Saturday, March 21, 2009

MAAFKAN DAKU, BILA TAK PERNAH BALAS SALAMMU



MAAFKAN DAKU, BILA TAK PERNAH BALAS SALAMMU





Maafkan aku, Sobat, bila aku tak pernah membalas salammu! Ketika kau berdiri di depan dan mengucapkannya, aku mungkin hanya tersenyum. Ketika ada seorang pemimpin ibadah menghendaki salam itu diulang-ulangi dengan lebih keras, aku merasa terganggu. Hatiku tiada maksud untuk merendahkanmu atau dia. Apalagi bermaksud menolak sapaan hangat darimu. Aku berusaha menyelami ketulusanmu bila kau sampaikan salam itu. Ya, aku tahu betapa kau tulus mengatakannya. Dan benarlah, kau sedang mendoakanku dengan salammu itu. Untuk keselamatanku. Untuk kebaikan yang terjadi dalam hidupku. Atau bisa juga, untuk well-being seutuh jiwa dan tubuhku. Tetapi, jujur kukatakan Sobatku, aku hampir-hampir tak tahu arti salammu itu!



Memang, secara harfiah, aku tahu arti kata itu. Aku pernah dididik untuk sedikit memahami arti kata asing yang kauucapkan itu, dan yang terucap oleh banyak sohibku. Memang, hanya 6 SKS untuk memelajarinya, dan itu kurang! Aku tidak pernah menjadi ahli bahasa ini. Tapi cukuplah untuk tahu sekelumit, untuk membaca huruf-huruf nan asing yang berjajar di sebuah buku tebal yang kita hormati itu.



Namun, ketika kau mengucapkannya sebagai sebuah salam, aku bingung! Aku bingung karena kata itu tak mungkin berdiri sendiri sebagai sebuah salam. Kata itu adalah kata benda. Dari dulu sampai kini, yang kutahu, pengguna aslinya tak pernah memakai kata itu untuk salam. Bila kau berjumpa dengan para ahli yang petah lidah dengan bahasa itu, dan kaucoba memakainya, pastilah dia akan garuk-garuk kepala. Asing baginya salam itu, meskipun kau dan dia sering mengucapkannya.



Yang aku maksud adalah kata yang terucap “Shalom,” Sobatku. Aku tertegun; aku sering menjumpainya tertulis “shalom,” “syalom,” “salom,” “shallom,” “syallom,” “shalloom,” “syalloom.” Ah, paling tidak, ada 7 macam orang menuliskan kata ini! Mana yang benar? Dapatkah kautunjukkan padaku mana yang tepat, Kawanku? Setahuku, bila ditulis dalam huruf Latin, maka kita menemukan SLWM. Bahasa Ibrani memang aslinya tidak mempunyai vokal. Coba, bagaimana kau membaca kata itu? Yang bunyinya panjang itu vokal “a” atau “o”? Yang mendapat penekanan di suku kata pertama ataukah kedua? Rumit bukan?



Ya, aku tahu, ketika kau ucapkan kata itu kepadaku, aku sungguh yakin, itulah doamu untukku. Agar damai atau sejahtera, bukan di surga kelak semata, namun di sini dan kini dalam kehidupan sesehari, aku pun alami. Terima kasih untuk doa dan pengharapan itu. Namun Sobatku, kata itu tiada tepat bila dipakai untuk sebuah salam.



Perlukah kita mempermasalahkannya? Bukankah yang penting Tuhan tahu isi hati ini? Bilapun salah, toh tak pernah mengurangi nilai anugerah keselamatan, bukan? Oh Sobatku, perkenankan aku memakai contoh yang sangat sederhana ini. Ketika kita belum sekolah, bila ditanya 1 + 1, kita “boleh” menjawab apa saja. Namun ketika kita sudah tahu jawabannya, sebab kita belajar di sekolah, niscaya takkan meleset kita menjawabnya. Apalagi, Tuhan itu kudus, sudah barang tentu, Ia mempunyai standar yang lebih tinggi, bahkan tak boleh dikompromikan. Andai kita tak tahu, bukankah lebih baik memakai kata yang kita ketahui? Dan bila kita telah tahu, maka tiada boleh kita salah menggunakannya, bukan? Memang, tiada mengurangi keselamatan kita! Namun bila demikian, bukankah jauh lebih indah bila kita menggunakan kata yang kita pahami bersama sebagai kaum beriman?



Aku pun bertanya-tanya, sebenarnya apa yang membuat banyak orang gemar memakai kata itu sebagai salam? Mungkin kau akrab dengan lagu “Shalom Khaverim” sehingga kau pun memakai lagu itu sebagai pembenaran. Ah, tunggu dulu. Itu lagu, Sobat. Dalam pada itu, dalam percakapan, tak pernah mereka memakai kata itu untuk bersalam-salaman. Apalagi kita mengadopsinya dengan bercampur aduk dengan kata Indonesia, "Shalom, Saudara-saudara!" Yang kutahu, "shalom" belum diserap ke dalam bahasa Indonesia.



Aku masih ingat, beberapa tahun lalu, dalam sebuah seminar tentang kontroversi nama Allah, Pdt. Dr. Anwar Tjen dari LAI pernah menyatakan bahwa dirinya terkaget-kaget setelah pulang dari luar negeri untuk menempuh studi S3 biblika, beliau menemukan bahwa orang Indonesia amat sangat gemar sekali memakai kata “Shalom” itu sebagai salam. Bagi beliau, ini sebuah kelatahan.



Kelatahan? Hmm, mohon hatimu tetap tenang, Sobat. Aku hanya bertanya, apakah orang Kristen memakai kata itu oleh karena saudara kita seberang Sungai Yordan memakai salam dengan bahasa leluhur iman mereka? Sebagai rumpun kaum beragama pewaris agama samawi dari Timur Tengah, kita mungkin merasa canggung (dan minder?) bila dianggap tak memiliki salam dalam bahasa asli leluhur iman kita! Kata Ibrani itu pun serta-merta kita isap menjadi salam. Namun Sobat, tak pernah Allah kita datang kepada siapa pun umat-Nya lalu mengucapkan salam “Shalom!” Tak pernah Sang Gusti menitahkan para murid untuk saling menyapa, atau masuk ke rumah seseorang dengan kata, “Shalom.”



Lalu bagaimana? Aku menawarkan ini, Sobat. Karena kata Arab “salam” itu sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang artinya sama persis dengan kata Ibrani “shalom,” yaitu “damai,” “makmur,” “sentosa” dan “baik keadaan hidup,” bagaimana kalau kita mulai melatih diri untuk mencintai bahasa Indonesia (sambil terus mengingat bahwa butir ketiga Sumpah Pemuda 1928, “Kami, tumpah darah Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”), yaitu dengan menggunakan istilah bahasa Indonesia? Bila ada Sobat, sesama tumpah darah Indonesia mengatakan:



“Salam bagimu!”

“Damai-sejahtera bagimu!”

“Salam kasih untukmu!”

“Salam persahabatan/persaudaraan kepadamu!”



Aha, itu bahasa kita! Indah kedengarannya! Dan menuliskannya pun mudah, minim sekali kesalahan! Lalu, bagaimana menjawabnya? Balaslah dengan salam yang sama, atau katakanlah saja, “Salam!” Itulah sebabnya mengapa Alkitab hadir ke tangan kita dalam bahasa Indonesia, Sobatku! Supaya semua orang yang percaya, yang hidup di Indonesia, dan mengenal bahasa Indonesia dapat mengerti dan semakin teguh iman. Yuk, kita belajar!



No comments:

Post a Comment