Barangsiapa mau mengikut Aku tetapi tidak mengangkat salibnya, ia tidak layak bagi-Ku!” Perhatikan “salibnya”! Masing-masing orang punya salibnya sendiri. Sama seperti Kristus, yang tidak bersalah, tetapi dipersalahkan, demikian pula orang-orang yang mau mengikut Dia. Mereka dipersalahkan. Mereka harus menanggung salibnya sendiri. Mereka dicemooh dan dicaci bukan karena kesalahan mereka.



Dapatkah mereka mundur di tengah tugas mereka? Kristus akan berkata, “ia tidak layak bagi-Ku.” Bukankah dengan demikian, mundur dari pelayanan, atau tidak menyelesaikan tugas yang diberikan, berarti menghindar dari panggilan kemuridan yang Kristus berikan? Mungkinkah seseorang yang menanggung salib dapat berbalik dan mundur? Tidak. Tidak akan pernah!



Tuhan mengingatkan, bahwa Kerajaan Allah yang sekarang ini telah dimulai sejak kedatangan-Nya di dunia, terdiri dari gandum dan ilalang. Ternyata, ilalang dan gandum itu dibiarkan bertumbuh, dan baru kemudian dipisahkan pada masa penghakiman. Ya, baru pada kesudahan zaman! Bayangkan, Tuhan memang tidak berniat untuk memangkas ilalang itu sekarang! Domba dan kambing ada di dalam Kerajaan Allah! Jadi, tantangan pasti ada, dan selalu akan ada. Luther mengatakan bahwa di dalam gereja ada orang yang dibenarkan dan ada orang yang tidak dibenarkan. Bahkan orang benar pun masih tetap simul iustus et peccator! Orang benar sekaligus orang berdosa.



Sangatlah mungkin, kesalahpahaman dan miskomunikasi terjadi. Masih dimungkinkan, sakit hati dan saling terluka. Gereja tidak pernah sempurna. Menghendaki kesempurnaan gereja berarti kita telah tutup usia dan ada di surga.



Apakah Anda pernah terluka ketika melayani Tuhan? Jangan-jangan Anda malahan sedang terluka saat ini? Anda berpikir untuk mundur sekarang? Tetapi izinkan saya bertanya lebih spesifik, pernahkah Anda menyakiti orang lain? Atau, secara sadar atau tidak, tutur kata dan sikap Anda telah menyinggung orang lain? Jika demikian, mengapa hendak mundur sekarang?



Tantangan selalu ada. Hanya ada satu hal yang jelas: Tuhan menghendaki kita mengangkat salib kita sampai kita disalibkan! Hendaklah tidak ada kata mundur di mulut kita. Maju, sampai mati. Surat Ibrani 12:4 menasihati kita, “Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah!” Camkan pula ayat 11, “Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.”



Adalah sulit untuk menuntut orang lain untuk berubah. Mulailah dari diri sendiri. Bertahanlah! Dan terus upayakan untuk mengerjakan tugas dan bagian pelayanan kita sebaik-baiknya. Biarlah hasil kerja kita itu transparan dan dapat dievaluasi. Berikan yang terbaik untuk komunitas orang beriman. Firman Tuhan selanjutnya mengingatkan, “Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh” (Ibr. 12:12-13).



Beranikah kita juga belajar menjadi sahabat bagi orang lain? Dalam bahasa Latin, sahabat disebut companio. Menarik sekali kata ini; berasal dari kata cum artinya “bersama” dan panis, “roti.” Jadi cum + panis berarti “roti kepunyaan bersama.” Companio berarti berbagi roti. Seseorang yang mau menjadi sahabat berarti mau berbagi milik dengan orang lain. Komunitas Kristen mula-mula meneladankan, “Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa” (Kis. 2:42, 46), lalu “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (2:44 bdk. 4:32). Persahabatan pun akan mengguratkan gaya hidup yang berbeda bila ada masalah: Tidak menyimpannya atau memperkatakan di balik punggung, tetapi segera menyelesaikan dengan yang bersangkutan.



Apabila tiap orang dalam komunitas beriman memulai segala hal yang baik dari dirinya sendiri, dan membuang yang buruk dari dirinya, kehidupan persekutuan akan menjadi berbeda. Hidup. Menyenangkan. Menggairahkan untuk melayani. Mencerahkan masa depan. Semoga kerinduan ini tercipta dalam komunitas kita. Tuhan memberkati.



Tepujilah Allah!



No comments:

Post a Comment