Monday, March 2, 2009

ABCDEF (2)

ABCDEF (II)



ANGER, BLAME, CONFRONTATION, DESTRUCTION, EXPERIENCE, FORGIVENESS



Pendahuluan



1. Kita sudah belajar mengenai anger dan blame. Menyalahkan orang lain pada dasarnya muncul dari perasaan kemarahan kita. Tapi kalau kita mau jujur, menelaah lebih jauh, sifat menyalahkan orang lain memang sudah menjadi satu dengan manusia yang berdosa. Kata orang: bersalah adalah manusiawi, tidak mengakui kesalahan adalah lebih manusiawi dan yang paling manusiawi adalah menyalahkan orang lain.



2. Pola komunikasi kita sering seperti ini: gampang menyalahkan orang lain. Kita adalah pihak yang benar, pihak yang dirugikan, pihak yang dipersalahkan, pihak yang ditindas dan sedang membela hak dan kebenaran kita. Pihak lain adalah pihak yang salah, pihak yang merugikan, pihak yang mempersalahkan, pihak yang menindas dan memperlakukan tidak adil. Bayangkan jika ini yang terus terjadi, apalah jadinya wajah dunia? Pasti kehancuran (destruction)!



3. Itulah sebabnya kita akan belajar bagaimana “berkonfrontasi” yang sehat, dan menjauhkan diri dari penghancuran diri dan komunitas kita. Membangun komunitas itu bukan hal yang mudah. Lama waktunya. Tetapi menghancurkannya itu sangat mudah. Sekali orang tidak percaya lagi kepada kita, maka komunitas pun akan mengucilkan kita. Komunitas kita pun akan hancur! Persahabatan kita akan porak poranda. Maukah persahabatan kita poranda?



4. Harus kita sadari sebagai manusia berdosa: kecenderungan kita adalah hiding and hurling! Kita lebih senang menyembunyikan diri kita. Dan jauh lebih senang menyalahkan orang lain. Memang. Menyalahkan orang lain adalah permainan yang paling mengasyikkan! Kemarahan itu menggairahkan! Kebencian itu menyukacitakan! Kalau ada orang yang sudah punya trade mark pemarah, ia akan nyaman dengan keadaan itu. Aku ini begini, ya begini! Cobalah kita evaluasi diri kita sendiri: bukankah kita lebih senang sewaktu mendapatkan kesalahan atas apa yang dilakukan orang lain? Tetapi kalau kita salah, betapa dahsyatnya usaha kita supaya kesalahan kita itu tidak ketahuan orang lain! Hati-hati, kemarahan dan menyalahkan orang lain bisa membentuk karakter yang buruk dalam diri kita.



5. Ada sebuah buku yang ditulis oleh seorang psikiater ternama, Eric Berne, Games People Play. Ia tidak mensurvei permainan yang kerap dimainkan orang, tetapi semacam analogi terhadap tindakan psikologis seseorang yang terjadinya berulang-ulang. Ia menyebutnya “interaksi yang terus berulang” antara dua atau lebih partai dengan “tindakan saling membalas yang tak terkatakan.” Dari setiap ungkapan menyalahkan orang lain, ada hal yang jauh lebih serius, yang tak terkatakan, yang berada di bawah permukaan, tersembunyi, bahkan boleh dikatakan sebagai sesuatu yang manipulatif.



6. Contoh permainan yang diungkapkan Berne adalah “If It Weren’t for You” (“Kalau bukan Karena Kamu”): sebuah kelas ada guru yang suka marah-marah dan kelas yang pasif. Ketika sang guru ditanya, ia mengemukakan alasan, “Ya, saya sadar jadi guru yang mudah marah. Tapi semua ini karena anak-anak di kelas ini. Mereka malas, mereka pasif, mereka suka-sukanya sendiri. Maka saya harus tegas kepada mereka. Kalau bukan karena kemalasan mereka, pasti saya nggak akan menjadi orang yang marah-marah terus.” Sebaliknya kalau murid-murid ditanya, mereka akan menjawab, “Kami takut. Sejak pertemuan pertama kelas, Bu Guru sudah menunjukkan muka yang garang! Baru lima menit masuk kelas, sudah marah-marah. Kami jadi pasif karena guru kami terlalu pemarah. Kalau bukan karena kemarahan guru, maka kami tidak akan menjadi murid yang pasif.”



7. Bagaimana belajar menyetop permainan “mempersalahkan orang lain” itu? Kata Berne, satu-satunya cara menghentikan permainan itu adalah dengan menghentikannya. Kedengarannya pengulangan. Tapi hal ini serius. Harus ada kehendak untuk menghentikan permainan itu! Ini sangat sukar! Butuh upaya yang besar. Butuh kehendak atau kemauan yang besar untuk mengerjakannya! Coba perhatikan permainan monopoli!



8. Scott Peck: stopping the blaming game is called forgiveness. That is precisely what forgiveness is: the process of stopping, of ending, the blaming game. And that is tough. Kita akan pelajari forgiveness ini dalam kesempatan mendatang.



9. Tapi ada juga orang yang tidak berani berkonfrontasi. Ia memendam masalahnya untuk dirinya sendiri. Ini pun tidak sehat. Karena masalah tidak akan selesai dan justru akan merusak diri sendiri. Perhatikan di bawah ini.



10. Ada seorang anak muda yang berkata demikian, “Kok akhir-akhir ini aku nggak bisa konsentrasi, ya! Di sekolah bosen sekali. Bete banget deh hidup ini! Ada banyak PR dan besok ulangan, tapi males banget belajar. Penginnya nongkrong dan ngelamun terus!



Aku punya pacar. Tapi kalau pacarku ini deket, kok rasanya nggak ada semangatnya ketemuan dengan dia. Jenuh. Bete juga. Pacaran dengan dia udah cukup lama, 2 tahun. Pernah suatu kali waktu aku antar pulang pacarku, jantungku dag dig dug tak karuan. Bukan karena grogi karena mau berpisah. Tapi rasanya capek banget. Bahkan hampir aku pingsan di sana!”



11. Apa yang terjadi dengan anak muda ini? Coba perhatikan gejalanya lebih dulu. Ia mengalami ketegangan emosional yang tinggi. Ini berpengaruh kepada peningkatan degub jantungnya. Lalu ia merasa tertekan, dan berkembang menjadi bentuk keluhan seperti mau pingsan. Apakah ia memang kurang sehat? Sebenarnya tidak. Ada hal yang sedang membebani pikirannya, sehingga ia mengalami gangguan kesehatan seperti itu. Ia bukan benar-benar pemalas. Itulah yang disebut dengan psikosomatis. Penyakit yang disebabkan masalah-masalah psikis.



12. Ternyata beban yang menghantui pikirannya adalah suasana di rumah. Ia merasa ayahnya bertingkah aneh akhir-akhir ini. Sering pulang malam. Tidak ada lagi waktu untuk bertegur sapa dengan ibunya, apalagi dengan dia. Katanya sibuk di pekerjaan. Tetapi aneh juga, tidak ada percakapan yang hangat seperti dulu dengan ibunya. Bahkan ibunya sering mengeluhkan kejadian ini kepada pemuda ini sambil menangis. Ia sangat prihatin dengan kondisi sang bunda, yang selalu sampai larut malam menunggu ayahnya pulang.



13. Pemuda ini membenci kelakuan ayahnya yang menyakiti perasaan ibunya. Tetapi ia tidak berani berkomentar apalagi berbicara kepada ayahnya. Ia malahan sering menghindar dari sang ayah. Ada saja alasannya untuk tidak berjumpa dengan ayahnya.

14. Hal lain, dengan pacarnya, meski ia sayang dengan pacarnya, tetapi ia tahu ada perbedaan prinsip yang banyak sekali. Tetapi ia butuh si pacar dalam keadaan tertekan yang seperti itu. Ia pun sulit mengatakannya kepada sang pacar.



15. Nah, bisa kita lihat, sebab musabab terjadinya psikosomatis sang pemuda adalah tumpukan jeritan hati yang terhambat. Ia tidak berani mengungkapkan perasaannya. Ini menyita energi psikis yang besar seorang muda. Ketika ia menjumpai dokter ahli jantung, dokter mengatakan semua organnya bekerja sempurna.



16. Nah, seseorang harus mampu menegakkan hak-hak pribadi dengan cara mengekspresikan pikiran-pikiran, perasaan-perasaan dan keyakinan-keyakinan yang ada dalam dirinya dengan cara langsung melalui ungkapan verbal yang dilakukan dengan jujur dan dengan cara nyaman, tanpa mengabaikan hak-hak orang lain. Mimik muka serta nada suaranya dan gerak-gerik tubuhnya sesuai dengan ungkapan verbalnya.



17. Ada beberapa poin yang kita perhatikan:

a. Orang yang sehat dan baik dalam berkomunikasi ditandai dengan keberanian untuk mengungkapkan pikiran, perasaan dan keyakinan.

b. Cara mengungkapkannya ialah langsung dan secara terbuka. Langsung berarti muka dengan muka dengan orang yang terkait dengan masalah yang membebani kita. Terbuka berarti mengungkapkan apa adanya, semua yang ada di dalam hatinya.

c. Kata-kata yang keluar diungkapkan dengan jujur, nyaman dan santun. Ia mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya. Bukan dengan emosi yang merusak dirinya dan orang lain, waktu ia mengungkapkannya. Dan sopan dalam pemilihan kata-kata, tidak merendahkan orang lain, bahwa lawan bicaranya pun punya hak untuk dihormati.

d. Bahasa tubuhnya pun selaras dengan kata-kata yang keluar.



18. Contoh: Ketika saya punya masalah dengan sahabat saya, kalau saya care dengan dia:

a. Saya akan berani menjumpai dia. Empat mata adalah sikap yang gentle dan itu sangat terhormat. Orang yang berani datang kepada orang lain untuk mengungkapkan masalahnya sebenarnya sedikit banyak telah belajar mengikuti jejak Kristus. Ia yang mengambil inisiatif dan datang kepada manusia berdosa.

b. Pada inti pembicaraan, mulailah dengan kata-kata, “Saya merasa . . . [tidak enak, terluka, sedih, bingung]; sebabnya adalah . . . [tindakan, perkataan, candaan]. Tindakanmu itu melukai hati saya. Apakah itu memang maksudmu? . . . Atau mungkin kamu bertindak seperti itu karena ada kesalahanku yang tidak aku sadari. Aku sangat peduli dengan persahabatan kita, karena itu aku mau datang sekarang, dan bertemu langsung denganmu.”

c. Ungkapkan kalimat itu dengan sopan dan tidak perlu dengan nada tinggi.

d. Hadapkan tubuh ke lawan bicara, dengan tegak tapi santai, agak condong ke depan. Lebih baik tidak bersandar, melipat tangan di depan dada atau melipat kaki.



19. Beri kesempatan baginya untuk mengungkapkan isi hatinya juga. Mungkin ia tidak sadar melakukan itu. Atau mungkin juga ada kesalahan kita yang membuat dia bereaksi seperti itu. Jika sudah ditemukan akar masalahnya, katakanlah, “Apa yang kau kerjakan adalah salah. Apa pun alasan yang kamu ungkapkan. Kau telah melukai hatku. Aku sadar akan hal itu. Tapi, aku mau mengampunimu!”



Penutup



20. Perhatikan Kristus: Ia adalah kebenaran. Ia adalah kasih. Ia menyatakan kebenaran dengan kasih. Ia peduli dengan siapa pun: Nikodemus (Yoh. 3); Perempuan Samaria (Yohanes 4); pegawai istana yang anaknya hampir meninggal (Yoh. 4). Perhatikan pula Efesus 4:13, 15:



sampai kita semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus . . . tetapi dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih, kita bertumbuh di dalam segala hal ke arah Dia, Kristus yang adalah Kepala.”



Ada terjemahan lain untuk “dengan teguh berpegang kepada kebenaran di dalam kasih” yaitu “Let us speak the truth in love.



21. David Augsburger berkata:



Kebenaran bersama dengan kasih membawa penyembuhan.



Kebenaran yang diungkapkan di dalam kasih memampukan kita untuk bertumbuh.



Kebenaran di dalam kasih menghasilkan perubahan.



22. Howard J. Clinebell Jr. menulis: “Confrontation plus caring brings growth just us judgment plus grace brings salvation.” Konfrontasi dengan kebenaran, afirmasi dengan kasih. Konfrontasi dan kepedulian/kasih mendorong pertumbuhan.



No comments:

Post a Comment