Tuesday, March 24, 2009

Rahasia Allah Menjadi Manusia



Rahasia Allah Menjadi Manusia



Mengapa Firman menjadi daging? Permenungan kita disarikan dari pemikiran St. Anthanasius Agung (m. 373), yang mungkin merupakan salah satu bapa gereja yang dihormati dalam sejarah Gereja. St. Athanasius menghadiri Konsili Ekumenikal Pertama di Nikea (325 M.) di bawah pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung.



Sebagai diaken muda, dan dipersiapkan untuk menggantikan uskup seniornya yang memiliki nama pada waktu itu, Aleksander dari Aleksandria. Athanasius terkenal sebagai seseorang yang melawan para pengikut Arius. Ia banyak mempromosikan Konsili Nikea. Ia sendiri adalah pribadi yang kontroversial dalam sejumlah pemikiran. Namun, ia tetap menjadi sosok yang sangat dikagumi dalam keseluruhan sejarah Gereja. Ia banyak menulis, sering cukup rumit dan tajam ketika terlibat dalam kontroversi pengajaran. Dalam pada itu, di samping gaya tulis yang tajam, harus diakui keindahan yang mengagumkan. Pusat tulisannya adalah mengenai Pribadi Kristus, berinkarnasi di dalam dunia, Juruselamat umat manusia.



St. Athanasius tidak sekadar berbicara mengenai apa maknanya dahulu dan kini, Sang Sabda itu menjadi manusia, tetapi juga mengapa Ia mengambil alih tempat kita. Apa yang memotivasi Allah untuk bertindak secara menakjubkan seperti itu. Jawabannya terletak pada penciptaan! Menurut St. Athanasius, Allah bertindak karena Ia telah menjadikan ciptaan-Nya dalam gambar dan rupa-Nya. Dan ciptaan-Nya itu tengah menderita!



Dari tulisannya yang ringkas dan sangat ternama, yang mencerminkan keagungan pemikirannya di zaman patristika, St. Athanasius mengemukakan sebuah pemikiran penting, tertuang dalam sebuah pertanyaan: Apa yang harus dilakukan oleh Allah? Akankah Allah menerima begitu saja manusia yang tertipu oleh setan dan kehilangan pengenalan akan Allah? Tetapi bila demikian, apa perlunya Ia menciptakan manusia dalam gambar dan rupa Allah? Mengapa keduanya diciptakan sebagai makhluk yang rasional, namun kemudian mereka menghidupi kehidupan sebagai makhluk yang irasional? Atau, apakah untungnya bagi Allah, bila manusia tidak menyembah Dia? Lalu, apa yang Allah harus lakukan untuk memulihkan keberadaan manusia dalam citra-Nya? Bagaimana mungkin ini terjadi, jika bukan dengan kedatangan Putra Tunggal Allah, Tuhan kita Yesus Kristus—Gambar Allah yang Sejati (St. Athanasius, De Incarnatione XIII).



Apa yang Allah lakukan, terhadap makhluk yang Ia ciptakan seturut gambar-Nya, yang kini sedang menuju kebinasaan? St. Athanasius menulis di bagian lain traktat De Incarnatione, bahwa Allah menyaksikan dehumanisasi makhluk manusia milik-Nya. Lebih manusia tidak pernah diciptakan dalam gambar dan rupa Allah, ketimbang kehilangan citra itu dan hidup di luar citra itu. Sehingga, berulang-ulang St. Athanasius bertanya, “Apa yang Allah harus lakukan?” Dapatkah Ia berdiri saja, dan memandangi? Dapatkah Ia menyaksikan penghancuran buatan tangan-Nya? Tentu saja, setiap kali pertanyaan ini dilontarkan, tampak sifat retoriknya. Secara tersirat, jawabannya sudah tersedia. Tentu saja, tak mungkin bagi Allah bertindak seperti ini!



Adalah jelas bahwa Allah pasti bertindak, bukan karena Ia terikat oleh keharusan. Tetapi Ia pasti bertindak. Bukan ini sebenarnya poin pertanyaan retorik St. Athanasius. Tetapi, tak mungkin kasih ilahi tahan menyaksikan penghancuran yang sedemikian itu. Tak mungkin Allah yang mahakasih dan mahacipta itu hanya membiarkan objek cinta-kasih daya cipta-Nya. Dan Allah sungguh-sungguh bertindak!



Pertanyaannya adalah, bagaimana? Bagaimana Ia bertindak di dalam situasi dehumanisasi manusia seperti ini? Mengapa Ia tak cukup bersabda dari surga sebagai sebuah fiat—mengampuni manusia, sekali gerakan saja, maka pulihlah segenap umat manusia? Di sini, dapat dipertanyakan kembali apakah ini adalah satu pertanyaan yang sah!



Apakah sekadar mengampuni manusia—di dalamnya telah termaktub segala keperluan untuk memulihkan manusia dari kehancuran yang demikian? Dalam tulisannya melawan kaum Arianis, St. Athanasius menjawab, adalah lebih masuk akal dan tepat bila Allah bertindak dengan cara lain. Lebih masuk akalnya tindakan Allah yang lain itu dapat dilihat dari hal demikian. Jika Allah hanya berbicara, dan kutuk itu disingkirkan, memang bisa jadi suatu pertunjukan kuasa dari Dia yang mengucapkan perintah itu, tetapi manusia hanya dapat dipulihkan keadaannya seperti Adam sebelum kejatuhan—menerima anugerah dari luar namun tidak memilikinya dalam kesatuan dengan tubuhnya, sebab demikianlah keadaan manusia ketika ditempatkan di Eden. Dalam keadaan seperti itulah, manusia belajar berdosa, dan ia mudah dibujuk oleh si ular. Dan bila demikian, Allah harus kembali mengucapkan perintah itu lagi, supaya kutuk itu terhilang. Terus-menerus, tak ada habisnya (St. Athanasius, Contra Arianos II.68).



Sekadar mengampuni manusia, bukanlah luas jangkauan karya Allah. Apakah Allah sekadar menyabdakan pengampunan dan memulihkan manusia ke dalam keadaan kepatuhan? Umat manusia mungkin dapat mengalami keadaan terberkati dalam sejangka kurun waktu, tetapi keterasingan yang sama dapat muncul kembali. Menerima anugerah dari luar, akan membuat manusia kembali dan kembali lagi terjatuh-terjerembab dan terhilang. Lingkaran ini terus-menerus akan berulang. Anugerah eksternal serta penebusan eksternal, seberapa pun nilai cinta kasih di dalamnya, tidak membuat manusia merasa aman dan mendapatkan jaminan terhadap apa yang ia sedang cari-cari.



Dan Allah bertindak dengan unik. Umat manusia dipulihkan bukan dari luar, tetapi dari dalam. Allah masuk ke dalam kehidupan ciptaan-Nya dan dengan masuk-Nya, Ia merestorasi dan membangun kembali. Menawarkan anugerah dari dalam diri seseorang dan bukan dari luar. Inilah yang sering disebut sebagai "pengilahian" atau "deifikasi." Atau dalam bahasa Yunani theosis. Allah mengikat manusia kepada diri-Nya sendiri. Makhluk yang direstorasi bukanlah yang ke atasnya Allah memberikan terang, tetapi yang di dalamnya Allah mengerjakan pemuliaan dan perubahan.



Dalam satu bagian yang mungkin merupakan yang terpenting dari tulisan St. Athanasius, Sang Sabda menjadi manusia, supaya manusia dapat dibuat menjadi ilahi. Ia menunjukkan Diri-Nya kepada kita melalui tubuh-daging, supaya kita dapat memperoleh pengetahuan mengenai Allah Bapa yang tidak kelihatan. Ia menderita sengsara di bawah tangan manusia, agar kita memperoleh ketidakbinasaan. Di dalam Diri-Nya sendiri, Ia tidak mengalami luka, karena Ia adalah kekal dan ilahi—Sang Sabda kekal dari Allah. Dalam keilahian-Nya, Ia membimbing dan menyelamatkan umat manusia yang sengsara. Demi merekalah, Ia rela mengalami perlakuan yang menyakitkan itu (De Incarnatione LIV). Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat menjadi allah.



Respons terhadap dehumanisasi dari makhluk-Nya adalah dengan theanthroposis Sang Sabda sendiri. Allah menjadi yang dapat mengalami sakit. Allah di dalam anugerah dan kekekalan-Nya tidak dapat dikalahkan. Maka, dengan mengangkat derita dan sengsara makhluk-Nya di dalam kehidupan-Nya sendiri, manusia menerima ketidakbinasaan. Yaitu tatkala Sang Putra menjadi makhluk hina. Allah menjadi manusia, supaya manusia dapat menjadi allah.



Banyak orang mempertanyakan istilah yang dipakai oleh St. Athanasius dan para bapa Gereja pada zaman itu mengenai theosis atau “deifikasi.” Dalam pada itu, tidak salah untuk mengatakan manusia menjadi Allah. Ini bukanlah penghujatan. Ketika seseorang membaca dengan teliti keseluruhan traktat De Incarnatione, maka Athanasius beserta semua bapa gereja tidak tengah berbicara manusia menjadi Allah yang kedua. Atau menjadi equal (sama dengan) Allah. Tetapi ia sedang berbicara umat manusia diikat dan dipersatukan dalam kehidupan Allah.



Adalah tidak cukup bagi Allah sekadar mengirimkan berkat-berkat tertentu ke atas manusia. Bisa jadi itu merupakan anugerah, namun seperti yang telah dikatakan St. Athanasius, jika anugerah dari luar seperti itu dapat menyembuhkan umat manusia, maka penyembuhan itu tak pernah dapat sempurna. Tak pernah dapat menjadi kekal. Akhirnya, hilang lagi. Tergoncang. Manusia akan jatuh ke dalam dosa terus-menerus. Namun bila manusia ditarik ke dalam Allah, sehingga kehidupan Allah sendiri yang dikenal, dialami, dan dihidupi dalam daging dan tulang makhluk manusia, maka kekuatan Kristus yang berinkarnasi, menjadi kekuatan pribadi manusia. Yesus Kristus yang ditelan maut, telah menjadi “aku” yang ditelan maut. Kebangkitan-Nya, kemustahilan maut untuk menguasai dan mengikat-Nya agar tetap tinggal di dalam kubur, kini menjadi janji penebusanku. Kemenanganku terhadap kutuk dan ikatan dosaku. Bukan karena aku memiliki daya sedemikian, tetapi hanya dalam inkarnasi, Allah telah menarik anggota-anggota tubuhku yang melemah ke dalam kehidupan-Nya sendiri. Allah menjadi manusia, agar manusia menjadi allah. Inilah sumbangan pemikiran St. Athanasius, yang suaranya tetap menggema di dalam sejarah Gereja. Bapa Nikea. Semoga memberkati kita. Kini dan di sepanjang zaman.



1 comment:

  1. Dimanakah Yesus sewaktu mudanya ? kenapa di alkitab hanya diceritakan tetang masa kecil dan tiga tahun menjelang kematiaNya ?

    ReplyDelete